Monday, January 12, 2009

Konsep Manajemen Sekolah

A. Pengertian Manajemen Sekolah

Dalam konteks pendidikan, memang masih ditemukan kontroversi dan inkonsistensi dalam penggunaan istilah manajemen. Di satu pihak ada yang tetap cenderung menggunakan istilah manajemen, sehingga dikenal dengan istilah manajemen pendidikan. Di lain pihak, tidak sedikit pula yang menggunakan istilah administrasi sehingga dikenal istilah adminitrasi pendidikan. Dalam studi ini, penulis cenderung untuk mengidentikkan keduanya, sehingga kedua istilah ini dapat digunakan dengan makna yang sama.
Selanjutnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa pengertian umum tentang manajemen yang disampaikan oleh beberapa ahli. Dari Kathryn . M. Bartol dan David C. Martin yang dikutip oleh A.M. Kadarman SJ dan Jusuf Udaya (1995) memberikan rumusan bahwa :

“Manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama yaitu merencanakan (planning), mengorganisasi (organizing), memimpin (leading), dan mengendalikan (controlling). Dengan demikian, manajemen adalah sebuah kegiatan yang berkesinambungan”.

Sedangkan dari Stoner sebagaimana dikutip oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa:

“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.

Secara khusus dalam konteks pendidikan, Djam’an Satori (1980) memberikan pengertian manajemen pendidikan dengan menggunakan istilah administrasi pendidikan yang diartikan sebagai “keseluruhan proses kerjasama dengan memanfaatkan semua sumber personil dan materil yang tersedia dan sesuai untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien”. Sementara itu, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan bahwa “administrasi pendidikan sebagai rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu terutama berupa lembaga pendidikan formal”.

Meski ditemukan pengertian manajemen atau administrasi yang beragam, baik yang bersifat umum maupun khusus tentang kependidikan, namun secara esensial dapat ditarik benang merah tentang pengertian manajemen pendidikan, bahwa : (1) manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan; (2) manajemen pendidikan memanfaatkan berbagai sumber daya; dan (3) manajemen pendidikan berupaya untuk mencapai tujuan tertentu.

B. Fungsi Manajemen

Dikemukakan di atas bahwa manajemen pendidikan merupakan suatu kegiatan. Kegiatan dimaksud tak lain adalah tindakan-tindakan yang mengacu kepada fungsi-fungsi manajamen. Berkenaan dengan fungsi-fungsi manajemen ini, H. Siagian (1977) mengungkapkan pandangan dari beberapa ahli, sebagai berikut:

Menurut G.R. Terry terdapat empat fungsi manajemen, yaitu :
(1) planning (perencanaan);
(2) organizing (pengorganisasian);
(3) actuating (pelaksanaan); dan
(4) controlling (pengawasan).

Sedangkan menurut Henry Fayol terdapat lima fungsi manajemen, meliputi :
(1) planning (perencanaan);
(2) organizing (pengorganisasian);
(3) commanding (pengaturan);
(4) coordinating (pengkoordinasian); dan
(5) controlling (pengawasan).

Sementara itu, Harold Koontz dan Cyril O’ Donnel mengemukakan lima fungsi manajemen, mencakup :
(1) planning (perencanaan);
(2) organizing (pengorganisasian);
(3) staffing (penentuan staf);
(4) directing (pengarahan); dan
(5) controlling (pengawasan).

Selanjutnya, L. Gullick mengemukakan tujuh fungsi manajemen, yaitu :
(1) planning (perencanaan);
(2) organizing (pengorganisasian);
(3) staffing (penentuan staf);
(4) directing (pengarahan);
(5) coordinating (pengkoordinasian);
(6) reporting (pelaporan); dan
(7) budgeting (penganggaran).

Untuk memahami lebih jauh tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan, di bawah akan dipaparkan tentang fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam perspektif persekolahan, dengan merujuk kepada pemikiran G.R. Terry, meliputi : (1) perencanaan (planning); (2) pengorganisasian (organizing); (3) pelaksanaan (actuating) dan (4) pengawasan (controlling).

1. Perencanaan (planning)

Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Louise E. Boone dan David L. Kurtz (1984) bahwa: planning may be defined as the proses by which manager set objective, asses the future, and develop course of action designed to accomplish these objective. Sedangkan T. Hani Handoko (1995) mengemukakan bahwa :
“ Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi ini.”

Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. T. Hani Handoko mengemukakan sembilan manfaat perencanaan bahwa perencanaan: (a) membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan; (b) membantu dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama; (c) memungkinkan manajer memahami keseluruhan gambaran; (d) membantu penempatan tanggung jawab lebih tepat; (e) memberikan cara pemberian perintah untuk beroperasi; (f) memudahkan dalam melakukan koordinasi di antara berbagai bagian organisasi; (g) membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami; (h) meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti; dan (i) menghemat waktu, usaha dan dana.

Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan langkah-langkah pokok dalam perencanaan, yaitu :

  1. Penentuan tujuan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) menggunakan kata-kata yang sederhana, (b) mempunyai sifat fleksibel, (c) mempunyai sifat stabilitas, (d) ada dalam perimbangan sumber daya, dan (e) meliputi semua tindakan yang diperlukan.
  2. Pendefinisian gabungan situasi secara baik, yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal.
  3. Merumuskan kegiatan yang akan dilaksanakan secara jelas dan tegas.

Hal senada dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko (1995) bahwa terdapat empat tahap dalam perencanaan, yaitu : (a) menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan; (b) merumuskan keadaan saat ini; (c) mengidentifikasi segala kemudahan dan hambatan; (d) mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk pencapaian tujuan.
Pada bagian lain, Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono (1996) mengemukakan bahwa atas dasar luasnya cakupan masalah serta jangkauan yang terkandung dalam suatu perencanaan, maka perencanaan dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu : (1) rencana global yang merupakan penentuan tujuan secara menyeluruh dan jangka panjang, (2) rencana strategis merupakan rencana yang disusun guna menentukan tujuan-tujuan kegiatan atau tugas yang mempunyai arti strategis dan mempunyai dimensi jangka panjang, dan (3) rencana operasional yang merupakan rencana kegiatan-kegiatan yang berjangka pendek guna menopang pencapaian tujuan jangka panjang, baik dalam perencanaan global maupun perencanaan strategis.

Perencanaan strategik akhir-akhir ini menjadi sangat penting sejalan dengan perkembangan lingkungan yang sangat pesat dan sangat sulit diprediksikan, seperti perkembangan teknologi yang sangat pesat, pekerjaan manajerial yang semakin kompleks, dan percepatan perubahan lingkungan eksternal lainnya.
Pada bagian lain, T. Hani Handoko memaparkan secara ringkas tentang langkah-langkah dalam penyusunan perencanaan strategik, sebagai berikut:

  1. Penentuan misi dan tujuan, yang mencakup pernyataan umum tentang misi, falsafah dan tujuan. Perumusan misi dan tujuan ini merupakan tanggung jawab kunci manajer puncak. Perumusan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawakan manajer. Nilai-nilai ini dapat mencakup masalah-masalah sosial dan etika, atau masalah-masalah umum seperti macam produk atau jasa yang akan diproduksi atau cara pengoperasian perusahaan.
  2. Pengembangan profil perusahaan, yang mencerminkan kondisi internal dan kemampuan perusahaan dan merupakan hasil analisis internal untuk mengidentifikasi tujuan dan strategi sekarang, serta memerinci kuantitas dan kualitas sumber daya -sumber daya perusahaan yang tersedia. Profil perusahaan menunjukkan kesuksesan perusahaan di masa lalu dan kemampuannya untuk mendukung pelaksanaan kegiatan sebagai implementasi strategi dalam pencapaian tujuan di masa yang akan datang.
  3. Analisa lingkungan eksternal, dengan maksud untuk mengidentifikasi cara-cara dan dalam apa perubahan-perubahan lingkungan dapat mempengaruhi organisasi. Disamping itu, perusahaan perlu mengidentifikasi lingkungan lebih khusus, seperti para penyedia, pasar organisasi, para pesaing, pasar tenaga kerja dan lembaga-lembaga keuangan, di mana kekuatan-kekuatan ini akan mempengaruhi secara langsung operasi perusahaan.

Meski pendapat di atas lebih menggambarkan perencanaan strategik dalam konteks bisnis, namun secara esensial konsep perencanaan strategik ini dapat diterapkan pula dalam konteks pendidikan, khususnya pada tingkat persekolahan, karena memang pendidikan di Indonesia dewasa ini sedang menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal, sehingga membutuhkan perencanaan yang benar-benar dapat menjamin sustanabilitas pendidikan itu sendiri.

2. Pengorganisasian (organizing)

Fungsi manajemen berikutnya adalah pengorganisasian (organizing). George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa :
“Pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, sehingga mereka dapat bekerja sama secara efisien, dan memperoleh kepuasan pribadi dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu, dalam kondisi lingkungan tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu”.
Lousie E. Boone dan David L. Kurtz (1984) mengartikan pengorganisasian : “… as the act of planning and implementing organization structure. It is the process of arranging people and physical resources to carry out plans and acommplishment organizational obtective”.
Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pengorganisasian pada dasarnya merupakan upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengorganisasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya.
Berkenaan dengan pengorganisasian ini, Hadari Nawawi (1992) mengemukakan beberapa asas dalam organisasi, diantaranya adalah : (a) organisasi harus profesional, yaitu dengan pembagian satuan kerja yang sesuai dengan kebutuhan; (b) pengelompokan satuan kerja harus menggambarkan pembagian kerja; (c) organisasi harus mengatur pelimpahan wewenang dan tanggung jawab; (d) organisasi harus mencerminkan rentangan kontrol; (e) organisasi harus mengandung kesatuan perintah; dan (f) organisasi harus fleksibel dan seimbang.
Ernest Dale seperti dikutip oleh T. Hani Handoko mengemukakan tiga langkah dalam proses pengorganisasian, yaitu : (a) pemerincian seluruh pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi; (b) pembagian beban pekerjaan total menjadi kegiatan-kegiatan yang logik dapat dilaksanakan oleh satu orang; dan (c) pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme untuk mengkoordinasikan pekerjaan para anggota menjadi kesatuan yang terpadu dan harmonis.

3. Pelaksanaan (actuating)

Dari seluruh rangkaian proses manajemen, pelaksanaan (actuating) merupakan fungsi manajemen yang paling utama. Dalam fungsi perencanaan dan pengorganisasian lebih banyak berhubungan dengan aspek-aspek abstrak proses manajemen, sedangkan fungsi actuating justru lebih menekankan pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan orang-orang dalam organisasi
Dalam hal ini, George R. Terry (1986) mengemukakan bahwa actuating merupakan usaha menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan dan sasaran anggota-anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota itu juga ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut.
Dari pengertian di atas, pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya.
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pelaksanan (actuating) ini adalah bahwa seorang karyawan akan termotivasi untuk mengerjakan sesuatu jika : (1) merasa yakin akan mampu mengerjakan, (2) yakin bahwa pekerjaan tersebut memberikan manfaat bagi dirinya, (3) tidak sedang dibebani oleh problem pribadi atau tugas lain yang lebih penting, atau mendesak, (4) tugas tersebut merupakan kepercayaan bagi yang bersangkutan dan (5) hubungan antar teman dalam organisasi tersebut harmonis.

4. Pengawasan (controlling)

Pengawasan (controlling) merupakan fungsi manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Dalam hal ini, Louis E. Boone dan David L. Kurtz (1984) memberikan rumusan tentang pengawasan sebagai : “… the process by which manager determine wether actual operation are consistent with plans”.
Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh T. Hani Handoko (1995) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa :
“Pengawasan manajemen adalah suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan – tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.”
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu kegiatan yang berusaha untuk mengendalikan agar pelaksanaan dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memastikan apakah tujuan organisasi tercapai. Apabila terjadi penyimpangan di mana letak penyimpangan itu dan bagaimana pula tindakan yang diperlukan untuk mengatasinya.
Selanjutnya dikemukakan pula oleh T. Hani Handoko bahwa proses pengawasan memiliki lima tahapan, yaitu : (a) penetapan standar pelaksanaan; (b) penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan; (c) pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata; (d) pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan penganalisaan penyimpangan-penyimpangan; dan (e) pengambilan tindakan koreksi, bila diperlukan.
Fungsi-fungsi manajemen ini berjalan saling berinteraksi dan saling kait mengkait antara satu dengan lainnya, sehingga menghasilkan apa yang disebut dengan proses manajemen. Dengan demikian, proses manajemen sebenarnya merupakan proses interaksi antara berbagai fungsi manajemen.

Dalam perspektif persekolahan, agar tujuan pendidikan di sekolah dapat tercapai secara efektif dan efisien, maka proses manajemen pendidikan memiliki peranan yang amat vital. Karena bagaimana pun sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya melibatkan berbagai komponen dan sejumlah kegiatan yang perlu dikelola secara baik dan tertib. Sekolah tanpa didukung proses manajemen yang baik, boleh jadi hanya akan menghasilkan kesemrawutan lajunya organisasi, yang pada gilirannya tujuan pendidikan pun tidak akan pernah tercapai secara semestinya.
Dengan demikian, setiap kegiatan pendidikan di sekolah harus memiliki perencanaan yang jelas dan realisitis, pengorganisasian yang efektif dan efisien, pengerahan dan pemotivasian seluruh personil sekolah untuk selalu dapat meningkatkan kualitas kinerjanya, dan pengawasan secara berkelanjutan.

C. Bidang Kegiatan Pendidikan

Berbicara tentang kegiatan pendidikan, di bawah ini beberapa pandangan dari para ahli tentang bidang-bidang kegiatan yang menjadi wilayah garapan manajemen pendidikan. Ngalim Purwanto (1986) mengelompokkannya ke dalam tiga bidang garapan yaitu :

  1. Administrasi material, yaitu kegiatan yang menyangkut bidang-bidang materi/ benda-benda, seperti ketatausahaan sekolah, administrasi keuangan, gedung dan alat-alat perlengkapan sekolah dan lain-lain.
  2. Administrasi personal, mencakup di dalamnya administrasi personal guru dan pegawai sekolah, juga administrasi murid. Dalam hal ini masalah kepemimpinan dan supervisi atau kepengawasan memegang peranan yang sangat penting.
  3. Administrasi kurikulum, seperti tugas mengajar guru-guru, penyusunan sylabus atau rencana pengajaran tahunan, persiapan harian dan mingguan dan sebagainya.

Hal serupa dikemukakan pula oleh M. Rifa’i (1980) bahwa bidang-bidang administrasi pendidikan terdiri dari :

  1. Bidang kependidikan atau bidang edukatif, yang menyangkut kurikulum, metode dan cara mengajar, evaluasi dan sebagainya.
  2. Bidang personil, yang mencakup unsur-unsur manusia yang belajar, yang mengajar, dan personil lain yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar.
  3. Bidang alat dan keuangan, sebagai alat-alat pembantu untuk melancarkan siatuasi belajar mengajar dan untuk mencapai tujuan pendidikan sebaik-baiknya.

Sementara itu, Thomas J. Sergiovani sebagimana dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2002) mengemukakan delapan bidang administrasi pendidikan, mencakup : (1) instruction and curriculum development; (2) pupil personnel; (3) community school leadership; (4) staff personnel; (5) school plant; (6) school trasportation; (7) organization and structure dan (8) School finance and business management.

Di lain pihak, Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas (1999) telah menerbitkan buku Panduan Manajemen Sekolah, yang didalamnya mengetengahkan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan, meliputi: (1) manajemen kurikulum; (2) manajemen personalia; (3) manajemen kesiswaan; (4) manajemen keuangan; (5) manajemen perawatan preventif sarana dan prasarana sekolah.

Dari beberapa pendapat di atas, agaknya yang perlu digarisbawahi yaitu mengenai bidang administrasi pendidikan yang dikemukakan oleh Thomas J. Sergiovani. Dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, pandangan Thomas J. Sergiovani kiranya belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, terutama dalam bidang school transportation dan business management. Dengan alasan tertentu, kebijakan umum pendidikan nasional belum dapat menjangkau ke arah sana. Kendati demikian, dalam kerangka peningkatkan mutu pendidikan, ke depannya pemikiran ini sangat menarik untuk diterapkan menjadi kebijakan pendidikan di Indonesia.

Merujuk kepada kebijakan Direktorat Pendidikan Menengah Umum Depdiknas dalam buku Panduan Manajemen Sekolah, berikut ini akan diuraikan secara ringkas tentang bidang-bidang kegiatan pendidikan di sekolah, yang mencakup :

1. Manajemen kurikulum

Manajemen kurikulum merupakan subtansi manajemen yang utama di sekolah. Prinsip dasar manajemen kurikulum ini adalah berusaha agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, dengan tolok ukur pencapaian tujuan oleh siswa dan mendorong guru untuk menyusun dan terus menerus menyempurnakan strategi pembelajarannya. Tahapan manajemen kurikulum di sekolah dilakukan melalui empat tahap : (a) perencanaan; (b) pengorganisasian dan koordinasi; (c) pelaksanaan; dan (d) pengendalian.
Dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Tita Lestari (2006) mengemukakan tentang siklus manajemen kurikulum yang terdiri dari empat tahap :

  1. Tahap perencanaan; meliputi langkah-langkah sebagai : (1) analisis kebutuhan; (2) merumuskan dan menjawab pertanyaan filosofis; (3) menentukan disain kurikulum; dan (4) membuat rencana induk (master plan): pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian.
  2. Tahap pengembangan; meliputi langkah-langkah : (1) perumusan rasional atau dasar pemikiran; (2) perumusan visi, misi, dan tujuan; (3) penentuan struktur dan isi program; (4) pemilihan dan pengorganisasian materi; (5) pengorganisasian kegiatan pembelajaran; (6) pemilihan sumber, alat, dan sarana belajar; dan (7) penentuan cara mengukur hasil belajar.
  3. Tahap implementasi atau pelaksanaan; meliputi langkah-langkah: (1) penyusunan rencana dan program pembelajaran (Silabus, RPP: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran); (2) penjabaran materi (kedalaman dan keluasan); (3) penentuan strategi dan metode pembelajaran; (4) penyediaan sumber, alat, dan sarana pembelajaran; (5) penentuan cara dan alat penilaian proses dan hasil belajar; dan (6) setting lingkungan pembelajaran
  4. Tahap penilaian; terutama dilakukan untuk melihat sejauhmana kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang dikembangkan, baik bentuk penilaian formatif maupun sumatif. Penilailain kurikulum dapat mencakup Konteks, input, proses, produk (CIPP) : Penilaian konteks: memfokuskan pada pendekatan sistem dan tujuan, kondisi aktual, masalah-masalah dan peluang. Penilaian Input: memfokuskan pada kemampuan sistem, strategi pencapaian tujuan, implementasi design dan cost benefit dari rancangan. Penilaian proses memiliki fokus yaitu pada penyediaan informasi untuk pembuatan keputusan dalam melaksanakan program. Penilaian product berfokus pada mengukur pencapaian proses dan pada akhir program (identik dengan evaluasi sumatif)

2. Manajemen Kesiswaan

Dalam manajemen kesiswaan terdapat empat prinsip dasar, yaitu : (a) siswa harus diperlakukan sebagai subyek dan bukan obyek, sehingga harus didorong untuk berperan serta dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan mereka; (b) kondisi siswa sangat beragam, ditinjau dari kondisi fisik, kemampuan intelektual, sosial ekonomi, minat dan seterusnya. Oleh karena itu diperlukan wahana kegiatan yang beragam, sehingga setiap siswa memiliki wahana untuk berkembang secara optimal; (c) siswa hanya termotivasi belajar, jika mereka menyenangi apa yang diajarkan; dan (d) pengembangan potensi siswa tidak hanya menyangkut ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif, dan psikomotor.

3. Manajemen personalia

Terdapat empat prinsip dasar manajemen personalia yaitu : (a) dalam mengembangkan sekolah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga; (b) sumber daya manusia akan berperan secara optimal jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tujuan institusional; (c) kultur dan suasana organisasi di sekolah, serta perilaku manajerial sekolah sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pengembangan sekolah; dan (d) manajemen personalia di sekolah pada prinsipnya mengupayakan agar setiap warga dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah.
Disamping faktor ketersediaan sumber daya manusia, hal yang amat penting dalam manajamen personalia adalah berkenaan penguasaan kompetensi dari para personil di sekolah. Oleh karena itu, upaya pengembangan kompetensi dari setiap personil sekolah menjadi mutlak diperlukan.

4. Manajemen keuangan

Manajemen keuangan di sekolah terutama berkenaan dengan kiat sekolah dalam menggali dana, kiat sekolah dalam mengelola dana, pengelolaan keuangan dikaitkan dengan program tahunan sekolah, cara mengadministrasikan dana sekolah, dan cara melakukan pengawasan, pengendalian serta pemeriksaan.
Inti dari manajemen keuangan adalah pencapaian efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu, disamping mengupayakan ketersediaan dana yang memadai untuk kebutuhan pembangunan maupun kegiatan rutin operasional di sekolah, juga perlu diperhatikan faktor akuntabilitas dan transparansi setiap penggunaan keuangan baik yang bersumber pemerintah, masyarakat dan sumber-sumber lainnya.

5. Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah

Manajemen perawatan preventif sarana dan prasana sekolah merupakan tindakan yang dilakukan secara periodik dan terencana untuk merawat fasilitas fisik, seperti gedung, mebeler, dan peralatan sekolah lainnya, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja, memperpanjang usia pakai, menurunkan biaya perbaikan dan menetapkan biaya efektif perawatan sarana dan pra sarana sekolah.
Dalam manajemen ini perlu dibuat program perawatan preventif di sekolah dengan cara pembentukan tim pelaksana, membuat daftar sarana dan pra saran, menyiapkan jadwal kegiatan perawatan, menyiapkan lembar evaluasi untuk menilai hasil kerja perawatan pada masing-masing bagian dan memberikan penghargaan bagi mereka yang berhasil meningkatkan kinerja peralatan sekolah dalam rangka meningkatkan kesadaran merawat sarana dan prasarana sekolah.
Sedangkan untuk pelaksanaannya dilakukan : pengarahan kepada tim pelaksana, mengupayakan pemantauan bulanan ke lokasi tempat sarana dan prasarana, menyebarluaskan informasi tentang program perawatan preventif untuk seluruh warga sekolah, dan membuat program lomba perawatan terhadap sarana dan fasilitas sekolah untuk memotivasi warga sekolah.

Wednesday, September 17, 2008

GLOBAL WARMING

Perubahan Iklim

Sebagian sinar matahari yang masuk ke bumi dipantulkan ke angkasa, dan secara alami akan diserap oleh gas-gas atmosfer yang menyelimuti bumi. Sinar itu pun kemudian terperangkap di bumi. Situasi ini juga terjadi di dalam rumah kaca yaitu pada saat panas yang masuk terperangkap di dalamnya dan menghangatkan seisi rumah kaca tersebut. Fenomena yang terjadi di bumi lalu dinamakan efek rumah kaca, sedangkan gas-gas penyerap sinar disebut gas rumah kaca. Apabila efek rumah kaca tidak terjadi di bumi boleh jadi bumi akan menjadi tempat yang tidak nyaman untuk dihuni, karena akan bersuhu 33oC lebih dingin!

Gas rumah kaca ( seperti : CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6) dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil, mulai dari memasak sampai Pembangkit Listrik. Karena kegiatan tersebut sangat umum dilakukan manusia, maka seiring dengan meningkatnya populasi manusia, konsentrasi Gas rumah kaca (GRK) pun meningkat. Akibatnya, semakin banyak sinar yang terperangkap di dalam bumi. Perubahan iklim berubah secara perlahan tapi pasti. Suhu permukaan bumi pun memanas. Panas ini kita kenal sebagai pemanasan global (Global warming).

Apa yang akan terjadi jika efek rumah kaca tidak diantisipasi? Peneliti lingkungan hidup di Indonesia memperkirakan naiknya permukaan air laut setinggi 60 cm di tahun 2070. Penduduk pesisir akan kehilangan tempat tinggalnya, dan kita bisa say goodbye ke industri pariwisata bahari. Selain itu perubahan iklim akan mengakibatkan suhu dan pola hujan yang tidak tentu, sehingga para petani akan kesulitan menentukan masa kerjanya. Untuk lingkup yang lebih besar, keanekaragaman hayati dunia terancam punah, karena habitat individu akan terdegradasi dan hanya individu yang kuat saja yang bisa melewati seleksi alam. Secara hitungan ekonomis, global warming merugikan dunia sebanyak 5 triliun dollar AS.

Protokol Kyoto

Syukurlah para ahli lingkungan hidup telah sejak lama memperkirakan "tragedi" global warming ini. Di Stockholm pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human Environmental) tahun 1972, masyarakat internasional bertemu pertama kalinya untuk membahas situasi lingkungan hidup secara global. Pada peringatan kedua puluh tahun pertemuan Stockholm tersebut, digelarlah konferensi bumi di Rio de Jainero tahun 1992. Di konferensi ini ditandatanganilah Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). UNFCC memiliki tujuan utama berupa menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman.

UNFCCC mengatur lebih lanjut ketentuan yang mengikat mengenai perubahan iklim ini. Desember 1997 di Kyoto, Protokol Kyoto ditandatangani oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani/diaksesi sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB, New York. Protokol ini berkomitmen bagi 38 negara industri untuk memotong emisi GRK mereka antara tahun 2008 sampai 2012 menjadi 5,2% di bawah tingkat GRK mereka di tahun 1990.

Ada tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa joint implementation; Clean Development Mechanism; dan Emission Trading. Joint Implementation (implementasi bersama) adalah kerja sama antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development Mechanisme (Mekanisme Penmbangunan Bersih) adalah win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. Emission Trading (Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar negara maju.

Desember 2004, Indonesia pada akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU no 17 tahun 2004. Indonesia akan menerima banyak keuntungan dari Protokol Kyoto. Melalui dana yang disalurkan Indonesia akan bisa meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Lewat CDM, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta ton dan diperkirakan bernilai US$ 1,26 miliar. Kegiatan CDM lainnya yang tengah dipersiapkan di Indonesia adalah mengganti pembangkit listrik batubara dengan geoterma, dan efisiensi energi untuk produksi pabrik Indocement.

Tahun 2001, Amerika Serikat berkeputusan untuk menarik dukungannya terhadap Protokol Kyoto. Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy Carter, Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor Harrison Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001. Alasan yang dipakai pemerintahan Bush adalah pengurangan emisi akan mengguncang perekonomian mereka.

Rusia juga sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini sempat membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara internasional karena tidak memenuhi persyaratannya. Persyaratan Protokol Kyoto yang harus dipenuhi adalah keharusan bahwa Protokol itu diratifikasi oleh minimal 55 negara dan total emisi negara maju yang meratifikasi minimal 55% total emisi negara tersebut di tahun 1990. Tapi akhirnya pada November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto.

Pada 16 Februari 2005 lalu, setelah melewati perjalanan yang cukup panjang Protokol Kyoto berkekuatan hukum secara internasional - dan mesti dicatat tanpa diratifikasi Amerika Serikat yang notabene merupakan kontributor emisi terbesar dunia. Masyarakat seluruh dunia menyambut gembira dan sebagian besar negara di dunia ber"pesta" menyambutnya. Namun perlu diingat, Protokol Kyoto pun baru dapat dipraktekkan di tahun-tahun mendatang sedangkan the damage had been done dan telah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan suhu bumi seperti sedia kala. Meskipun begitu Protokol Kyoto telah menjadi semacam pengingat bagi seluruh umat manusia untuk tidak bertindak sebodoh sebelumnya untuk makin merusakkan bumi.
(sumber:http://www.chem-is-try.org)

Tuesday, April 8, 2008

Nasionalisme Bangsa Indonesia sangat minim

Oleh Ade Rusliana, M.Pd.

Negara Indonesia adalah negara yang kaya dengan alam, strategis dan mempunyai SDM yang handal. Namun bagaimana dengan pengelolaannya sehingga Indonesia menjadi negara yang terpuruk dalam segala bidang? Mari kita pandang potensi Indonesia dari sudut Nasionalisme.

Seperti yang telah diberitakan di kompas pada 3 April 2008, Beberapa bulan belakangan berbagai media Tanah Air semakin kuat melaporkan
kesulitan ekonomi yang dialami golongan ekonomi kecil. Kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan dasar paralel dengan terjadinya penciutan dan
bangkrutnya beberapa sektor ekonomi rakyat.

Sektor informal telah diketahui telah menjadi penyelamat rakyat kecil
sejak krisis 1997. Sektor ekonomi modern sampai sekarang belum bangkit
hingga menimbulkan pertanyaan, mau dibawa ke mana perekonomian Indonesia?

Media massa telah beberapa tahun ini mengangkat permasalahan semakin
besarnya uang yang dialokasikan perusahaan untuk memenuhi tuntutan
berbagai pihak. Tidak berkaitan dengan perizinan, melainkan karena
alasan-alasan yang lebih tidak masuk akal. Uang terpaksa diberikan
pengusaha untuk menyelamatkan usahanya.

Selain hal-hal tersebut, yang sering diangkat di media massa adalah
fenomena yang sesungguhnya juga terus membesar, yaitu pemerasan di
jalan-jalan, di tempat di mana usaha ekonomi rakyat. Kita tinggal
menanyakan kepada sopir taksi, sopir angkutan barang, penumpang, atau
pedagang toko. Dengan jelas mereka akan mengatakan bahwa pungutan-pungutan
semakin menggila. Artinya, tanpa alasan yang masuk akal. Kelompok
minoritas tertentu lebih rentan lagi. Dengan mudah orang dapat melihat
pemerasan-pemerasan terselubung langsung di tempat mereka berusaha
sehingga sejumlah uang harus dialokasikan untuk keperluan tersebut.

Namun, sangat jarang yang mau, bisa, atau berani memprotes. Masuk akal
juga sebab DPR/DPD telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat
memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka juga enggan mengadu kepada
polisi untuk alasan yang semua orang sudah tahu. Jika pun mengadu, apakah
akan efektif? Mereka malah khawatir akan timbul reaksi balik, bahkan
sebelum permasalahannya diakui.

Inefisien

Dari semua uraian di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu negara
tidak dapat mengatur hubungan-hubungan berbahaya atau, setidaknya,
inefisien di dunia ekonomi. Pemerintah cuma mampu menaruh perhatian pada
upaya menstabilkan ekonomi makro. Pertanyaannya, semua itu untuk siapa?

Apakah negara gagal? Apakah ”negara& #8221; itu: apakah pemerintah
saja atau juga institusi negara lain, yaitu lembaga perwakilan dan
peradilan. Apakah makna ”gagal& #8221;: bukankah tidak terjadi
kekacauan sipil, jalan masih dipenuhi mobil, dan mal tidak sepi
pengunjung?

Mari kita lihat studi yang dilakuan World Economic Forum dan Universitas
Harvard sekitar tahun 2002 tentang negara gagal, ciri-cirinya, dan apa
akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara, di mana Indonesia termasuk.
Studi ini memberi tempat untuk kita becermin tentang apa yang sedang
terjadi di Indonesia.

Menurut studi tersebut, karakteristik negara gagal, antara lain, adalah
tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela,
miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara
gagal pada awalnya banyak karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu
ketidakefisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan
ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaa n pelayanan dan barang dasar
bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan
pengangguran yang berkepanjangan.

Biasanya kemunduran ekonomi sejalan dengan lemahnya institusi penegakan
hukum. Bisa saja memang kelemahan ini sudah menjadi karakter dasar, tetapi
dengan kemunduran ekonomi, semakin sulit menegakkan institusi ini menjadi
lebih bersih. Sebagai catatan, beberapa studi menunjukkan bahwa diperlukan
kestabilan pertumbuhan ekonomi pada level tertentu untuk dapat menjamin
kestabilan demokrasi. Demikian seterusnya, saling memperkuat atau
menjatuhkan.

Keriuhan arena publik

Banyak orang mengira bahwa kebebasan ekspresi akan mengekang kegagalan
negara. Namun, studi ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tidak
terlalu berpengaruh atas kegagalan negara. Artinya, kegagalan bisa terjadi
pada negara yang menganut sistem demokrasi. Mengapa demikian?
Penjelasannya harus dicari pada bekerjanya sistem perwakilan dan kapasitas
pemerintah untuk menanggapi kepentingan masyarakat. Di Indonesia yang
terjadi adalah keriuhan di arena publik tanpa kaitan kuat ke proses
pengambilan kebijakan. Suara masyarakat tidak banyak pengaruh di DPR/DPD.
Sementara pemerintah sibuk mengurusi interaksinya dengan anggota DPR/DPD.

Negara gagal sangat potensial mengembangkan lebih lanjut wilayah ekonomi
ilegal. Muasalnya, penegakan hukum gagal melakukan pekerjaannya. Kedua,
dengan keadaan inilah pelaku ekonomi ilegal menancapkan kukunya, yang jika
dibiarkan kelamaan akan mendistorsi perencanaan pembangunan nasional dan
merusak moralitas ekonomi bangsa.

Rakyat miskin akan sangat tergoda untuk membeli barang serta jasa maupun
bekerja di wilayah ekonomi ilegal. Jika semakin besar, terciptalah kultur
hubungan ekonomi yang didasarkan pada kerangka ilegalitas. Misalnya, tidak
membayar pajak, pemerasan dan bukan persaingan produk, ketidakpercayaan
yang tinggi hingga menciptakan batas-batas sempit fleksibilitas membuat
hubungan baru (eksklusivisme) , profesionalisme yang tidak berkembang, dan
sebagainya.

Yang mengerikan adalah dalam situasi kegagalan yang berlanjut, pelaku
ekonomi ilegal bisa mentransformasi dirinya masuk ke dalam ekonomi legal
serta memberi warna dominan pada lingkungan (niche) perekonomian. Itulah
yang melatarbelakangi fenomena mengapa pada situasi kegagalan negara yang
berkepanjangan, batas-batas antara yang legal dan ilegal menjadi kabur.
Salah satu contoh yang kuat adalah cara-cara premanisme yang dipakai
bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Contoh lain, berkembangnya
bisnis keamanan dan bisnis intel (Tempo, 24/3/ 2008).

Sebagai catatan akhir, kegagalan negara bukanlah semata kegagalan
pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan
publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang
memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog Bidang Organisasi Sosial di Universitas
Indonesia.
Jelas sekali dari uraian di atas bahwa Nasionalisme Indonesia sangat terpuruk, lalu bagaimanakah dengan Pendidikan Kewarganegaraan Negara yang diberikan pada bangsa Indonesia di setiap bangki sekolah? Sejauh mana dampaknya?
Indonesia perlu peningkatan/ perubahan kurikulum, mengkaji ulang metode penanaman Nasionalisme.

Polemik SPMB

Oleh Ade Rusliana, M.Pd.

Satu lagi masalah di Indonesia, Polemik tentang pro dan kontra
Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru atau SPMB yang berakibat 41 perguruan
tinggi negeri atau PTN berniat untuk hengkang dari SPMB. Meskipun pada
akhirnya terjadi kesepakatan di antara para anggota SPMB bahwa sistem
tetap dijalankan dan keuangan akan ditata sesuai peraturan, persoalan
intinya tetap tidak tersentuh sama sekali.
Mengapa demikian? Karena terjadi kerancuan antara sistem penerimaan
mahasiswa baru dan tata cara pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP) di PTN. Bagaimana mungkin dua hal yang berbeda domainnya akan
dikombinasikan menjadi satu kesatuan dalam bentuk peraturan?
Polemik mengenai SPMB tersebut menunjukkan bahwa otonomi perguruan
tinggi (PT) belum dipahami secara utuh, dan bahwa pemahaman mengenai
PNBP untuk PTN juga belum bulat. PT sudah seharusnya mempunyai otonomi
secara penuh karena hanya dengan otonomi itulah PT akan dapat
berkiprah. Tanpa otonomi, PT hanyalah layaknya sebuah kantor.
Salah satu aspek dari asas otonomi yang ada di PT adalah seleksi calon
mahasiswa. Setiap PT harus mampu melakukan seleksi untuk menjaring calon
mahasiswanya. Oleh karena itu, seleksi calon mahasiswa baru adalah
sepenuhnya kewenangan PT bersangkutan.
Mengapa ada SPMB? Para rektor PT dengan kewenangannya yang otonom itu
bersepakat untuk melakukan proses seleksi mahasiswa baru secara bersama.
Hal ini mereka tempuh dalam rangka efisiensi, pemerataan peluang, dan
akses lintas wilayah serta mutu materi seleksi yang teruji. Secara
prinsip, SPMB tidak bertentangan dengan asas otonomi PT karena SPMB
bukan unit pemerintah, tetapi kesepakatan di antara mereka sendiri.
SPMB tidak dikukuhkan oleh surat keputusan dari pemerintah. Dengan
demikian, menjadi agak mengherankan jika kemudian terjadi perbedaan
pendapat di dalam diri SPMB sendiri, bahkan ada sejumlah PTN yang
berniat hengkang.
Hakikat otonomi
Niat hengkang sejumlah PTN tersebut dipicu oleh kekhawatiran mereka akan
pengelolaan PNBP yang diperoleh dari uang pendaftaran peserta seleksi.
Di sini kita melihat lagi adanya kejanggalan dalam aturan keuangan
yang berlaku di PTN. Kalau kita konsisten dengan prinsip otonomi PT,
seharusnya PTN juga mempunyai otonomi yang penuh dalam hal pengelolaan
keuangan. Tanpa adanya otonomi pengelolaan keuangan, dipastikan bahwa
PTN tidak dapat optimal menjalankan fungsinya.
PTN selalu diperiksa oleh inspektorat jenderal dan Badan Pemeriksa
Keuangan pada setiap tahun anggaran terhadap uang yang dikelolanya.
PTN selalu disalahkan karena PNBP tidak disetorkan ke kas negara
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Artinya, dana dari
calon mahasiswa baru yang akan mengikuti ujian masuk harus segera
disetorkan ke negara, dan untuk menggunakannya PTN harus mengajukan
permohonan dengan melampirkan rencana penggunaan disertai data
pendukung.
Penulis tidak akan membicarakan tentang teknis pelaksanaan pengelolaan
PNBP di PTN yang sampai saat ini masih terus bermasalah karena terlalu
teknis dan detail. Penulis justru ingin mengajak para pembaca untuk
secara jernih mencari jalan keluar untuk PTN kita ini.
Pendanaan PTN
Dana yang diperoleh PTN dari masyarakat digunakan sepenuhnya untuk
kepentingan pendidikan yang pada akhirnya akan dirasakan oleh
masyarakat. Penerimaan dari sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan
dari pendaftaran calon mahasiswa baru seluruhnya akan segera digunakan
untuk kepentingan pendidikan. Artinya, dana tersebut kembali ke
mahasiswa dalam bentuk layanan pendidikan.
Apakah penerimaan PTN yang demikian tepat jika dikategorikan sebagai
PNBP? Ini sebetulnya inti permasalahan yang dihadapi oleh PTN maupun
oleh pemerintah sehingga sering kali terjadi silang pendapat dan
akhirnya yang menjadi ”korban” adalah PTN yang disalahkan karena tidak
menyetor PNBP.
Sesuai dengan istilahnya, PNBP adalah salah satu pos penerimaan negara
dari sumber nonpajak, misalnya biaya pengurusan surat izin mengemudi,
biaya pengurusan visa, dan berbagai biaya yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk berbagai departemen dan lembaga pemerintah
nondepartemen. Apakah SPP dan berbagai penerimaan PTN melalui jasa
penelitian dan pengembangan tepat dikategorikan sebagai PNBP? Apakah
pemerintah akan mencari pendapatan dari pendidikan? Bukankah justru
sebaliknya, pemerintah yang mendanai pendidikan?
Dengan pemikiran yang demikian, seharusnya penerimaan oleh PT tidak
dikategorikan sebagai PNBP. Apalagi kondisi saat ini menunjukkan bahwa
dana pemerintah untuk pendidikan tinggi belum mencukupi, bahkan hanya
mencakup separuh dari kebutuhan riilnya. Untuk memenuhi kekurangan
dana operasional PT tersebut, dipungut SPP dan digali potensi
perolehan dari berbagai kegiatan jasa penelitian dan pengembangan.
Dengan demikian, perolehan oleh PT tersebut sepenuhnya akan kembali ke
peserta didik dan merupakan kebutuhan dasar untuk operasional, bukan
merupakan ”keuntungan atau kelebihan” bagi PTN. Ditinjau dari
substansinya, penerimaan PTN tidak dapat dikategorikan sebagai PNBP.
Solusi terbaik
Badan Hukum Pendidikan, yang saat ini RUU-nya sedang digodok oleh DPR,
merupakan solusi terbaik dan elegan di mana PT mempunyai otonomi yang
hakiki yang dibarengi dengan akuntabilitas. Tanggung jawab PT kepada
pemangku kepentingan sangat jelas dan terukur sehingga terjadi
pengawasan oleh masyarakat. Jika ditinjau dari sisi penerimaan negara,
memang tidak diharapkan adanya penerimaan langsung dari mahasiswa
untuk negara. Akan tetapi, dalam jangka panjang, negara akan
memperoleh devisa yang disumbangkan oleh lulusan PT yang bermutu
melalui karya mereka.
Badan Hukum Pendidikan bukanlah hal yang baru di dunia. Hampir di semua
negara PT-nya berbentuk badan hukum yang independen karena independensi
itulah yang menjadikan perguruan tinggi berwibawa. Bahkan, negara yang
sangat konservatif, yaitu Jepang, telah berhasil mereformasi PT-nya
yang semula berstatus PTN menjadi National University Corporation
(identik dengan BHP).
Satryo Soemantri Brodjonegoro Guru Besar Institut Teknologi Bandung;
Visiting Professor Toyohashi University of Technology; dan Mantan
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
sumber :
http://www.kompas. com/kompascetak/ read.php? cnt=.xml. 2008.04.07. 01120896& channel=2& mn=158&idx= 158
Senin, 7 April 2008 | 01:12 WIB Satryo Soemantri Brodjonegoro

Friday, November 30, 2007

andragogy

The notion of andragogy has been around for nearly two centuries. It became particularly popular in North America and Britain as a way of describing adult learning through the work of Malcolm Knowles. But what actually does it mean, and how useful a term is it when thinking about adult learning?

The term andragogy was originally formulated by a German teacher, Alexander Kapp, in 1833 (Nottingham Andragogy Group 1983: v). He used it to describe elements of Plato's education theory. Andragogy (andr- meaning 'man') could be contrasted with pedagogy (paid- meaning 'child' and agogos meaning 'leading') (see Davenport 1993: 114). Kapp's use of andragogy had some currency but it was disputed, and fell into disuse. It reappeared in 1921 in a report by Rosenstock in which he argued that 'adult education required special teachers, methods and philosophy, and he used the term andragogy to refer collectively to these special requirements' (Nottingham Andragogy Group 1983: v). Eduard Lindeman was the first writer in English to pick up on Rosenstock's use of the term. The he only used it on two occasions. picture of Malcolm KnowlesAs Stewart, his biographer, comments, 'the new term seems to have impressed itself upon no one, not even its originators'. That may have been the case in North America, but in France, Yugoslavia and Holland the term was being used extensively 'to refer to the discipline which studies the adult education process or the science of adult education' (Nottingham Andragogy Group 1983: v).

In the minds of many around the adult education field, andragogy and the name of Malcolm Knowles have become inextricably linked. For Knowles, andragogy is premised on at least four crucial assumptions about the characteristics of adult learners that are different from the assumptions about child learners on which traditional pedagogy is premised. A fifth was added later.

1. Self-concept: As a person matures his self concept moves from one of being a dependent personality toward one of being a self-directed human being

2. Experience: As a person matures he accumulates a growing reservoir of experience that becomes an increasing resource for learning.

3. Readiness to learn. As a person matures his readiness to learn becomes oriented increasingly to the developmental tasks of his social roles.

4. Orientation to learning. As a person matures his time perspective changes from one of postponed application of knowledge to immediacy of application, and accordingly his orientation toward learning shifts from one of subject-centeredness to one of problem centredness.

5. Motivation to learn: As a person matures the motivation to learn is internal (Knowles 1984:12).

Each of these assertions and the claims of difference between andragogy and pedagogy are the subject of considerable debate. Useful critiques of the notion can be found in Davenport (1993) Jarvis (1977a) Tennant (1996) (see below). Here I want to make some general comments about Knowles' approach.

Some general issues with Knowles' approach

First, as Merriam and Caffarella (1991: 249) have pointed out, Knowles' conception of andragogy is an attempt to build a comprehensive theory (or model) of adult learning that is anchored in the characteristics of adult learners. Cross (1981: 248) also uses such perceived characteristics in a more limited attempt to offer a 'framework for thinking about what and how adults learn'. Such approaches may be contrasted with those that focus on:

  • an adult's life situation (e.g. Knox 1986; Jarvis 1987a);

  • changes in consciousness (e.g. Mezirow 1983; 1990 or Freire 1972) (Merriam and Caffarella 1991).

Second, Knowles makes extensive use of a model of relationships derived from humanistic clinical psychology - and, in particular, the qualities of good facilitation argued for by Carl Rogers. However, Knowles adds in other elements which owe a great deal to scientific curriculum making and behaviour modification (and are thus somewhat at odds with Rogers). These encourage the learner to identify needs, set objectives, enter learning contracts and so on. In other words, he uses ideas from psychologists working in two quite different and opposing therapeutic traditions (the humanist and behavioural traditions). This means that there is a rather dodgy deficit model lurking around this model.

Third, it is not clear whether this is a theory or set of assumptions about learning, or a theory or model of teaching (Hartree 1984). We can see something of this in relation to the way he has defined andragogy as the art and science of helping adults learn as against pedagogy as the art and science of teaching children. There is an inconsistency here.

Hartree (1984) raises a further problem. Has Knowles provided us with a theory or a set of guidelines for practice? The assumptions 'can be read as descriptions of the adult learner... or as prescriptive statements about what the adult learner should be like' (Hartree 1984 quoted in Merriam and Caffarella 1991: 250). This links with the point made by Tennant - there seems to be a failure to set and interrogate these ideas within a coherent and consistent conceptual framework. As Jarvis (1987b) comments, throughout his writings there is a propensity to list characteristics of a phenomenon without interrogating the literature of the arena (e.g. as in the case of andragogy) or looking through the lens of a coherent conceptual system. Undoubtedly he had a number of important insights, but because they are not tempered by thorough analysis, they were a hostage to fortune - they could be taken up in an ahistorical or atheoretical way.

The assumptions explored

With these things in mind we can look at the assumptions that Knowles makes about adult learners:

1. Self-concept: As a person matures his self concept moves from one of being a dependent personality toward one of being a self-directed human being. The point at which a person becomes an adult, according to Knowles, psychologically, 'is that point at which he perceives himself to be wholly self-directing. And at that point he also experiences a deep need to be perceived by others as being self-directing' (Knowles 1983: 56). As Brookfield (1986) points out, there is some confusion as to whether self-direction is meant here by Knowles to be an empirically verifiable indicator of adulthood. He does say explicitly that it is an assumption. However, there are some other immediate problems:

  • both Erikson and Piaget have argued that there are some elements of self-directedness in children's learning (Brookfield 1986: 93). Children are not dependent learners for much of the time, ‘quite the contrary, learning for them is an activity which is natural and spontaneous' (Tennant 1988: 21). It may be that Knowles was using ‘self-direction’ in a particular way here or needed to ask a further question - 'dependent or independent with respect to what?'

  • the concept is culturally bound - it arises out of a particular (humanist) discourse about the self which is largely North American in its expression. This was looked at last week - and will be returned to in future weeks.

2. Experience: As a person matures he accumulates a growing reservoir of experience that becomes an increasing resource for learning. The next step is the belief that adults learn more effectively through experiential techniques of education such as discussion or problem solving (Knowles 1980: 43). The immediate problem we have is the unqualified way in which the statement is made. There may be times when experiential learning is not appropriate - such as when substantial amounts of new information is required. We have to ask the question, what is being learnt, before we can make judgements.

A second aspect here is whether children's and young people's experiences are any less real or less rich than those of adults. They may not have the accumulation of so many years, but the experiences they have are no less consuming, and still have to be returned to, entertained, and made sense of. Does the fact that they have 'less' supposed experience make any significant difference to the process? A reading of Dewey (1933) and the literature on reflection (e.g. Boud et al 1985) would support the argument that age and amount of experience makes no educational difference. If this is correct, then the case for the distinctiveness of adult learning is seriously damaged. This is of fundamental significance if, as Brookfield (1986: 98) suggests, this second assumption of andragogy 'can arguably lay claim to be viewed as a "given" in the literature of adult learning'.

3. Readiness to learn. As a person matures his readiness to learn becomes oriented increasingly to the developmental tasks of his social roles. As Tennant (1988: 21-22) puts it, 'it is difficult to see how this assumption has any implication at all for the process of learning, let alone how this process should be differentially applied to adults and children'. Children also have to perform social roles.

Knowles does, however, make some important points at this point about 'teachable' moments. The relevance of study or education becomes clear as it is needed to carry out a particular task. At this point more ground can be made as the subject seems relevant.

However, there are other problems. These appear when he goes on to discuss the implications of the assumption. 'Adult education programs, therefore, should be organised around 'life application' categories and sequenced according to learners readiness to learn' (1980: 44)

First, as Brookfield comments, these two assumptions can easily lead to a technological interpretation of learning that is highly reductionist. By this he means that things can become rather instrumental and move in the direction of competencies. Language like 'life application' categories reeks of skill-based models - where learning is reduced to a series of objectives and steps (a product orientation). We learn things that are useful rather than interesting or intriguing or because something fills us with awe. It also thoroughly underestimates just how much we learn for the pleasure it brings (see below).

Second, as Humphries (1988) has suggested, the way he treats social roles - as worker, as mother, as friend, and so on, takes as given the legitimacy of existing social relationships. In other words, there is a deep danger of reproducing oppressive forms.

4. Orientation to learning. As a person matures his time perspective changes from one of postponed application of knowledge to immediacy of application, and accordingly his orientation toward learning shifts from one of subject-centeredness to one of problem centredness. This is not something that Knowles sees as 'natural' but rather it is conditioned (1984: 11). It follows from this that if young children were not conditioned to be subject-centred then they would be problem-centred in their approach to learning. This has been very much the concern of progressives such as Dewey. The question here does not relate to age or maturity but to what may make for effective teaching. We also need to note here the assumption that adults have a greater wish for immediacy of application. Tennant (1988: 22) suggests that a reverse argument can be made for adults being better able to tolerate the postponed application of knowledge.

Last, Brookfield argues that the focus on competence and on 'problem-centredness' in Assumptions 3 and 4 undervalues the large amount of learning undertaken by adults for its innate fascination. '[M]uch of adults' most joyful and personally meaningful learning is undertaken with no specific goal in mind. It is unrelated to life tasks and instead represents a means by which adults can define themselves' (Brookfield 1986: 99).

5. Motivation to learn: As a person matures the motivation to learn is internal (Knowles 1984:12). Again, Knowles does not see this as something 'natural' but as conditioned - in particular, through schooling. This assumption sits awkwardly with the view that adults' readiness to learn is 'the result of the need to perform (externally imposed) social roles and that adults have a problem-centred (utilitarian) approach to learning' (Tennant 1988: 23).

In sum it could be said that these assumptions tend to focus on age and stage of development. As Ann Hanson (1996: 102) has argued, this has been at the expense of questions of purpose, or of the relationship between individual and society

Andragogy and pedagogy

As we compare Knowles' versions of pedagogy and andragogy what we can see is a mirroring of the difference between what is known as the romantic and the classical curriculum (although this is confused by the introduction of behaviourist elements such as the learning contract). As Jarvis (1985) puts it, perhaps even more significantly is that for Knowles 'education from above' is pedagogy, while 'education of equals' is andragogy. As a result, the contrasts drawn are rather crude and do not reflect debates within the literature of curriculum and pedagogy.

A comparison of the assumptions of pedagogy and andragogy following Knowles (Jarvis 1985: 51)
Pedagogy Andragogy
The learner Dependent. Teacher directs what, when, how a subject is learned and tests that it has been learned Moves towards independence.

Self-directing. Teacher encourages and nurtures this movement

The learner's experience Of little worth. Hence teaching methods are didactic A rich resource for learning. Hence teaching methods include discussion, problem-solving etc.
Readiness to learn People learn what society expects them to. So that the curriculum is standardized. People learn what they need to know, so that learning programmes organised around life application.
Orientation to learning Acquisition of subject matter. Curriculum organized by subjects. Learning experiences should be based around experiences, since people are performance centred in their learning

We need to be extremely cautious about claiming that there is anything distinctive about andragogy. In his reference to romantic and classic notions of curriculum Jarvis (1985) brings out that what lies behind these formulations are competing conceptualizations of education itself. Crucially, these are not directly related to the age or social status of learners. There are various ways of categorizing strands of educational thinking and practice - and they are somewhat more complex than Knowles' setting of pedagogy against andragogy. In North American education debates, for example, four main forces can be identified in the twentieth century: the liberal educators; the scientific curriculum makers; the developmental/person-centred; and the social meliorists (those that sought more radical social change) (after Kliebart 1987). Another way of looking at these categories (although not totally accurate) is as those who see curriculum as:

  • the transmission of knowledge,

  • product

  • process, and

  • praxis.

Viewed in this way - Knowles' version of pedagogy looks more like transmission; and andragogy, as represented in the chart, like process. But as we have seen, he mixes in other elements - especially some rather mechanistic assumptions and ideas which can be identified with scientific curriculum making.

Andragogy - the continuing debate

By 1984 Knowles had altered his position on the distinction between pedagogy and andragogy. The child-adult dichotomy became less marked. He claimed, as above, that pedagogy was a content model and andragogy a process model but the same criticisms apply concerning his introduction of behaviourist elements. He even added the fifth assumption: As a person matures the motivation to learn is internal (1984: 12). Yet while there have been these shifts, the tenor of his work, as Jarvis (1987b) argues, still seems to suggest that andragogy is related to adult learning and pedagogy to child learning.

There are those, like Davenport (1993) or the Nottingham Andragogy Group (1983) who believe it is possible to breathe life into the notion of andragogy - but they tend to founder on the same point. Kidd, in his study of how adults learn said the following:

[W]hat we describe as adult learning is not a different kind or order from child learning. Indeed our main point is that man must be seen as a whole, in his lifelong development. Principles of learning will apply, in ways that we shall suggest to all stages in life. The reason why we specify adults throughout is obvious. This is the field that has been neglected, not that of childhood. (Kidd 1978: 17)

If Kidd is correct then the search for andragogy is pointless. There is no basis in the characteristics of adult learners upon which to construct a comprehensive theory. Andragogy can be seen as an idea that gained popularity in at a particular moment - and its popularity probably says more about the ideological times (Jarvis 1995: 93) than it does about learning processes.

Further reading and references

Here I have listed the main texts proposing 'andragogy' - and inevitably it is the work of Malcolm Knowles that features.

Knowles, M. (1980) The Modern Practice of Adult Education. From pedagogy to andragogy (2nd edn). Englewood Cliffs: Prentice Hall/Cambridge. 400 pages. Famous as a revised edition of Knowles' statement of andragogy - however, there is relatively little sustained exploration of the notion. In many respects a 'principles and practice text'. Part one deals with the emerging role and technology of adult education (the nature of modern practice, the role and mission of the adult educator, the nature of andragogy). Part 2 deals organizing and administering comprehensive programmes (climate and structure in the organization, assessing needs and interests, defining purpose and objectives, program design, operating programs, evaluation). Part three is entitled 'helping adults learn and consists of a chapter concerning designing and managing learning activities. There are around 150 pages of appendices containing various exhibits - statements of purpose, evaluation materials, definitions of andragogy.

Knowles, M. et al (1984) Andragogy in Action. Applying modern principles of adult education, San Francisco: Jossey Bass. A collection of chapters examining different aspects of Knowles' formulation.

Knowles, M. S. (1990) The Adult Learner. A neglected species (4e), Houston: Gulf Publishing. First appeared in 1973. 292 + viii pages. Surveys learning theory, andragogy and human resource development (HRD). The section on andragogy has some reflection on the debates concerning andragogy. Extensive appendices which includes planning checklists,policy statements and some articles by Knowles - creating lifelong learning communities, from teacher to facilitator etc.

Nottingham Andragogy Group (1983) Towards a Developmental Theory of Andragogy, Nottingham: University of Nottingham Department of Adult Education. 48 pages. Brief review of the andragogy debate to that date. Section 1 deals with adult development; section 2 with the empirical and theoretical foundations for a theory of andragogy; and section 3 proposes a model and theory.

Some critiques of the notion of andragogy - and more particularly the work of Knowles can be found in:

Davenport (1993) 'Is there any way out of the andragogy mess?' in M. Thorpe, R. Edwards and A. Hanson (eds.) Culture and Processes of Adult Learning, London; Routledge. (First published 1987).

Jarvis, P. (1987a) 'Malcolm Knowles' in P. Jarvis (ed.) Twentieth Century Thinkers in Adult Education, London: Croom Helm.

Tennant, M. (1988, 1996) Psychology and Adult Learning, London: Routledge.

Other references

Boud, D. et al (1985) Reflection. Turning experience into learning, London: Kogan Page.

Brookfield, S. D. (1986) Understanding and Facilitating Adult Learning. A comprehensive analysis of principles and effective practice, Milton Keynes: Open University Press.

Cross, K. P. (1981) Adults as Learners. Increasing participation and facilitating learning (1992 edn.), San Francisco: Jossey-Bass.

Dewey, J. (1933) How We Think, New York: D. C. Heath.

Hanson, A. (1996) 'The search for separate theories of adult learning: does anyone really need andragogy?' in Edwards, R., Hanson, A., and Raggatt, P. (eds.) Boundaries of Adult Learning. Adult Learners, Education and Training Vol. 1, London: Routledge.

Humphries, B. (1988) 'Adult learning in social work education: towards liberation or domestication'. Critical Social Policy No. 23 pp.4-21.

Jarvis, P. (1985) The Sociology of Adult and Continuing Education, Beckenham: Croom Helm.

Kidd, J. R. (1978) How Adults Learn (3rd. edn.),Englewood Cliffs, N.J.:Prentice Hall Regents.

Kliebart, H. M. (1987) The Struggle for the American Curriculum 1893-1958, New York : Routledge.

Merriam, S. B. and Caffarella, R. S. (1991)Learning in Adulthood. A comprehensive guide, San Francisco: Jossey-Bass.

How to cite this article: Smith, M. K. (1996; 1999) 'Andragogy', the encyclopaedia of informal education, http://www.infed.org/lifelonglearning/b-andra.htm. Last update: November 27, 2007.

© Mark K. Smith 1996, 1999

Andragogy + Pedagogy

Pedagogy (pèd-e-go´jê) literally means the art and science of educating children and often is used as a synonym for teaching. More accurately, pedagogy embodies teacher-focused education.

In the pedagogic model, teachers assume responsibility for making decisions about what will be learned, how it will be learned, and when it will be learned. Teachers direct learning.

The great teachers of ancient times, from Confucius to Plato, didn't pursue such authoritarian techniques. Major differences exist between what we know of the great teachers' styles, yet they all saw learning as a process of active inquiry, not passive reception. Considering this, it is surprising that teacher-focused learning later came to dominate formal education.

One explanation for the teacher-focused approach goes back to the Calvinists who believed wisdom was evil. They espoused that adults direct, control, and ultimately limit children's learning to keep them innocent.

Another theory maintains that seventh century schools, organized to prepare young boys for the priesthood, found indoctrination an effective approach to instill beliefs, faith, and ritual. Many centuries later, organized schools adopted a similar approach although the outcome was supposed to be neither innocence nor a cloistered life.

John Dewey believed formal schooling was falling short of its potential. Dewey emphasized learning through various activities rather than traditional teacher-focused curriculum. He believed children learned more from guided experience than authoritarian instruction. He ascribed to a learner-focused education philosophy. He held that learning is life not just preparation for life.

Adult education, too, fell victim to teacher-centered models. In 1926, the American Association for Adult Education began and quickly started researching better ways to educate adults. Influenced by Dewey, Eduard C. Lindeman wrote in The Meaning of Adult Education:

Our academic system has grown in reverse order. Subjects and teachers constitute the starting point, [learners] are secondary. In conventional education the [learner] is required to adjust himself to an established curriculum....Too much of learning consists of vicarious substitution of someone else's experience and knowledge. Psychology teaches us that we learn what we do....Experience is the adult learner's living textbook.

Unfortunately, only some of Dewey's and Lindeman's theories seeped into modern classrooms for children or adults. A century after Dewey proposed learner-focused education, most formal education still focuses on the teacher.

------------------
It is the supreme art of the teacher to awaken joy in creative expression and knowledge.

— Albert Einstein
------------------

As a result, many learners leave school having lost interest in learning. Even good-intentioned educators can squelch naturally inquisitive instincts by controlling the learning environment. By adulthood, some people view learning as a chore and a burden.

In an attempt to formulate a comprehensive adult learning theory, Malcolm Knowles, in 1973, published the book The Adult Learner: A Neglected Species. Building on the earlier work of Lindeman, Knowles asserted that adults require certain conditions to learn. He borrowed the term andragogy (and-rè-go´jê) to define and explain the conditions.

Andragogy, initially defined as "the art and science of helping adults learn," has taken on a broader meaning since Knowles' first edition. The term currently defines an alternative to pedagogy and refers to learner-focused education for people of all ages.

The andragogic model asserts that five issues be considered and addressed in formal learning. They include (1) letting learners know why something is important to learn, (2) showing learners how to direct themselves through information, and (3) relating the topic to the learners' experiences. In addition, (4) people will not learn until they are ready and motivated to learn. Often this (5) requires helping them overcome inhibitions, behaviors, and beliefs about learning.

Unfortunately, andragogy usually is cited in education texts as the way adults learn. Knowles himself concedes that four of andragogy's five key assumptions apply equally to adults and children. The sole difference is that children have fewer experiences and pre-established beliefs than adults and thus have less to relate.

In the information age, the implications of a move from teacher-centered to learner-centered education are staggering. Postponing or suppressing this move will slow our ability to learn new technology and gain competitive advantage.

How can we expect to analyze and synthesize so much information if we turn to others to determine what should be learned, how it will be learned, and when it will be learned?

Though our grandchildren or great-grandchildren may be free of pedagogic bias, most adults today are not offered that luxury. To succeed, we must unlearn our teacher-reliance.

We must take it upon ourselves to meet our learning needs and demand training providers do the same. To know our demands, we must know how we process information.

Some of this text was originally published in a whitepaper Marcia wrote in 1995 for Wave Technologies entitled "Learning: The Critical Technology." You can download the entire whitepaper here in Adobe Acrobat format (280K).

  1. Pedagogy from the Greek word paid, meaning "child," and agogus meaning "leader of."
  2. Malcolm Knowles (1998). The adult learner: The Definitive Classic in Adult Education and Human Resource Development. Houston, TX: Gulf Publishing.
  3. John Dewey tested and proved his theories in the Laboratory School, established at the University of Chicago in 1896.
  4. Eduard C. Lindeman (1926). The meaning of adult education. New York: New Republic. Redistributed edition 1989.
  5. In The Adult Learner, Knowles stated that Andragogy is not a new word. It was used in Germany as early as 1833 and has been used extensively during the last decade in Yugoslavia, France and Holland. It is also worth noting that in 1927, Martha Anderson and Eduard Lindeman used the term in a volume titled Education Through Experience.
by Marcia L. Conner

7 Alasan kenapa Indonesia Gak Bisa maju

  1. Jml penduduk Indonesia ada 237 juta. 104 juta diantaranya adalah para pensiun. Jadi tinggal 133 juta yang bisa kerja.
  2. Jml pelajar dan mahasiswa adalah 85 juta. Mereka sekolah, jadi tinggal 48 juta orang yang bisa kerja.
  3. Yang kerja buat pemerintah pusat sebagai pegawai negeri ada 29 juta. Jadi tinggal 19 juta yang bisa kerja.
  4. Ada 4 juta yg jadi TNI/POLRI. Jadi tinggal 15 juta yg bisa kerja.
  5. Ada lagi yang kerja di pemerintahan daerah dan departemen jumlah nya 14.800.000. jadi sisanya tinggal 200.000 yang bisa kerja.
  6. Yang sakit dan dirawat di Rumah Sakit di seluruh Indonesia ada 188.000. Jadi sisa 12.000 orang yang bisa kerja.
  7. Ada 11.988 orang yg dipenjara. Jadi tinggal sisa dua orang saja yang masih bisa kerja.

SIAPA MEREKA .....?
Yaa,... tentu saja SAYA dan ANDA.
Tapi kan... ANDA malah sibuk main internet...
Jadi tinggal SAYA SENDIRI YANG BEKERJA.!!!! !!
Bagaimana Indonesia bisa maju kalau cuma saya sendiri