Monday, January 12, 2009

Difusi Inovasi

Dalam Pengantar buku (edisi ketiga) Diffusion of Innovations, The Free Press, N.Y., Rogers, Everet M. (1983), penulisnya, menjelaskan bahwa edisi pertama terbit tahun 1962 dan edisi kedua (dengan judul Communication of Innovations: A Cross-Cultural Approach dan dengan penulis kedua F.Floyd Shoemaker) terbit pada tahun 1972. Dalam Pengantar tersebut disajikan (a) kesamaan difusi dengan riset persuasi: (a1) bukan komunikasi satu kepada orang banyak, tapi sesuatu yang dikerjakan bersama orang lain, dan (a2) tidak semata berpusat pada aksi atau isu (menjual produk, aksi atau kebijakan), tapi juga menjual kredibilitas diri dan/atau orang lain; (b) kontras difusi (fokus lebih pada adopsi/ keputusan untuk menggunakan dan mengimplementasikan gagasan baru, bukan pada implementasi aktual atau konsekuensi inovasi) dengan riset persuasi (fokus lebih pada pengubahan sikap, bukan perilaku); (c) pergeseran studi difusi dari yang mendasarkan pada model komunikasi linier (proses di mana pesan ditransfer dari sumber ke penerima) ke yang mendasarkan pada model komunikasi konvergensi (proses saling tukar informasi diantara sesama partisipan) dan (d) definisi inovasi difusi sebagai pada dasarnya suatu proses sosial di mana informasi tentang gagasan baru yang dipersepsi secara subjektif dikomunikasikan.
Pembahasan pada bab 1 sampai dengan bab 11 masing-masing diberi judul (1) Unsur-unsur Difusi, (2) Sejarah Riset Difusi, (3) Kontribusi dan Kritik riset Difusi, (4) Lahirnya Inovasi, (5) Proses Keputusan Inovasi, (6) Atribut Inovasi dan Tingkat Adopsinya, (7) Kategori Keinovatifan dan Kategori Adopter, (8) Kepemimpinan Opini dan Network Difusi, (9) Agen Perubahan, (10) Inovasi dalam Organisasi dan (11) Konsekuensi-konsekuensi Inovasi. Bab 1 membahas empat unsur inovasi (a) inovasi (b) saluran komunikasi, (c) waktu dan (d) sistem sosial. Inovasi -sering disinonimkan dengan teknologi- suatu gagasan, praktek atau objek yang dipersepsi baru oleh seorang individu atau suatu unit adopter. Inovasi dibedakan dari reinvensi: tingkat inovasi diubah atau dimodifikasi pengguna pada proses adopsi dan implementasi. Inovasi sering berupa cluster teknologi karena dengan demikian akan lebih mudah untuk diadopsi. Bab 1 selanjutnya meringkas materi yang akan dibahas pada bab 4 sampai dengan bab 11.
Bab 2 diawali dengan komentar Elihu Katz dkk. (1963) ‘berbagai tradisi riset ironisnya ditemukan secara sendiri-sendiri’. Tradisi riset adalah sederet penelitian tentang topik sejenis di mana penelitian sebelumnya berpengaruh pada penelitian sesudahnya. Tradisi riset pada dasarnya adalah suatu ‘universitas tidak terlihat’. Riset difusi dimulai di Perancis, Inggris dan Jerman-Austria di awal abad 20. Di Perancis, Tarde (1903) mengemukakan hukum imitasi ‘dari 100 inovasi, 10 akan menyebar luas sementara 90 akan dilupakan’. Selanjutnya disajikan sembilan tradisi riset: antropologi, sosiologi awal, sosiologi pedesaan, pendidikan, sosiologi medis, komunikasi, pemasaran, geografi dan sosiologi umum. Akhirnya, disajikan delapan tipe riset difusi (1) kapan inovasi diketahui, (2) tingkat adopsi inovasi, (3) keinovatifan, (4) kepemimpinan opini, (5) jaringan difusi, (6) tingkat adopsi dalam berbagai sistem sosial, (7) saluran komunikasi dan (8) konsekuensi inovasi.
Bab 3 menyajikan kontribusi riset difusi berupa (a) model difusi sebagai paradigma konseptual yang relevan dengan banyak disiplin ilmu, (b) sifat pragmatisnya dalam memecahkan masalah penggunaan hasil riset, (c) memungkinkan periset mengemas ulang temuan empirisinya dalam bentuk generalisasi lebih teoritis lagi dan (d) metodologinya yang jelas dan relatif facile. Selanjutnya,disajikan kritik pada riset difusi: (a) bias pro-inovasi: inovasi harus diadopsi semua anggota suatu sistem sosial dengan cara cepat dan inovasi tidak boleh ditolak atau direinvensi, (b) bias menyalahkan individu: kecenderungan menyalahkan individu, bukan sistem, (c) masalah ingatan: ketidakakuratan responden dalam mengingat proses adopsi inovasi dan (d) isu ekualitas: inovasi cenderung memperlebar kesenjangan kaya-miskin. Akhirnya, disajikan prosedur meta-riset, yaitu sintesis riset empiris menjadi kesimpulan umum yang lebih teoritis: (a) perumusan konsep (dimensi yang dinyatakan dalam istilah paling mendasar), (b) menyusun hubungan dua konsep dalam bentuk hipotesis teoritis, (c) menguji hipotesis teoritis dengan hipotesis empiris yang dinyatakan dalam postulat hubungan dua konsep operasional, (d) uji hipotesis empiris dengan uji signifikansi atau uji lainnya dan (e) hipotesis teoritis ditolak atau diterima berdasarkan ditolak atau diterimanya hipotesis empiris.
Bab 4 menyajikan enam momen proses inovasi yang merupakan paduan dari (a) analisis kebutuhan (momen pertama: perumusan masalah atau analisis kebutuhan), (b) tracer study (momen kedua sampai ke lima: penelitian murni/terapan, pengembangan, komersialisasi/ sosialisasi serta difusi dan inovasi) dan (c) studi difusi klasik (momen ke lima dan ke enam: difusi/ inovasi dan konsekuensi inovasi). Masalah yang umumnya ditemukan adalah rendahnya penjualan hasil penelitian yang sudah dipatenkan (di Amerika mislanya adalah 1500 dari 30000 paten). Pengembangan teknologi mengalami empat tahap (a) trial and error dalam skala kecil, (b) imitasi, (c) kompetisi tekonologi dan (d) keluar dari kompetisi dan melakukan standarisasi produk. Beberapa konsekuensi inovasi adalah (a) ke enam momen difusi inovasi mungkin tidak semuanya ada dalam suatu inovasi, (b) kemungkinan ketidak sinkronan konsekuensi yang diharapkan dengan yang benar-benar terjadi, dan (c) pelebaran kesenjangan kaya-miskin. Akhirnya, dibahas (a) kelemahan tracer study: tergantung ada tidaknya publikasi, sedikitnya data fase difusi/ adopsi dan sifatnya rekonstruksi rasionalistik dan (b) inovasi organisasi yang muncul secara individual, kolektif, atas instruksi atasan atau didorong inovasi sebelumnya mempunyai dua momen, yaitu inisiasi dan implementasi.
Bab 5 membahas lima proses keputusan inovasi (a) mengetahui inovasi, (b) peruasi, (c) keputusan, (d) implementasi (seutuhnya atau lewat reinvensi) dan (e) konfirmasi atau meniadakan/mengurangi disonansi, suatu ketidaksetimbangan internal yang disebabkan (e1) kebutuhan, (e2) belum mengadopsi sesuatu yang diinginkan atau (e3) setelah mengadopsi untuk meneruskan atau diskontinu. Inovasi dapat tidak dilanjutkan (diskontinu) karena (a) kecewa atau (b) diganti dengan invasi lainnya. Beberapa temuan proses keputusan inovasi adalah (a) Inovasi yang tingkat adopsinya tinggi tingkat diskontinu; (b) diskontinu cenderung dilakukan oleh adopter akhir; (c) riset selama ini kebanyakan riset variansi sehingga diperlukan riset proses; (d) beberapa saluran komunikasi difusi inovasi adalah media massa dan hubungan antar-pribadi serta saluran kosmopolit dan lokalit; (e) media massa dan saluran kosmopolit terutama penting pada tahap mengetahui inovasi; sementara hubungan antar-pribadi dan saluran lokalit terutama penting pada tahap persuasi; (f) media massa dan saluran kosmopolit lebih penting bagi adopter awal; (g) tingkat mengetahui inovasi lebih cepat dari tingkat adopsi dan (h) adopter awal mengalami proses keputusan inovasi lebih cepat.
Bab 6 menyatakan bahwa tingkat inovasi dipengaruhi oleh satu atau beberapa karakteristik berikut: (a) keuntungan relatif, (b) kompatibilitas atau kekonsistenannya dengan nilai yang dianut, (c) kompleksitas atau tingkat kemudahan untuk dipahami, (d) triabilitas atau kedapat-dicobaannya dalam skala kecil dan (e) observabilitas atau keterlihatannya oleh orang/pihak lain. Tingkat adopasi dipengaruhi oleh (a) jenis keputusan inovasi (opsional, kolektif atau atas dasar otoritas), (b) jenis saluran komunikasi yang digunakan, (c) norma, sifat kesalingterhubungan individu, dst. dalam komunitas adopter dan (d) upaya agen perubahan. Selain itu, ditemukan bahwa (a) sampai tingkat kesadaran inovasi mencapai 20-30% tingkat adopsi rendah, sedangkan setelah ambang tersebut tingkat kesadaran dan tingkat adopsi meninggi dan (b) overadopsi adalah fenomena inovasi diadopsi padahal menurut para ahli sebaiknya tidak diadopsi.
Bab 7 mencatat bahwa kontinum keinovatifan dapat dibagi menjadi lima kategori (a) invator, (b) adopter awal, (c) mayoritas awal, (d) mayoritas akhir dan (e) laggards. Masing-masing kategori tersebut mempunyai karakteristik (a) venturesome, (b) respectable, (c) deliberate, (d) skeptis dan (e) tradisional. Usia adopter awal relatif sama dengan adopter akhir hanya saja adopter awal cenderung lebih unggul dalam hal (a) pendidikan, (b) literasi, (c) status sosial, (d) mobilitas ke atas, (e) ukuran ladang, perusahaan, dst., (f) sikap terhadap kredit dan (g) tingkat spesialisasi pekerjaan. Selain itu, dalam hal kepribadian, dibandingkan dengan adopter akhir, adopter awal mempunyai (a) empati lebih besar, (b) kurang dogmatis, (c) lebih mampu melakukan abstraksi, (d) lebih rasional, (e) lebih intelejen, (f) lebih mudah menerima perubahan, (g) lebih mampu mengangani ketidakpastian dan resiko, (h) lebih menghargai pendidikan dan sains, (i) kurang fatalis, (j) mempunyai motivasi pencapaian lebih besar, (k) aspirasi lebih tinggi pada pendidikan, pekerjaan, dst. Akhirnya, dalam hal perilaku komunikasi, dibandingkan dengan adopter akhir, adopter awal mempunyai (a) partisipasi sosial lebih tinggi, (b) kontak sosial lebih banyak dengan sesamanya dan/atau dengan agen perubahan, (c) lebih kosmopolit, dan terekspose pada media massa, (d) lebih aktif mencari informasi dan lebih banyak tahu tentang inovasi dan (e) lebih tinggi kepemimpinan opininya.
Bab 8 membahas model kepemimpinan opini aliran dua-langkah: pesan mengalir dari sumber via media massa ke pemimpin opini yang pada gilirannya menyampaikannya pada para pengikutnya. Model tersebut ditentang oleh model ‘jarum hipodermik’ di mana dipostulatkan bahwa media massa mempunyai pengaruh langsung, segera dan kuat pada individu-individu yang terkait dengan media massa, tapi tidak terkait satu dengan lainnya. Menurut teori Granovetter individu cenderung terkait dengan orang yang secara fisik dekat dan menurut atribut-atribut seperti kepercayaan, pendidikan dan status sosial relatif sama (homofili; kontras dengan heterofili di mana atribut-atribut tersebut relatif beda). Duff dan Liu (1975) menyatakan bahwa dalam satu network komunikasi, pertukaran informasi dari satu clique (yang ditandai dengan promiximitas komunikasi tinggi) ke clique lain dijembatani oleh proximitas komunikasi rendah yang heterofili (misal, dari clique berstatus sosial tinggi ke clique berstatus sosial lebih rendah). Beberapa temuan lainnya ialah (a) Dalam network heterofili, pengikut cenderung mencari pemimpin opini yang mempunyai status sosial, pendidikan, ekspose ke media massa, tingkat keinovatifan, tingkat kekosmopolitan dan tingkat kontak dengan agen perubahan lebih tinggi, (b) pemimpin opini lebih sejalan dengan norma sistem dibanding dengan pengikutnya, (c) pemimpin opini dapat dibedakan menjadi polimorfis (mempunyai opini dalam banyak bidang) atau monomorfis (mempunyai opini hanya dalam satu bidang), dan (d) network personal radial (dari satu ke banyak orang) lebih penting untuk inovasi dibanding dengan network interlocking di mana individu saling berinteraksi.
Bab 9 membahas masalah yang dihadapi agen perubahan adalah (a) sebagai penengah antara agensi perubahan dan klien dan (b) kemungkinan kesulitan mengolah informasi yang cenderung melimpah; sementara itu, masalah aide lebih parah lagi karena kredibiltas kompetensi atau profesionalismenya diragukan. Tujuh peran agen perubah adalah (a) menumbuhkan kebutuhan dalam diri klien, (b) membangun hubungan pertukaran informasi, (c) mendiagnosa masalah klien, (d) menumbuhkan niat berubah pada klien, (e) menerjemahkan niat klien ke dalam tindakan, (f) menstabilkan adopsi dan mencegah diskontinu adopsi dan (g) mencapai hubungan terminal dengan klien (yaitu ketika klien berubah menjadi agen perubahan). Kesuksesan agen perubahan tergantung pada (a) upayanya menghubungi klien, (b) orientasinya yang lebih kepada klien, bukan pada agensi perubahan,(c) tingkat kesesuaian inovasi dengan kebutuhan klien, (d) empatinya kepada klien, (e) homofilitasnya dengan klien, (f) kredibilitasnya di mata klien, (g) tingkat kesejalanannya dengan pemimpin opini dan (h) kemampuan klien mengevaluasi inovasi. Selanjutnya, hubungan agen perubahan secara positif tergantung pada lebih tingginya klien dalam hal (a) status sosial, (b) partispasi sosial, (c) pendidikan dan (d) kekosmoplitannya. Akhirnya, juga dibahas mengenai sistem difusi sentralistik dipadu dengan sistem difusi desentralistik dan/atau penerapan kedua sistem tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sistem difusi sentralistik, difusi dilakukan oleh pemerintah dan/atau ahli; sementara itu, dalam sistem difusi desentralistik, inovasi datang dari ekpserimentasi lokal yang sering dilakukan oleh pengguna itu sendiri dan/atau atas dasar saling tukar informasi untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Difusi lewat network horizontal dilakukan unit lokal dengan tingkat kemungkin reinvensi yang tinggi.
Bab 10 mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem stabil dari sejumlah individu yang bekerja sama untuk mecapai tujuan bersama lewat suatu hiearki jabatan dan pembagian tugas. Inovasi dilakukan secara opsional, kolektif atau didasarkan pada otoritas atau inovasi sebelumnya . Sampai tahun 1970-an, inovasi dalam organisasi diteliti dengan riset variansi, yaitu diteliti korelasinya dengan sejumlah variabel bebas. Variabel bebas dan sifat korelasinya dengan keinovatifan (+ atau -) tersebut adalah (a) karakteristik pemimpin: sikap pemimpin terhadap perubahan (+), dst.; (b) karakteristik internal struktur organisasi: sentralisasi (-), kompleksitas (+), formalitas (-), kesalingterkaitan (+), ketersediaan cadangan (+), dst. dan (c ) karakteristik eksternal organisasi: keterbukaan sistem (+), dst. Riset variansi sekarang diganti dengan riset proses inovasi yang mempunyai dua momen, yaitu inisiasi dan implementasi. Dalam inisiasi terdapat tahap agenda setting (perumusan masalah) dan matching (penyelarasan masalah dan solusi), sementara dalam implementasi ada tahap redefinisi/ restruktrurisasi masalah, klarifikasi dan rutinisasi (hasil) inovasi.
Akhirnya, bab 11 mendefinisikan konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi. Konsekuensi inovasi jarang diteliti karena (a) agensi perubahan memberi perhatian terlalu banyak pada adopsi dan mengasumsikan konsekuensi adopsi pasti positif, (b) metode riset survei mungkin tidak cocok untuk meneliti konsekuensi inovasi dan (c) sulitnya mengukur konsekuensi inovasi. Konsekuensi inovasi dapat dibagi menjadi (a) diinginkan vs. tidak diinginkan, (b) langsung vs. tidak langsung dan (c) diantisipasi vs. tidak diantisipasi; sementara itu, dari contoh penggunaan kappa besi di suku Aborijinal, diketahui tiga unsur intrinsik dari inovasi: (a) bentuk: penampakan fisik dan substansi inovasi; (b) fungsi: kontribusi inovasi pada cara hidup adopter dan (c) makna: persepsi subjektif dan sering di bawah sadar dari adopter terhadap inovasi. Hal lain yang berkaitan dengan konsekuensi inovasi adalah tingkat perubahan dalam sistem yang mungkin mengalami (a) kesetimbangan stabil (inovasi tidak menyebabkan perubahan dalam struktur dan/atau fungsi sistem sosial), (b) kesetimbangan dinamis (perubahan yang disebabkan inovasi setara dengan kemampuan sistem sosial untuk menanganinya), atau (c) disequilibrium (perubahan yang disebabkan inovasi terlalu cepat untuk dapat ditangani sistem sosial). Dengan demikian, tujuan dari inovasi adalah untuk mencapai kesetimbangan dinamis. Akhirnya, hal lainnya lagi yang harus dikaji dalam konsekuensi inovasi adalah cara mengatasi kenyataan bahwa inovasi sering memperlebar kesenjangan sosio-ekonomik masyarakat. Beberapa cara tersebut adalah (a) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai akses lebih banyak dibanding orang miskin: pesan disampaikan lewat (a1) cara masal seperti lewat radio atau televisi; penggunaan bahasa yang dimengerti orang miskin; penggunaan multi-media yang didasarkan kondisi sosial budaya orang miskin; penyampaian dalam kelompok kecil di mana orang miskin biasanya berkumpul, dan pengubahan fokus dari sasaran inovasi tradisional (yaitu pada kelompok yang paling berpotensi untuk berubah) ke kelompok yang paling tidak berpotensi untuk berubah; (b) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai akses lebih banyak pada hasil evaluasi inovasi dibanding orang miskin: pemimpin opini orang miskin harus ditemukan (meski pun relatif lebih sulit dibanding dengan menemukan pemimpin opini orang kaya) dan hubungan agen perubahan dikonsentrasikan pada mereka, aide dari kalangan orang miskin digunakan untuk menghubungi kelompok homofilinya dan kelompok formal di kalangan orang miskin diperkuat dan/atau dibina serta ( c) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai sumber daya lebih dibanding orang miskin: pemilihan inovasi yang cocok untuk orang miskin; membangun organisasi (misalnya koperasi) di kalangan orang miskin; memberi kesempatan orang miskin berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan inovasi; pengembangan programdan/atau agensi yang diperuntukkan khusus orang miskin dan pergeseran dari difusi inovasi yang datang dari riset dan pengembangan (R & D) formal ke penyebaran informasi tentang gagasan yang didasarkan pada pengalaman lewat sistem difusi desentralistik: sering untuk ikatan intelektual dari kebijakan konvensional adalah eksperimen di lapangan.
Diambil dari:
Dodi Sukmayadi..2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi (Book Report. Rogers, Everet M. (1983), 3rd, Diffusion of Innovations, The Free Press, N.Y). Bandung Program Pasca Sarjana- Universitas Pendidikan Indonesia.

10 Langkah Praktis untuk Menjaga Kehidupan Inovasi dalam Organisasi

Joyce Wycoff (2004) mengemukakan tentang 10 langkah praktis untuk mempertahankan kehidupan inovasi dalam suatu organisasi. Kesepuluh langkah tersebut adalah:

  1. Hilangkan rasa takut dalam organisasi. Innovasi artinya melakukan sesuatu yang baru dan sesuatu yang baru itu mungkin akan gagal, jika orang-orang senantiasa diliputi ketakutan akan kegagalan.
  2. Jadikan inovasi sebagai bagian dari sistem penilaian kinerja setiap orang. Tanyakan kepada mereka, apa yang akan mereka ciptakan atau tingkatkan pada masa-masa yang akan datang, kemudian ikuti kemajuannya.
  3. Dokumentasikan setiap proses inovasi dan pastikan setiap orang dapat memahami peran didalamnya dengan sebaik-baiknya.
  4. Berikan keluasaan kepada setiap orang untuk dapat mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru (new possibilities) dan berkolaborasi dengan orang lain, baik yang ada dalam organisasi maupun di luar organisasi.
  5. Pastikan setiap orang dapat memahami strategi organisasi dan pastikan pula bahwa semua usaha inovasi benar-benar sudah selaras dengan strategi yang ada.
  6. Belajarkan setiap orang untuk mampu memindai lingkungan, seperti tentang trend baru, teknologi atau perubahan mindset pelanggan.
  7. Belajarkan setiap orang untuk menghargai keragaman, baik dalam gaya berfikir, perspektif, pengalaman maupun keahlian, karena keragaman seluruh aktivitas ini merupakan bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dalam proses menuju inovasi.
  8. Tentukan kriteria yang terukur dengan fokus pada cita-cita masa depan organisasi. Kriteria yang ketat hanya akan menghambat terhadap pencapaian cita-cita dan melestarikan berbagai asumsi dan mindset masa lampau. Curahkan waktu untuk pengembangan dan kesuksesan yang hendak organisasi pada masa yang akan datang.
  9. Team Inovasi berbeda dengan team proyek regular. Oleh karena itu, dibutuhkan perlengkapan dan mindset yang berbeda pula. Sediakanlah pelatihan yang cukup sehingga setiap orang dapat bekerja dalam inovasi secara sukses.
  10. Kembangkan sistem pengelolaan gagasan dan tangkaplah setiap gagasan untuk dikembangkan dan dievaluasi berbagai kemungkinannya

Sumber:

Adaptasi dari: Joyce Wycoff .2004. Ten Practical Steps to Keep Your Innovation System Alive & Well. http://thinksmart.com/

Strategi Pengembangan Sekolah Unggul

Sekolah unggul atau sekolah efektif tentunya merupakan dambaan kita semua. Untuk menuju ke arah sana dibutuhkan strategi yang tepat. Dalam hal ini, Fasli Jalal menyajikan sebuah tulisan tentang konsep strategi untuk menuju sekolah unggul. Dalam tulisannya, dikemukakan pula tentang arti, karakteristik, dan dimensi dari sekolah unggul serta kaitannya dengan gaya manajemen dan lingkungan organisasi. Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang pemikiran dari Fasli Jalal tersebut, silahkan klik saja tautan di bawah ini

Konsep Sekolah Unggul

Analisis Situasi sekolah dalam pengembangan KTSP

A. Rasional

Kurikulum Tingkat Sekolah (KTSP) merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing sekolah. KTSP ini dikembangkan sesuai dengan tuntutan otonomi pendidikan. Pengembangan KTSP oleh sekolah sesuai dengan situasi dan konteks yang dimilikinya. Akan tetapi, sekolah tetap harus mengacu pada lingkup standar nasional pendidikan yang ada, sesuai dengan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Keleluasaan sekolah dalam mengembangkan KTSP tentu harus diikuti dengan analasis situasi sekolah untuk mencapai lingkup standar nasional pendidikan yang sudah ditetapkan, di antaranya Standar Isi (SI)dalam Permendiknas no 22 tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam Permendiknas no 23 tahun 2006. Hasil analisis tersebut merupakan dasar pijakan untuk menentukan kedalaman dan keluasan target-target yang ditetapkan, budaya yang akan dibangun, tujuan yang ingin dicapai, serta isi dan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan bermutu di sekolah tersebut. Pencapaian tujuan pendidikan bermutu tersebut sesuai dengan UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 5, yaitu “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Penyusunan dan pengembangan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan/atau lokakarya sekolah/madrasah dan/atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru (BSNP, 2006: 33). Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi: analisis sekolah, penyiapan dan penyusunan draf, reviu dan revisi, serta finalisasi, pemantapan dan penilaian (cf. BSNP, 2006: 33).

B. Tujuan

Tujuan Analisis Situasi Sekolah adalah (1) memperoleh gambaran nyata kondisi sekolah dan (2) memperoleh gambaran nyata situasi sekolah

C. Analisis Konteks

Analisis konteks dalam pelaksanaan penyusunan KTSP berwujud evaluasi diri (self evaluation) terhadap sekolah. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats ). Dalam hal ini dapat diterapkan kajian lingkungan internal untuk memahami strengths atau kekuatan dan weaknesses atau kelemahan, serta kajian lingkungan eksternal untuk mengungkap opportunities atau peluang dan threats atau tantangan. Adapun analisis konteks melalui SWOT terdiri atas hal-hal sebagai berikut (cf. BSNP, 2006: 32):

  1. Visi, misi, dan tujuan sekolah
  2. Identifikasi SI dan SKL
  3. Kajian internal atau kondisi sekolah (kekuatan dan kelemahan) yang meliputi: (1) peserta didik, (2) pendidik dan tenaga kependidikan, (3) sarana dan prasarana, (4) biaya, (5) program-program
  4. Kajian eksternal atau situasi sekolah (peluang dan tantangan) yang dilihat dari masyarakat dan lingkungan sekolah yang meliputi: (a) komite sekolah, (b) dewan pendidikan, (c) dinas pendidikan, (d) asosiasi profesi, (e) dunia industri dan dunia kerja, (f) sumber daya alam dan sosial budaya.

Berikut ini adalah penjelasan masing-masing

1. Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah

Penetapan visi, misi, dan tujuan sekolah akan sangat berperan bagi pengembangan sekolah di masa depan. Visi dan misi saling berkaitan. Visi (vision) merupakan gambaran (wawasan) tentang sekoah yang diinginkan di masa jauh ke depan.

Misi (mission) ditetapkan dengan mempertimbangkan rumusan penugasan (yang merupakan tuntutan tugas “dari luar”) dan keinginan “dari dalam” (yang antara lain berkaitan dengan visi ke masa depan dan situasi yang dihadapi saat ini. Misi sebuah sekolah perlu mempertimbangkan misi induknya (dinas pendidikan kabupaten/kota). Misi diperjelas dan dijabarkan dengan tujuan sekolah (goals).

Tujuan sekolah seharusnya tidak betentangan dengan visi dan misi sekolah yang sudah ditetapkan. Perumusan tujuan harus nyata dan terukur.

Deskripsi visi, misi, tujuan seharusnya (1) tidak bertentangan dengan visi, misi, tujuan dinas pendidikan dan koheren dengan renstra depdiknas, (2) mencerminkan dengan jelas kebutuhan lokal dan nasional atau bahkan internasional berkaitan dengan kemampuan lulusan, (3) jelas bagi pihak-pihak yang berminat, ketercapaian tujuan dapat diamati, ditunjukkan dan dapat diuji secara objektif, dipersepsi sebagai sesuatu yang berharga oleh seluruh pihak yang berminat, realistis, (4) secara tersurat ada prioritas menghasilkan peserta didik yang bermutu.

2. Identifikasi SI dan SKL

Para pendidik di sekolah perlu melakukan identifikasi SI dan SKL. Identifikasi dapat dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: membaca secara saksama, memahami, mengkaji, dan membedah SI dan SKL. Hal itu perlu dilakukan supaya penerapan SI dan SKL di sekolah dan terutama dalam pembelajaran benar-benar baik.

3. Situasi Internal atau Kondisi Sekolah

a. Peserta Didik

Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan peserta didik dapat dilihat dari input awal dan saat pembelajaran. Analisi ini meliputi rata-rata kemampuan akademik peserta didik, minat, dan bakat peserta didik. Jadi, analisis peserta didik meliputi analisis kemampuan akademik dan nonakademik.

b. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Analisis terhadap pendidik dan tenaga kependidikan dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sekolah. Analisis ini perlu dilakukan agar KTSP yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan sekolah dan dapat dilaksanakan secara maksimal. Dalam melakukan identifikasi, setidaknya perlu diperoleh informasi mengenai: jumlah pendidik dan rinciannya, kelayakan fisik dan mental pendidik, latar belakang pendidikan dan/atau sertifat keahlian, kompetensi pendidik (pedagogik, kepribadian, profesional, sosial), rata-rata beban mengajar pendidik, rasio pendidik dan peserta didik, minat pendidik dalam pengembangan profesi, jumlah tenaga kependidikan dan rinciannya, kelayakan fisik dan mental tenaga kependidikan, jenis keahlian, latar belakang tenaga kependidikan, dan minat tenaga kependidikan dalam pengembangan profesi.

c. Sarana dan Prasarana

Analisis atas sarana yang dimiliki oleh sekolah meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.(SNP pasal 42 ayat 1).

Perabot di antaranya meliputi meja, kursi, papan tulis yang ada di setiap kelas. Peralatan meliputi peralatan laboratorium ilmu pengetahuan alam (IPA), laboratorium bahasa, laboratorium komputer, dan peralatan pembelajaran lain (cf. SNP pasal 43). Media pendidikan di antaranya alat peraga, OHP, LCD, slide, gambar yang mendukung ketercapaian pembelajaran. Yang termasuk dalam buku dan sumber belajar di antaranya adalah bahan cetakan baik jurnal, buku teks, maupun referensi; lingkungan; media cetak maupun elektronik; narasumber. Adapun bahan habis pakai meliputi bahan-bahan yang digunakan dalam praktik pembelajaran. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan semua sarana itu meliputi kepemilikan, kelayakan, jumlah, dan kondisi sarana yang ada.

Analisis atas prasarana meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan sekolah, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (SNP pasal 42 ayat 2). Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan prasarana di sekolah meliputi keberadaannya, rasio banyaknya, kelayakannya, dan kebersihannya.

d. Biaya

Analisis biaya sesuai dengan pasal 62 tentang standar pembiayaan dalam SNP. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  • gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji,
  • bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan
  • biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

Analisis terhadap pembiayaan di sekolah mengarah pada kelemahan dan kekuatan pembiayaan di sekolah tersebut terhadap pengembangan dan pelaksanaan KTSP

e. Program-program

KTSP disusun oleh sekolah untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Analisis terhadap kekuatan dan kelemahan program-program meliputi: program pendidikan (antara lain: pemilihan mata pelajaran muatan nasional dan muatan lokal, pemilihan kegiatan pengembangan diri, penentuan pendidikan kecakapan hidup, penentuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global), program pembelajaran, program remedial, dan program pengayaan.

Ada atau tidaknya program, keterlaksanaan, serta kesesuaian program dengan kebutuhan dan potensi yang ada di sekolah/ daerah merupakan analisis yang sangat diperlukan untuk mengembangkan KTSP.

4. Kondisi Masyarakat dan Lingkungan Sekolah

a. Komite Sekolah

Komite sekolah/madrasah merupakan pihak yang ikut berlibat dalam penyusunan KTSP di samping narasumber dan pihak lain yang terkait. Adapun tim penyusun KTSP terdiri atas pendidik, konselor, dan kepala sekolah sebagai ketua merangkap anggota.

Pada tahap akhir, komite sekolah juga harus memberikan pertimbangan terhadap penyusunan KTSP. Dalam BSNP (2006: 5) disebutkan, pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.

Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan, dalam SNP Pasal 51 ayat 2 dinyatakan bahwa pengambilan keputusan pada sekolah dasar dan menengah di bidang nonakademik dilakukan oleh komite sekolah yang dihadiri oleh kepala sekolah. Selain itu, komite sekolah juga memutuskan pedoman struktur organisasi sekolah dan biaya operasional sekolah. Komite sekolah juga memberikan masukan tentang tata tertib sekolah, yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana. Pimpinan sekolah dan komite sekolah juga melakukan pemantauan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sekolah. Adapun pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala sekolah kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan dari pihak komite sekolah/madrasah perlu dilakukan untuk mengembangkan KTSP.

b. Dewan Pendidikan

Dewan Pendidikaan beranggotakan masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Dalam penyusunan KTSP, dewan pendidikan berperan sebagai lembaga yang dapat ikut memantau dan mengevaluasi pelaksanaan KTSP. Berdasarkan hal itulah, analisis terhadap kepedulian dewan pendidikan perlu dilakukan untuk semakin memantapkan pengembangan KTSP.

c. Dinas Pendidikan

Dinas pendidikan kabupaten/kota bertugas melakukan koordinasi dan supervisi terhadap pengembangan KTSP SMP. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Dalam hal ini, dinas Pendidikan setempat dapat memfasilitasi penyusunan silabus dengan membentuk sebuah tim yang terdiri atas para pendidik berpengalaman di bidangnya. Analisis terhadap peluang dan tantangan yang ada di dinas pendidikan perlu dilakukan guna pengembangan KTSP.

d. Asosiasi Profesi

Ada beberapa asosiasi profesi secara umum yang ikut mendukung profesionalisme pendidik. Akan tetapi, secara lebih khusus, asosiasi profesi untuk para pendidik/guru mata pelajaran di SMP terwujud dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang meliputi MGMP sekolah, kabupaten/kota, dan provinsi. MGMP dapat berperan pula sebagai tim yang menyusun silabus mata pelajaran tertentu. Keberadaan tim ini akan sangat membantu pengembangan KTSP. Peluang dan tantangan atas keberadaan MGMP perlu dianalisis untuk pengembangan KTSP.

e. Dunia Industri dan Dunia Kerja

Salah satu prinsip pengembangan KTSP adalah relevan dengan kebutuhan kehidupan. Dalam hal ini, pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan (BSNP, 2006).

Selain itu, KTSP disusun dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah dunia industri dan dunia kerja serta perkembangan ipteks. Dalam KTSP, rencana kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Dalam hal ini, dunia indsutri di sekitar sekolah dapat diberdayakan untuk menunjang program pendidikan sekolah yang bersangkutan. Contoh: di dekat sekolah ada industri kerajinan, peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan untuk mencapai kompetensi dasar sesuai konteks industri kerajinan tersebut. Berdasarkan hal-hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan dunia industri dan dunia kerja di lingkungan sekolah perlu dilakukan untuk pengembangan KTSP.

f. Sumber Daya Alam dan Sosial Budaya

KTSP disusun dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya adalah keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan; kondisi sosial budaya masyarakat setempat; kesetaraan gender. Pada dasarnya, setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, KTSP harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah. Sumber daya alam yang ada di lingkungan serta aspek sosial budaya yang berlaku di tempat sekolah tersebut berada, dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pelaksanaan penyusunan KTSP.

Sekolah yang berada di daerah pantai, dapat memanfaatkan aspek kelautan sebagai peluang dan tantangan untuk mengembangkan potensi peserta didik. Pendidik dapat mengajarkan dan mengajak peserta didik menanam bakau untuk menahan abrasi pantai. Ini merupakan salah satu contoh pembelajaran untuk memahami alam sekitar dan sekaligus mengatasi tantangan alam.

Selain itu, KTSP harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain. Agar peluang dan tantangan yang tersedia di alam sekitar dan ada di dalam kehidupan sosial budaya masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal serta dapat memberikan nilai tambah bagi perkembangan peserta didik, diperlukan upaya identifikasi dengan memperhatikan berbagai hal, antara lain: keterjangkauan jarak, waktu, dan biaya; kesesuaian dengan visi, misi, dan tujuan sekolah; ketersediaan dan kemampuan SDM dalam mengelola sekolah; kebermanfaatan aspek sosial budaya bagi peserta didik di masa kini dan yang akan datang. Pada sisi lain, KTSP juga harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan gender.

Berdasarkan hal itulah, analisis terhadap peluang dan tantangan sumber daya alam dan sosial budaya lingkungan sekolah perlu dilakukan untuk mengembangkan KTSP.

D. Pengembangan Instrumen

Analisis terhadap situasi sekolah dilakukan dengan menggunakan instrumen analisis. Instrumen yang digunakan bisa menggunakan model check list ataupun skala. Satuan pendidikan harus menyiapkan instrumen tersebut sebagai panduan pengambilan data.

Contoh Instrumen model check list

Dunia Industri/kerajinan

No

Aspek yang Dianalisis

Ya

Tidak

1.

Keberadaan dunia industri



2.

Kebermaknaan dunia industri dalam pengembangan kompetensi



3.

Kelayakan dunia industri sebagai sumber belajar



4.

Kedekatan jarak letak dunia industri dengan sekolah



5.

Hubungan baik dunia industri dengan pihak sekolah



E. Analisis Instrumen

Data yang telah diperoleh dianalisis. Hasil analisis tersebut diklasifikasi atas peluang atau tantangan yang akan menjadi kesimpulan pengambilan keputusan

Contoh

No

Jawaban Ya

Jawaban Tidak

Keterangan

1.

Semua aspek


Peluang

2.

1, 2, 3, dan 4

5

Tantangan

3.

1, 2, dan 3

4 dan 5

Tantangan

4.


Semua aspek

Bukan peluang

5.


1, 2, dan 3

Bukan peluang

F. Pemanfaatan Hasil Instrumen

Berdasarkan hasil analisis yang telah diperoleh , satuan pendidikan mengembangkan program yang terkait dalam pengembangan KTSP.

Contoh pemanfaatan

  1. Bila kesimpulan dunia industri/kerajinan menjadi peluang, satuan pendidikan dapat memutuskan bahwa dunia industri/kerajinan menjadi alternatif acuan kompetensi untuk dikembangkan dalam mata pelajaran muatan lokal atau sebagai sumber belajar dalam pendidikan berbasis keunggulan lokal.
  2. Bila kesimpulan dunia industri/kerajinan menjadi tantangan, satuan pendidikan dapat memutuskan bahwa dunia industri/kerajinan menjadi acuan kompetensi untuk dikembangkan dalam mata pelajaran muatan lokal atau sebagai sumber belajar dalam pendidikan berbasis keunggulan lokal, tetapi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jarak dunia industri/kerajinan jauh, tentu tantangan satuan pendidikan untuk menyediakan biaya transportasi ke tempat dunia usaha/industri tersebut. Selain itu, satuan pendidikan mempunyai tantangan untuk membina hubungan baik dengan dunia industri tersebut.

G. Penutup

Pada prinsipnya, KTSP untuk pendidikan dasar dikembangkan oleh setiap sekolah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.

Dalam pengembangan KTSP ini, analisis situasi sekolah sangat perlu dilakukan sehingga KTSP yang dikembangkan benar-benar didasarkan pada kondisi dan situasi sekolah (di samping didasarkan pula pada prinsip-prinsip pengembangan KTSP). KTSP yang dikembangkan berdasarkan analisis situasi sekolah diharapkan akan benar-benar mencerminkan upaya peningkatan kondisi internal yang ada di sekolah yang meliputi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, biaya, dan program-program lainnya. Di samping itu, KTSP yang baik harus dikembangkan atas dasar analisis peluang dan tantangan situasi eksternal yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar, yang meliputi: komite sekolah, dewan pendidikan, dinas pendidikan, asosiasi profesi, dunia industri dan dunia kerja, sumber daya alam dan sosial budaya.

Konsep Visi Sekolah

Penerapan konsep manajemen strategis di sekolah menuntut setiap sekolah untuk dapat menetapkan dan mewujudkan visi yang hendak dicapai dari sekolah tersebut secara eksplisit. Namun, sayangnya upaya perumusan visi yang terjadi di sekolah-sekolah kita saat ini terkesan masih latah (stereotype) dan sekedar pengulangan dari nilai dan prioritas nasional. Dari beberapa sekolah yang pernah penulis amati, pada umumnya perumusan visi sekolah cenderung menggunakan rumusan dua kata yang hampir sama yaitu “prestasi” dan “iman-taqwa”, Memang bukahlah hal yang keliru jika sekolah hendak mengusung visi sekolah dengan merujuk pada kedua nilai tersebut. Tetapi jika perumusannya menjadi seragam, kurang spesifik serta kurang inspirasional mungkin masih patut untuk dipertanyakan kembali.

Boleh jadi, hal ini mengindikasikan adanya kesulitan tersendiri dari sekolah (pemimpin dan warga sekolah sekolah yang bersangkutan) untuk merumuskan visi yang paling tepat bagi sekolahnya, baik kesulitan yang terkait tentang pengertian dasar dari visi itu sendiri maupun kesulitan dalam mengidentifikasi dan merefleksi nilai-nilai utama yang hendak dikembangkan di sekolah.

Dalam perspektif manajemen, visi sekolah memiliki arti penting terutama berkaitan dengan keberlanjutan (sustainability) organisasi sekolah itu sendiri, Tanpa visi, organisasi dan orang-orang di dalamnya tidak mempunyai arahan yang jelas, tidak mempunyai cara yang tepat dalam melangkah ke masa depan dan tidak memiliki komitmen (Foreman, 1998).

Saat ini tidak sedikit sekolah yang berjalan secara stagnan dan bahkan terpaksa harus gulung tikar, hal ini sangat mungkin dikarenakan tidak memiliki visi yang jelas alias asal-asalan atau setidaknya tidak berusaha fokus dan konsisten terhadap visi yang dicita-citakannya.

Visi bukanlah sekedar slogan berupa kata-kata tanpa makna bahkan bukan sekedar sebuah gambaran kongkrit yang diberikan oleh pimpinan sekolah, melainkan sebuah rumusan yang dapat memberikan klarifikasi dan artikulasi seperangkat nilai (Hopkins, 1996). Menurut Block (1987), visi adalah masa depan yang dipilih, sebuah keadaan yang diinginkan dan merupakan sebuah ekspresi optimisme dalam organisasi. Bennis and Nanus (1985) mengartikan visi sebagai pandangan masa depan yang realistis, kredibel, dan menarik, yang didalamnya tergambarkan cara-cara yang lebih baik dari cara yang sudah ada sebelumnya.

Memperhatikan pendapat para ahli di atas, tampak bahwa untuk menetapkan visi sekolah kiranya tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi terlebih dahulu diperlukan pengkajian yang mendalam. Perumusan visi yang tepat harus dapat memberikan inspirasi dan memotivasi bagi seluruh warga sekolah dan masyarakat untuk bekerja dengan penuh semangat dan antusias. Menurut Blum dan Butler (1989) visi sangat identik dengan perbaikan sekolah.

Visi merupakan ciri khas peran kepemimpinan dan upaya untuk pembentukan visi sekolah sangat bergantung pada pemimpin sekolah yang bersangkutan. Dalam hal ini pemimpin sekolah dituntut untuk dapat mengidentifikasi, mengklarifikasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai utama yang terkandung dalam visi sekolah kepada seluruh warga sekolah, agar dapat diyakini bersama dan diwujudkan dalam segala aktivitas keseharian di sekolah sehingga pada gilirannya dapat membentuk sebuah budaya sekolah.

Kendati demikian, dalam pembentukan visi sekolah tidak bisa dilakukan secara “top-down” yang bersifat memaksa warga sekolah untuk menerima gagasan dari pemimpinnya (kepala sekolah) yang hanya membuat orang atau anggota membencinya dan merasa enggan untuk berpartisipasi di dalamnya . Foreman (1998) mengingatkan bahwa visi tidak bisa dipaksakan dan dimandatkan dari atas. Pembuatan visi adalah tentang keterlibatan kepentingan dan aspirasi pihak lain.

Untuk lebih jelasnya terkait dengan upaya pembentukan visi ini, Beare et.al. (1993) menawarkan beberapa pedoman dalam pembentukan visi, yaitu:

  1. Visi seorang pemimpin sekolah mencakup gambaran tentang masa depan sekolah yang diinginkan.
  2. Visi akan membentuk pandangan pemimpin sekolah tentang apa yang menyebabkan keutamaan atau keunggulan sekolah.
  3. Visi seorang pemimpin sekolah juga mencakup gambaran masa depan sekolah yang diinginkan di mata sekolah lain dan masyarakat secara umum.
  4. Visi seorang pemimpin juga mencakup gambaran proses perubahan yang diinginkan berdasarkan masa depan terbaik yang hendak dicapai.
  5. Masing-masing aspek visi pendidikan dalam sekolah merefleksikan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan yang berbeda-beda tentang (a) watak dan sifat manusia; (b) tujuan pendidikan dalam sekolah; (c) peran pemerintah, keluarga, masyarakat terhadap pendidikan dalam sekolah; (d) pendekatan-pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran; dan (e) pendekatan-pendekatan terhadap manajemen perubahan.

Dengan demikian, akan terbentuk visi pendidikan dalam sekolah yang kompetitif dan merefleksikan banyak hal yang mencakup perbedaan-perbedaan asumsi, nilai dan keyakinan.

Sumber:

Adaptasi dari Bush dan Coleman. 2008. Kepemimpinan Pendidikan: Manajemen Strategis (ter. Fahrurruzi). Jogjakarta: IRCiSoD.

Manajemen kinerja Guru

Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Dengan mengacu pada pemikiran Robert Bacal (2001) dalam bukunya Performance Management di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru.

Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai :
… sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan.

Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala sekolah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang :
Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para guru.
1.Seberapa besar kontribusi pekerjaan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”
2.Bagaimana guru dan kepala sekolah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
3.Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
4.Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.
Selanjutnya, Robert Bacal mengemukakan pula bahwa dalam manajemen kinerja diantaranya meliputi perencanaan kinerja, komunikasi kinerja yang berkesinambungan dan evaluasi kinerja.
Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala sekolah bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu.

Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala sekolah dapat membantu guru. Arti pentingnya terletak pada kemampuannya mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan sebelum itu menjadi besar.
Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.

Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson (2000) memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala sekolah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.

Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru. Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd (2002) mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu : (1) untuk mengukur kompetensi guru dan (2) mendukung pengembangan profesional. Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala sekolah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas.

Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .

Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat. Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :
1.Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)
2.Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi).
3.Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala sekolah dan pengawas.
Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator : (1) penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak; (2) penyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru; (3) menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi; (4) menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik; (5) memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan.

Sumber Bacaan :

Bacal, Robert. 2001. Performance Management. Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Boyd, Ronald T. C. 1989. Improving Teacher Evaluations; Practical Assessment, Research& Evaluation”. ERIC Digest. .
Seeker, Karen R. dan Joe B. Wilson. 2000. Planning Succesful Employee Performance (terj. Ramelan). Jakarta : PPM.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar pada Program Studi PE-AP FKIP-UNIKU dan Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan

Manajemen Sekolah dalam Upaya Mengantisipasi Perubahan

Dalam kehidupan modern sekarang ini, pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan yang sangat cepat dan kadang-kadang kehadirannya sulit diprediksikan, sehingga menuntut setiap organisasi untuk dapat memiliki kemampuan antisipatif dan adaptif terhadap berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari adanya perubahan. Begitu pula dengan sekolah, sebagai institusi yang bergerak dalam bidang jasa pendidikan akan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan. Ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, lambat laun akan dapat menimbulkan keterpurukan sekolah itu sendiri, dan habis ditelan oleh perubahan.

Bentuk sikap antisipatif dan adaptif ini dapat dilakukan melalui upaya untuk melaksanakan perbaikan secara terus-menerus dalam proses manajemen. Jika kita mengacu pada konsep Total Quality Manajemen, maka upaya perbaikan secara terus menerus dalam proses manajemen di sekolah menjadi kebutuhan organisasi yang sangat mendasar. Dalam hal ini, Gostch dan Davis (Sudarwan Danim 2002:102) mengemukakan bahwa salah satu kaidah dalam mengaplikasikan TQM adalah adanya perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan. Untuk itu, kegiatan evaluasi dan riset menjadi amat penting adanya. Dengan melalui kegiatan evaluasi dan riset ini akan diperoleh data yang akurat untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan usaha inovatif organisasi dan penyesuaiaian-penyesuaian terhadap berbagai perubahan.

Berbicara tentang sikap antisipatif ini, kita akan diingatkan pula dengan konsep budaya organisasi yang adaptif yang dikemukakan oleh Ralph Klinmann bahwa budaya adaptif merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. (John P. Kotter dan James L. Heskett: 17- 49). Dengan demikian, sikap antisipatif dan adaptif terhadap perubahan seyogyanya menjadi bagian dari budaya organisasi di sekolah, yang ditunjukkan dengan upaya melakukan berbagai perbaikan dalam proses manajemen.

Berkenaan dengan perbaikan pada proses manajemen. Ross (Sudarwan Danim, 2002:121) mengetengahkan tentang perubahan kultural dari kultur tradisional ke budaya mutu, yang mencakup 4 fokus, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:

Focus

From Traditional

To Quality

Plan

Sort range budget

Future Strategic Issue

Organize

Hierarchi chain of command

Participant/Empowerment

Control

Variance Reporting

Quality Measure and Information or Self Control

Communication

Top Down

Top Down and Bottom Up

Decisions

Ad Hoc/ Crisis Management

Planned Change

Functional Management

Parochial, Competitive

Cross functional, Integrative

Quality Management

Fixing/One Short Manifacturing

Preventive, Continous, functions, and Process