Saturday, April 4, 2009

Wawancara Presiden

Puri Cikeas, Bogor, Selasa, 10 Februari 2009

Wawancara Jurnas dengan Presiden SBY : Dengan Memohon Ridho Tuhan, Saya Siap Berkompetisi

Dengan Memohon Ridho Tuhan, Saya Siap Berkompetisi

WAWANCARA DENGAN
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
di Puri Cikeas, 10 Februari 2009
dengan Pewawancara
Ramadhan Pohan
Jurnal Nasional


Cikeas, Selasa malam, 10 Februari 2009. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono baru saja melakukan jumpa pers di pendopo kediamannya
yang asri. Mengenakan batik biru, SBY tampak segar dan mantap menjawab
semua pertanyaan wawancara khusus di ruang perpustakaan pribadinya.
Wawancara berlangsung sekitar tiga jam diselingi pula dengan
makan malam bersama yang disiapkan Ibu Negara Ani Bambang
Yudhoyono. Berikut petikan tanya jawab dengan Presiden ke-6 RI yang
juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat:

Apa kabar Pak SBY?
Baik. Alhamdulillah. Anda sendiri bagaimana? Sehat?

Ya Pak, sehat, Alhamdulillah. Pak, terus terang yang paling senang kali ini Jurnas ...
Mengapa?

Ya, … setelah sekian lama, hampir tiga tahun kami menunggu, akhirnya Pak SBY mau
berbicara tentang politik. Dan juga mau menanggapi isu-isu yang sensitif. Mengapa selama
ini diam saja?

Begini, Bung Ramadhan. Kalau sejak awal saya reaktif, dan terus meladeni kritik
dan kecaman yang bertubi-tubi itu, saya malah tidak bisa bekerja dengan baik.
Saya lebih memilih bekerja, dari pada harus melayani dan selalu bereaksi terhadap
berbagai komentar miring itu.

Tetapi banyak yang jengkel terhadap sikap Pak SBY seperti itu, terlebih pendukung-pendukung
Pak SBY sendiri. Mereka khawatir kalau kritik dan kecaman itu dibiarkan saja, ...
bisa-bisa dianggap sebagai kebenaran. Dan rakyat bisa percaya.

Benar. Itu salah satu risiko yang saya ambil. Tetapi, jika ada yang keterlaluan dan
kelewat batas kan saya bantah juga …

Misalnya?
Ya, ketika saya mendapat fitnah dari Pak Eggy Sudjana, dari Pak Zaenal Ma’arif dan
dari Pak Amien Rais.

Apa reaksi mereka?
Pada prinsipnya meminta maaf. Oleh karena itu, setelah saya maafkan, masalahnya
saya anggap selesai. Setiap orang bisa saja khilaf.

Tidak berarti sebagian dari mereka berhenti mengecam Pak SBY kan?
(Tersenyum) Tuhan Maha Tahu.

Pak SBY, kita kembali ke topik pembicaraan. Akhirnya, Pak SBY..., maaf Pak, ... mau
buka mulut. Apa karena sudah dekat dengan Pemilu?

Ada benarnya juga. Saya pikir timing-nya tepat untuk saya berbicara. Saya ingin
rakyat juga mendengar dan mengetahui pikiran dan pandangan saya. Kan tidak
adil, selama empat tahun lebih saya digebuki oleh banyak pihak lantas saya membisu terus ...

Digebuki, atau … dikeroyok Pak?
(Ketawa kecil) Ya … itulah kerasnya dunia politik. Ada yang agresif, ada yang
terukur. Ada yang menghalalkan segala cara, ada yang lebih beretika. Ada yang
penuh amarah dan emosional, ada yang tenang dan rasional.

Tetapi, memang cukup banyak tokoh-tokoh politik atau pemimpin partai politik yang
menyerang Pak SBY. Sepertinya Pak SBY dikeroyok benar. Apakah Bapak tidak takut
dijadikan musuh bersama?

Pertama, mengapa saya dibegitukan ya karena saya sedang menjabat, atau menjadi
incumbent. Kedua, barangkali saya dianggap sebagai capres 2009–2014 yang
kuat, sehingga harus dilumpuhkan beramai-ramai.

Tetapi sebagian dari mereka dulunya adalah teman-teman Pak SBY sendiri. Ada apa
sebenarnya?

Contohnya siapa?

Ya …, mulai dari Pak Wiranto, Prabowo, Sutiyoso. Ada pula Gubernur DIY, Pak Sultan.
Ada lagi Rizal Ramli. Saya kira masih banyak lagi.

Dari mereka semua itu, sebagian memang memiliki hak dan ambisi politik untuk
menjadi Presiden. Harus kita hormati, dan sah-sah saja. Sebagian lagi kecewa dan
tidak suka dengan saya karena saya tidak mau memenuhi, atau menuruti kemauannya.

Misalnya?
Ya, ada yang ingin menjadi menteri ini, menteri itu. Jabatan ini, jabatan itu. Atau
ada yang saya berhentikan karena tidak baik kinerjanya. Atau dia punya jago lain,
dan kalau yang jadi Presiden tetap saya, orang–orang seperti itu tidak akan dapat
tempat, karena saya tahu perilaku dan reputasinya.

Siapa misalnya. Dan mengapa tokoh-tokoh itu sangat sengit kepada Pak SBY?
Cukuplah. Tak baik. Itu terlalu jauh …

Tapi Pak SBY belum menjawab pertanyaan saya. Apa Bapak tidak takut dijadikan musuh
bersama. Apa Pak SBY bisa bertahan dan bisa te-rus menjalankan roda pemerintahan
menghadapi gempuran politik seperti itu?

Begini ya Bung. Kalau saya menjawab tidak takut, orang bilang saya ini sombong.
Terlalu percaya diri. Oleh karena itu, jawaban saya adalah... (Berhenti sejenak)
Saya harus menghadapi semua itu. Saya harus terus menjalankan tugas dan
kewajiban saya seberat apa pun tantangan yang saya hadapi. Tak baik seorang pemimpin
mudah menyerah, bernyali kecil, atau melarikan diri. Kita mohon kekuatan
dari Allah. Tuhan Maha Besar.

Pak SBY, saya menanyakan sesuatu yang … setengah pribadi, setengah tidak. Yaitu,
hubungan Pak SBY dengan Megawati, dan juga dengan mantan-mantan Presiden yang
lain.

(Nampak agak serius) Mengapa Anda menanyakan ini?

Saya kira banyak yang ingin tahu. Banyak pula yang menyayangkan mengapa para
pemimpin kita tidak bisa saling berkomunikasi. Wapres Jusuf Kalla juga pernah mempersoalkan
mengapa mereka tidak saling omong?

Saya jawab dulu hubungan atau komunikasi saya dengan para mantan Presiden,
kecuali dengan Ibu Megawati. Setelah itu, baru bagaimana hubungan saya dengan
Bu Mega.

Termasuk Gus Dur ya Pak?
Ya, termasuk Gus Dur. Sesungguhnya saya menghormati para pendahulu saya,
dan meletakkan beliau-beliau itu dalam posisi yang terhormat. Saya kira Anda tidak
pernah mendengar saya berkata jelek tentang beliau-beliau itu di depan publik.
Justru saya kerap memuji, berterima kasih dan menyampaikan penghargaan atas
apa yang diperbuat oleh pendahulu saya kepada negara.

Ya, saya belum pernah mendengar Pak SBY menjelek-jelekkan para mantan Presiden
itu. Tetapi, hubungan Bapak yang bersifat pribadi seperti apa?

Selama saya memimpin negara dan pemerintahan ini, sebenarnya saya berusaha
memelihara komunikasi dan silaturrohim saya dengan para mantan Presiden.
Sebelum wafat, beberapa kali saya bertemu dengan Pak Harto, terutama ketika beliau
sedang sakit. Dengan Pak Habibie saya juga sering bertemu, baik di kediaman
beliau maupun di Istana. Dengan Gus Dur beberapa kali saya bertemu, baik di
kediaman Ciganjur, di Istana Negara, di Cikeas, dan di berbagai acara kenegaraan.

Tetapi Gus Dur masih sering bicara kritis di depan publik kepada Pak SBY.
Ya. Saya mendengar itu. Tapi saya tidak pernah membalas kan?

Dengan Bu Mega bagaimana? Nampaknya masih beku...
Tahun-tahun pertama saya berusaha untuk menjalin silaturrohim kembali dengan
beliau. Saya sampaikan pesan itu melalui beberapa pihak, termasuk seorang
menteri yang masih aktif. Tetapi Allah belum mengabulkan niat baik saya. Terus
terang saya belum bisa berkomunikasi kembali secara langsung dengan beliau.
Namun, beliau setiap tahun tetap saya undang untuk hadir dalam Upacara 17
Agustusan. Jika ada masalah penting saya juga utus seorang menteri, sesuai dengan
bidangnya, untuk menemui Bu Mega, baik langsung atau melalui utusan beliau.

Jadi tertutup sudah ajang komunikasi Pak SBY dengan Bu Mega?
Dengan segala kerendahan hati saya tetap berharap, suatu saat, kami bisa berkomunikasi
kembali. Agama melarang kita untuk memutus silaturrohim.

Kalau begitu ucapan Wapres tidak saling omong itu ada benarnya, tetapi juga tidak
berarti Pak SBY tidak punya niat untuk itu kan …?

Benar. Pernyataan Pak Jusuf Kalla bisa ditafsirkan secara keliru, seolah-olah orang
seperti saya tidak punya etika untuk menjalin silaturrohim dengan pendahulu saya,
khususnya Bu Mega. Sebaiknya berhati-hati mengeluarkan pernyataan menyangkut
isu yang sensitif, apalagi jika tidak mengetahui benar duduk perkaranya.

Pak SBY, apa pemilu itu menjadi segalanya. Seperti seram amat. Apalagi, saya lihat baik
dalam pilpres maupun pilkada, nampaknya amat sulit untuk mengakui kekalahan. Amat
sulit untuk mengucapkan selamat kepada kompetitornya yang menang. Coba Pak SBY
lihat, kan indah itu Hillary Clinton mengaku kalah dan mengajak pendukungnya memenangkan
Obama. Kemudian, McCain, setelah hasil Pilpres AS diketahui, langsung mengucapkan
selamat kepada Obama. Kapan negeri kita seperti itu ya Pak?

Jangan kecil hati. Suatu saat demokrasi kita akan semakin baik. Kearifan dan jiwa
besar itu milik semua bangsa, milik manusia dari negara mana pun. Kita sedang
membangun nilai dan budaya ke arah itu.

Ngomong-ngomong, ketika Pak SBY terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2004 yang
lalu, ada tidak capres yang mengucapkan selamat?

(Tidak menjawab. Hanya tersenyum, sambil menggeleng)

Pak SBY sendiri apa pernah kalah dalam pemilihan?
Pernah. Bahkan sering. Jangan dikira perjalanan hidup dan karir politik saya
mulus-mulus saja.

Apa kekalahan yang paling berat, dan bagaimana cara mengatasinya?
Kalau kita mau jujur, setiap kekalahan itu membawa kepahitan tersendiri. Sewaktu
saya kalah dalam pemilihan Wakil Presiden pada Sidang Umum MPR tahun 2001,
malam itu saya merasa terpukul. Tetapi, setelah saya gunakan logika saya, dan
akhirnya saya menyadari mengapa saya kalah, pagi harinya saya dengan didampingi
isteri menyampaikan pernyataan dalam konferensi pers.

Wah, cepat benar. Apa yang Pak SBY sampaikan dalam jumpa pers itu?
Ya, pertama, saya menerima kekalahan saya. Acceptance seperti ini kan merupakan
tata krama dalam demokrasi. Kedua, saya meminta maaf kepada para pendukung
dan konstituen karena saya tidak berhasil memenuhi harapan mereka. Dan ketiga,
saya ajak para pendukung saya itu untuk mendukung wapres terpilih.

Seingat saya, ada yang bilang waktu itu Pak SBY dikerjain. Ada yang berjanji menyampaikan
dukungannya, tetapi dukungan itu ternyata tidak ada. Ada pula cawapres yang
menjanjikan pada saatnya akan mundur, dan mengalihkan dukungannya kepada Pak
SBY, itu pun tidak terwujud. Apa sesungguhnya yang terjadi?

Begini, kalau itu pun ada, saya tidak boleh terbenam dalam hal-hal seperti itu. Saya
juga tidak tertarik untuk menyalahkan orang lain dan mencari kambing hitam.
Justru saya melakukan evaluasi mengapa saya kalah. Ternyata memang ada
kesalahan saya yang mendasar.

Apa itu Pak?
Sebelum saya maju sebagai cawapres, saya mengalkulasi kekuatan dukungan.
Juga saya pelajari seberapa besar dukungan rakyat. Dari seluruh survei dan jajak
pendapat, dukungan rakyat untuk saya tinggi sekali. Saya pikir, saya pasti menang.
Inilah kesalahan saya… Yang memilih kan hanya sekian ratus anggota MPR, dan
bukan rakyat keseluruhan, sebagaimana yang tercermin dalam polling-polling itu.
Berbeda kan?

Ya, jelas berbeda. Tetapi tiga tahun kemudian Pak SBY terpilih menjadi Presiden ketika
pilpres dilaksanakan secara langsung. Ada korelasinya?

Di situ, berangkat dari pengalaman kegagalan saya dalam pemilihan wapres, saya
melakukan kalkulasi apakah saya punya peluang untuk bisa terpilih dalam pilpres.
Saya harus berpikir cepat, tetapi tetap cermat, karena waktunya amat singkat. Dari
sejak Partai Demokrat dinyatakan memenuhi syarat untuk mengajukan calon presiden
sampai dengan pendaftaran, hanya beberapa minggu. Dari medio April 2004
sampai awal Juni 2004. Di situ pula akhirnya saya memutuskan untuk maju sebagai
capres, karena saya mengetahui dukungan rakyat cukup kuat. Kalau dari segi parpol-
parpol yang mendukung saya, kecil sekali.

Tidak seimbang ya Pak?
Sangat tidak seimbang. Bayangkan saya bersama Pak Jusuf Kalla harus menghadapi
Partai Golkar, pemenang Pemilu Legislatif 2004, PDIP, PPP, PBR, PDS, dan
lain-lain. Ingat, Pak JK tidak dicalonkan Golkar. Saya yang mengajak beliau, dan
beliau dicalonkan sebagai cawapres oleh Partai Demokrat, PBB dan PKPI. Pada
putaran kedua PKS bergabung.

Menurut Pak SBY apakah Megawati salah hitung waktu itu?
Saya tidak boleh mengatakan begitu. Yang jelas saya yang salah menghitung, atau
miscalculate, dalam pemilihan cawapres tahun 2001. Saya belajar dari kesalahan
dan kekalahan itu. Alhamdulillah, kalkulasi politik saya dalam Pilpres 2004 tidak meleset.

Ada lagi kekalahan Pak SBY yang masih diingat?
(Berpikir sejenak) Ada. Tetapi sesungguhnya tidak mengganggu, karena memang
saya bekerja bukan untuk itu. Ingat, tahun 2006 yang lalu saya adalah nominasi
kuat untuk mendapatkan Nobel Perdamaian. Meskipun sekali lagi, penghargaan
semacam itu tidak pernah terpikir oleh saya. Pihak lain yang mengusulkan.

Yang terpilih kalau tidak salah Muhammad Yunus dari Bangladesh …?
Benar. Beliau yang terpilih. Seketika itu saya segera mengirimkan ucapan selamat,
dan mengundang beliau untuk berkunjung ke Jakarta dan memberikan
ceramah. Alhamdulillah beliau bersedia. Bahkan telah beberapa kali berkunjung ke
Indonesia. Kini, tokoh kredit mikro itu menjadi sahabat saya. Kami saling berbagi
pemikiran dan pengalaman tentang bagaimana upaya terbaik untuk mengurangi
kemiskinan. Ingat, kemiskinan itu persoalan dunia, bukan hanya persoalan negeri
kita.

Jadi mengucapkan “selamat” kepada bekas lawan itu baik juga ya Pak? Tapi … kan tidak
semudah itu.

Benar. Baik dan mulia. Anda juga benar itu tidak mudah. Tetapi, dalam gejolak hati
yang penuh dengan emosi, kekecewaan dan mungkin amarah, kita mesti bisa mengontrol
dan mengendalikannya. Amat berbahaya jika seorang pemimpin tidak
dapat mengendalikan emosinya, dan akhirnya tidak dapat berpikir rasional.
Bayangkan, jika seorang presiden yang sering harus mengambil keputusan yang
strategis dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak tidak mampu berpikir tenang,
jernih dan rasional.

Berbahaya bagi bangsanya barangkali ya Pak?
Benar. Bung Ramadhan, coba pelajari sejarah peperangan di dunia ini, mulai dari
abad klasik sampai abad modern. Banyak perang besar terjadi karena permusuhan
antar pemimpin, antar elite, dan bukan antar rakyat atau bangsa. Perang pecah,
negara menyerang negara lain, karena keputusan sang pemimpin yang amat emosional,
grusa-grusu, dan penuh amarah.

Seram juga ya…
(Mengangguk-angguk)

Pak SBY, kembali ke Pemilu 2009, banyak pihak memprediksi bahwa akhirnya Pak SBY
akan berhadapan kembali dengan Bu Mega. Head to head. Bapak setuju dengan prediksi
itu?

Sangat mungkin terjadi. Tetapi ingat, politik itu bukan matematika. Dalam dunia
politik banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

Pak SBY siap bertanding lagi dengan Megawati?
Dalam perjuangan, sekali kita melangkah, tidak boleh ragu-ragu. Saya memang
bukan tipe orang yang ceplas-ceplos. Saya juga bukan pemimpin yang lantang
bersuara hantam sana, hantam sini. Tantang sana, tantang sini. Untuk memberi
kesan sebagai tokoh yang tegas, tidak lamban dan pemberani. Itu bukan kepribadian
saya. Tetapi ingat, sekali saya mengambil pilihan dan keputusan … itu amat
kokoh. Dengan memohon ridho Tuhan, saya siap berkompetisi.

Berkompetisi ya Pak?
Ya, kompetisi. Bukan perang. Apalagi Perang Bharata Yudha.

Mengapa Pak SBY harus berkata begitu. Apa cara kita berkompetisi, terutama dalam
pemilu selama ini seperti perang?

Maksud saya, kompetisi itu, seperti pertandingan olahraga, ada aturan dan
etikanya. Pada saat kompetisi selesai, semuanya harus menjalani kehidupan seperti
biasanya. Ini penting Bung. Apakah itu pemilu legislatif, pemilu presiden dan
wakil presiden, maupun pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Juga berlaku
untuk pemilihan ketua umum partai politik, dan pemilihan apa pun.

Arah pembicaraan Bapak kemana ini?
Begini. Jangan setelah pemilihan selesai, sebutlah … permusuhan masih berlanjut.
Tidak perlu ada dendam dan amarah yang mesti disimpan dan dipelihara. Seolah-olah
kompetisi harus berjalan sepanjang lima tahun. Apalagi jika para elit dan
tokoh politik mengajak pendukung dan konstituennya untuk memelihara permusuhan
itu, dan terus meng- adakan perlawanan. Ini praktik berdemokrasi yang
buruk.

Pak SBY masih melihat keadaan yang seperti ini?
Terus terang ya. Saya masih merasakan. Ada dua hal yang tidak baik dengan praktik
demokrasi seperti ini. Pertama, rakyat bisa terkotak-kotak. Padahal persatuan
dan kerukunan amat penting di negeri kita. Kedua, pemimpin yang terpilih, kemudian
mesti memimpin dan melaksanakan tugas-tugasnya bisa terganggu, karena
sebagian unsur masyarakat diprovokasi untuk tidak harus mendukung pemimpin
itu.

Menghadapi suasana seperti itu bagaimana solusinya?
Ya, yang paling berperan adalah, sekali lagi, para elite dan tokoh politik yang ikut
berkompetisi dalam pemilu, pilkada, ataupun pemilihan apapun. Semua harus bijak
dan berjiwa besar. Barangkali Anda juga sering mendengar, di berbagai kesempatan
saya selalu menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama dalam
kaitan pilkada, agar bagi gubernur, atau bupati, atau walikota yang terpilih wajib
untuk memimpin dan mengayomi secara adil semua masyarakat, termasuk mereka
yang dalam pilkada tidak memilihnya. Demikian juga masyarakat, wajib mendukung
pemimpin yang terpilih sekalipun dulu tidak memilihnya.

Pak SBY sendiri tentunya kan juga menjalankan apa yang Bapak serukan itu?
Wajib. Harus. Dan sungguh saya jalankan. Bahkan nasihat saya, da- lam kapasitas
saya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat adalah, di provinsi mana pun,
di kabupaten atau kota mana pun, setiap kader PD wajib mendukung kepala daerahnya,
dari partai politik mana pun kepala daerah itu berasal atau dicalonkan. Ada
satu kasus Bung Ramadhan, di mana konon ada seorang bupati dari Partai
Demokrat yang nampak kurang loyal kepada gubernurnya. Langsung saya beri-kan
teguran agar menjalankan etika pemerintahan yang benar.

Harus konsekuen ya Pak?
Harus. Bung, saya ini manusia yang jauh dari sempurna. Banyak kekurangan dan
kelemahan saya, tapi saya tidak menggadaikan integritas kepribadian saya. Saya
ingin terus menerapkan satunya kata dalam perbuatan. Jika pemimpin bicaranya
mencla-mencle, esok dele sore tempe, kacau negeri ini. Jika pemimpin tidak
dapat menjadi contoh, dan juga tidak memberi contoh, seperti apa jadinya.

Kembali kepada kemungkinan Pak SBY akan kembali head to head dengan Bu Mega,
bisa-bisa PD dan PDIP akan saling beroposisi secara permanen?
Belum tentu. Saya punya teori dan pemikiran lain. Rakyat kebanyakan itu pada
hakikatnya apolitis. Artinya tidak menjadi pendukung sengit dari sebuah partai
politik. Barangkali kader-kadernya yang lebih militan. Mereka, masyarakat itu, saling
bisa berkomunikasi. Saya tidak pernah memandang anggota PDIP, ataupun
pendukung-pendukung Bu Mega, sebagai lawan politik permanen. Tidak juga kepada
anggota Partai Golkar, PKS, PPP, PAN, PKB, PBB, PBR, PDS, PPDK, PP, PKPI
dan partai-partai lain. Termasuk parpol-parpol baru seperti Hanura, Gerindra, PKNU,
PDP, PMB dan lain-lainnya. Mereka semua sahabat, partner, sesama bangsa
Indonesia. Apalagi sekarang saya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Wajib hukumnya bagi saya untuk menyayangi, melindungi dan memajukan kehidupan
mereka semua, melalui pembangunan nasional yang kita jalankan selama ini.

Dengan Bu Mega sendiri?
Meskipun sekarang saya belum bisa berkomunikasi secara baik dengan beliau,
saya tidak pernah mengangap beliau adalah musuh abadi. Ini bukan lip service,
tetapi tulus dari hati saya. Tahun ini Bu Mega tentu akan menjadi rival atau kompetitor
saya yang relatif tangguh. Dan hampir pasti kompetisi akan sangat keras.
Tapi, sekali lagi, tidak sepatutnya kami berdua harus bermusuhan sepanjang masa.
Tidak arif. Malu kita kepada rakyat.

Wah … politik itu menarik, dan juga keras ya Pak?
Benar. Keras, dan terkadang kejam.

Sewaktu Pak SBY masih menjadi Perwira TNI apakah pernah membayangkan memasuki
gelanggang politik yang keras ini?

Mengetahui bahwa politik itu keras, ya. Tapi saya sendiri tidak pernah membayangkan
bahwa secara pribadi akan masuk ke medan politik yang seperti ini.
Terus terang, cita-cita saya dulu ingin menjadi KSAD. Silakan tanya Pak Wiranto
dan Pak Widodo. Beliau berdua tahu pergulatan batin saya ketika akhirnya saya
harus meninggalkan TNI, dan kemudian menjadi seorang menteri.

Saya belum dengar Pak. Bisa diceritakan?
Belum dengar? Wah ini agak seru. Begini. Pada masa bakti terakhir Presiden
Soeharto, saya diberitahu bahwa akan diangkat menjadi salah seorang menteri.
Saya memohon kepada Panglima TNI waktu itu, untuk diberi kesempatan melanjutkan
pengabdian di lingkungan TNI. Pak Wiranto waktu itu berhasil meyakinkan
Pak Harto, dan saya tetap bertugas di TNI. Kemudian ketika Pak Habibie menyusun
kabinetnya, kembali saya menjadi nominasi kuat untuk sebuah jabatan menteri.
Saya berkeinginan yang sama, dan Pak Wiranto berhasil pula meyakinkan Pak
Habibie. Di depan saya dan Letnan Jenderal TNI Agus Widjojo, Panglima TNI
melalui sarana telepon berhasil mempertahankan saya di TNI, sesuai permohonan
saya. Nah, ketika Gus Dur menjadi Presiden, saya ditetapkan oleh beliau untuk
menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Di sini masalahnya menjadi lain.
Sampai detik-detik terakhir, Panglima TNI, dan Wakil Panglima TNI, Pak Widodo
tidak berhasil meyakinkan Gus Dur. Saya sekeluarga sedih sekali. Apalagi anak-anak
saya. Agus Harimurti Yudhoyono, yang waktu itu masih menjadi taruna di
Akademi Militer juga sangat sedih.

Kenangan yang sulit dilupakan ya Pak?
Benar. Tapi cerita saya belum selesai. Sekitar dua hari sebelum secara resmi Gus
Dur melantik kabinet yang beliau pimpin, saya masih ingin berjuang dan memohon
kepada beliau agar saya bisa tetap berdinas di jajaran TNI. Tiba-tiba sore hari, ketika
saya sedang berolahraga di Cilangkap bersama wakil-wakil saya, Pak Sudi
Silalahi dan Pak Djoko Santoso, saya diperintahkan menghadap Presiden di Bina
Graha. Nah, ini kesempatan baik, pikir saya, untuk menyampaikan secara langsung
permohonan saya.

Tapi Pak SBY tidak berhasil meyakinkan Gus Dur kan?
Bukan begitu. Ada cerita lain.

Apa itu Pak?
Dalam perjalanan dari Cilangkap ke Bina Graha, tiba-tiba saya mendapat telepon
dari ayah saya. Ayah saya, almarhum, adalah seorang pejuang dan pensiunan letnan,
secara ekonomi kehidupan beliau pas-pasan, dan sampai akhir hayatnya aktif
di kegiatan sosial dan keagamaan. Saya amat hormat kepada beliau, karena
pendiriannya yang keras pada prinsip, lurus, disiplin, dan seorang pekerja yang
gigih.

Apa pesan beliau?
Singkat sekali. Nampaknya beliau mendengar jika saya tidak happy untuk diangkat
menjadi menteri. Beliau bertanya: “Sus, apa yang kamu cari. Pengabdian itu, di
mana pun, kan sama saja.” Kalimat ayah itu seperti cahaya yang menyinari hati
dan pikiran saya yang terus terang waktu itu berada dalam keadaan kusut. Oleh
karena itu, ketika saya bertanya kepada Gus Dur, apakah penunjukan saya sebagai
menteri itu perintah atau penawaran, dan ketika beliau menjawab sebagai perintah,
saya langsung mengatakan “siap” kepada beliau.

Sejak itu Pak SBY telah benar-benar memasuki dunia politik?
Benar. Awalnya saya merasa asing dan kurang siap. Banyak konflik dan pertanyaan
dalam diri saya. Tetapi saya tidak ingin kalah dua kali. Saya harus menjadi
menteri yang berhasil, dan berhasil pula di dunia politik. Saya harus belajar dan
mengembangkan diri. Bung Ramadhan, kita break dulu ya?

Baik Pak.

----------------------------------------------------------------------------------
“SBY sosok multitalenta. Selain kolumnis andal, ayah dua anak Agus Harimurti
Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono ini juga piawai menulis puisi, syair,
lagu, dan melukis. Ia sosok pemimpin yang mampu menyeimbangkan sisi ‘otak
kanan’ dan ‘otak kiri’ secara baik. SBY tegas namun tetap dengan karakter kesantunannya.”

----------------------------------------------------------------------------------

Isu lain yang ingin saya tanyakan adalah berkaitan dengan koalisi politik yang terbangun
saat ini. Apakah Pak SBY merasa puas, atau sreg dengan bentuk koalisi sekarang ini?

Maksud Anda koalisi partai-partai politik yang ada di pemerintahan?

Benar.
(Senyum.) Menurut Anda sendiri bagaimana?

Sepertinya tidak efektif, dan ... kurang konsekuen.
Dari satu sisi, ya, benar kurang konsekuen. Saya juga mendengar banyak istilah
berkaitan dengan koalisi politik yang ada sekarang ini. Ada yang menyebut
”Koalisi Setengah Hati”, ada pula yang mengatakan ”Koalisi Tanpa Etika”. Apa pun
namanya, saya, sebagai Kepala Pemerintahan merasakan koalisi seperti ini
memang agak merepotkan.

Mengapa Pak? Apa yang secara fundamental tidak benar?
Etika berkoalisi yang saya pahami adalah partai-partai politik yang memiliki representasi
menteri di kabinet mestinya tidak berseberangan dan menggagalkan kebijakan
Pemerintah, termasuk pikiran-pikiran dasar dalam RUU yang diajukan
Pemerintah. Demikian pula berkaitan dengan penggunaan hak interpelasi dan hak
angket, tidak begitu mudahnya inisiatif penggunaan hak-hak itu diajukan oleh fraksi-
fraksi di DPR dari partai-partai koalisi. DPP Partai-Partai Politik Koalisi juga tidak
sepatutnya menghajar habis Pemerintah, apalagi pada masalah-masalah yang fundamental
di depan publik. Hal demikian akan membingungkan publik.

Jadi mereka harus senantiasa mendukung dan setuju dengan kebijakan Pemerintah?
Tidak harus. Tidak semua. Fungsi check and balance dan fungsi pengawasan DPR
mesti tetap hidup. Semua fraksi DPR, semua anggota DPR, punya hak dan wajib
menggunakan haknya untuk mengkritisi Pemerintah. Bisa saja mereka tidak setuju
dan menolak kebijakan Pemerintah. Namun, pada saat yang menentukan, setelah
terjadi negosiasi dan mencapai kompromi-kompromi tertentu, mestinya seluruh
jajaran koalisi berada pada satu posisi.

Saya pernah mendengar, fraksi atau partai-partai koalisi itu merasa tidak diajak bicara.
Apa komentar Pak SBY?

Amat sering konsultasi dilakukan dengan fraksi-fraksi koalisi. Pada saat yang sangat
menentukan dan menyangkut materi yang benar-benar fundamental tidak
jarang Wapres, bahkan saya sendiri memimpin konsultasi itu. Komunikasi saya
dengan para pimpinan partai yang berkoalisi secara berkala saya lakukan. Ini juga
bagian dari konsultasi. Menteri-menteri juga sering melakukan konsultasi dengan
fraksi-fraksi koalisi. Bisa saja mereka ingin lebih sering lagi untuk bertemu dan
berkonsultasi. Tapi ingat, kita tidak menganut sistem kabinet parlementer, tapi kabinet
presidensiil. Saya banyak menerima sms dari masyarakat yang menganggap
koalisi yang ada ini tidak jalan, bahkan main-main.

Bagaimana pendapat Pak SBY terhadap ide “Koalisi Permanen”, atau “Koalisi Terbatas”?
Yang namanya koalisi ya harus permanen, paling tidak selama lima tahun, sampai
ke pemilu berikutnya. Mengenai istilah ”terbatas”, saya pahami agar tidak perlu terlalu
banyak partai-partai yang berkoalisi, dua-tiga partai saja. Jumlah menteri yang
ada di kabinet menjadi lebih banyak, sehingga koalisi benar-benar solid. Ya ...
teorinya begitu. Tetapi, itu belum memberikan jaminan, sepanjang koalisi tidak
diikat dalam aturan main atau rules, atau rules of the game, dan juga etika. Dalam
Kabinet Indonesia Bersatu sekarang, beberapa partai politik memiliki representasi
lebih dari tiga menteri, tapi tidak ada jaminan partainya tidak menyerang dan tidak
berseberangan dengan Pemerintah. Benar kan?

Ya, Pak. Rakyat juga melihat. Tapi apa koalisi seperti ini tetap diperlukan ke depan nanti?
Tetap. Tetap diperlukan. Dalam sistem demokrasi multi partai sekarang ini, apalagi
tidak ada partai politik yang sangat dominan, demi stabilitas politik koalisi tetap
diperlukan.

Dan tidak harus ”Koalisi Terbatas” ya Pak?
Tidak harus terbatas, tapi koalisi mesti permanen. Yang penting, ke depan, koalisi
harus didasari oleh aturan dan etika yang mengikat. Aturan dan etika itu mesti
diketahui oleh publik, karena rakyatlah pemilik dan pelaku demokrasi yang sesungguhnya.
Rakyat pula yang memberi mandat kepada parlemen dan presiden.

Dalam periode pemerintah yang Bapak pimpin ini koalisi berarti kurang manfaatnya ...?
Tidak. Manfaatnya besar. Stabilitas politik dan hubungan DPR–Pemerintah yang
relatif baik dewasa ini juga buah dari adanya koalisi. Saya harus berterima kasih
kepada semua partai pendukung pemerintah, termasuk fraksi-fraksinya yang ada di
DPR. Secara perseorangan, banyak tokoh partai dan fraksi pendukung itu yang
jasanya amat besar dalam menunjang stabilitas politik, termasuk capaian-capaian
Pemerintah selama ini. Tentu saja, apabila koalisi ini lebih efektif dan juga rules
based
, akan lebih baik lagi kinerja bersama kita.

Kalau oposisi lain lagi ya Pak?
Ini juga persoalan di negeri kita. Banyak pihak yang mem-permasalahkan, seperti
yang diungkapkan oleh para pejuang dan veteran kita baru-baru ini, ”Indonesia ini
menganut sistem apa?” Sistem presidensiil atau sistem parlementer. Lazimnya, ruling
party
dan opposition party ini berlaku pada sistem kabinet parlementer.
Demikian juga, keberadaan hak interpelasi dan angket. Tapi, baiklah. Tidak tepat
kalau kita lari dari realitas. Don’t fight the problem.

Tapi namanya oposisi bisa berbuat apa saja kan?
Pada prinsipnya oposisi mesti mengkritisi dan menentang kebijakan pemerintah
yang dipikirnya tidak tepat. Memang begitu. Tapi ingat, oposisi juga berkewajiban
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut pula melakukan pendidikan politik dalam
arti yang luas. Argumentasi yang diangkat oposisi untuk menentang kebijakan
Pemerintah juga harus kuat dan logis.

Bisa lebih dielaborasi Pak?
Begini. Kalau ada kebijakan Pemerintah yang dianggap tidak baik, atau banyak
kelemahannya, oposisi bisa dengan keras meng-hantam Pemerintah. Barangkali
rakyat juga banyak yang setuju dengan sikap oposisi itu. Namun, apabila ada kebijakan
dan tindakan Pemerintah yang tepat, dan rakyat sangat diuntungkan dengan
kebijakan itu, oposisi yang cerdas tentu memberikan dukungannya, paling tidak
diam. Dengan demikian rakyat akan memberikan kredit pula kepada oposisi, karena
rakyat pikir oposisi sungguh tahu aspirasi mereka. Sebaliknya, rakyat akan bingung
dan juga bertanya-tanya, jika setiap kebijakan dan tindakan pemerintah yang
mayoritas publik memberikan dukungan lantas di-tentang habis oleh oposisi.

Ada etikanya juga rupanya ...
Jelas. Dalam kunjungan saya ke berbagai negara, saya sering bertemu secara
resmi dengan pimpinan oposisi. Dalam percakapan saya dengan leader of the
opposition
itu sering saya dengar: ”Kalau kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan isu ’A’ saya setuju dan dukung. Tetapi saya menentang cara-cara pemerintah
dalam menyelesaikan masalah ’B’.”

Pengalaman Pak SBY sendiri dalam pertemuan konsultasi dengan Pimpinan DPR yang
juga dihadiri oleh Fraksi PDIP apa tidak ada interaksi antara Bapak dengan fraksi oposisi?

Ada. Selalu ada. Sesungguhnya secara individual komunikasi saya oke-oke saja.
Beberapa pandangannya saya nilai logis.

Tetapi sekarang posisi PDIP amat keras kepada Pemerintah. Pernyataan beberapa
tokoh PDIP juga sangat menyerang baik pemerintah maupun Pak SBY pribadi. Apa
tanggapan Pak SBY?

(Kembali tersenyum.) Kan sebentar lagi Pemilu ...

Pak SBY, atau Pemerintah, atau juga Partai Demokrat tidak terganggu?
Terganggu, tidak terganggu, itu relatif. Ya kalau keterlaluan juga ditanggapi. Nah,
opini kontra opini, oposisi menyerang, pemerintah bertahan dan menyerang balik
itu, adalah hukum demokrasi. Jangan dikatakan SBY sensitif dan tidak mau dikritik?
Mosok digebuki kiri kanan, muka belakang, disuruh hanya senyum saja ...
Seorang demokrat sejati, berani mengkritik juga berani menerima kritik. Namun,
jangan salah selama hampir lima tahun ini saya selalu mendengar dan menghargai
kritik.

Pak SBY saya ingin beralih topik, yaitu seputar dinamika politik dan manuver para capres
sekarang ini.

Silahkan.

Saya lihat makin hangat, bahkan makin seru, manuver para capres. Ada Prabowo,
Sultan, Wiranto, Sutiyoso, dan tentunya Megawati sendiri. Juga tokoh-tokoh lain seperti
Pak Jusuf Kalla, Surya Paloh, Agung Laksono, Akbar Tanjung, Hidayat Nur Wahid, dan
banyak lagi. Nampaknya mereka sudah menggunakan “rompi perang”. Pak SBY kok
masih tenang-tenang saja. Tidak takut terlambat Pak?

Saya kan sudah bilang. Sekarang ini Partai Demokrat mesti fokus pada pemenangan
pemilu legislatif. Urusan capres, urusan cawapres, nanti setelah pemilu legislatif
selesai. Setelah April-lah.

Ya, tapi rakyat menunggu-nunggu siapa tokoh yang Pak SBY pilih untuk menjadi Wakil
Presiden. Masih Pak JK, atau punya calon lain?

Itu pun sudah saya sampaikan bulan September tahun lalu. Saya tetap konsisten
dan konsekuen terhadap apa yang saya ucapkan.

Ada spekulasi. Ya, paling tidak obrolan di warung kopi, katanya Partai Demokrat sedang
mengembangkan dua opsi. Pertama, tetap SBY-JK. Kedua, SBY-tokoh lain. Pak SBY
tidak perlu menyanggah atau membenarkan apa yang sedang dilakukan PD. Mungkin
Pak, biar rakyat tidak penasaran seba-iknya PD mulai membuka sedikit exercise-nya,
siapa calon-calon unggulan wapres. Pak JK jelas. Siapa lagi?

Itu tidak akan terjadi. Saya sudah meminta PD jangan obral statement dan wacana.
Jangan memberikan banyak “angin surga”. Kasihan itu para elit kalau keburu
punya harapan yang berlebihan. Banyak tokoh yang baik di negeri ini, tapi janganlah
dikasih janji-janji. Beliau-beliau akan merasa terhina dan dipermainkan kalau
PD, ataupun saya, begitu mudahnya menyebut nama-nama untuk cawapres. Setiap
orang punya kehormatan dan harga diri.

Pak saya makin tahu mengapa tadi, sebelum wawancara ini Pak SBY menggelar konferensi
pers untuk mengoreksi dan menjernihkan suasana menyangkut wawancara Pak
Mubarok, Wakil Ketua Umum PD, yang berkaitan dengan cawapres, yang dianggap
menyinggung perasaan Golkar?

Benar Bung. Saya tidak suka dan harus mengoreksi pernyataan kader-kader
utama PD yang tidak tepat. Bukan seperti itu nilai dan karakter Partai Demokrat
yang sedang kami bangun.

Apa pertimbangan Pak SBY mesti turun langsung dalam hal ini?
Pertama, yang bicara kader utama. Kalau ada yang tidak tepat dengan Ketua
Umum atau Wakilnya, kewajiban saya sebagai Ketua Dewan Pembina untuk mengoreksi
dan meluruskannya. Kedua, karena Pak Jusuf Kalla sudah bereaksi, saya
mesti segera turun untuk memelihara hubungan baik saya dengan Pak JK.

Nampaknya Golkar tersinggung betul. Kader-kadernya pun segera bereaksi. Pak Priyo
Budi Santoso kelihatan bersuara keras dan lantang. Komentar Pak SBY?

Saya memahami. Itulah perlunya saya segera menjernihkan suasana. Kami menghormati
Golkar sebagai saudara dan mitra dekat. Tidak ada niatan untuk melecehkan.
Pak Mubarok orangnya ceplas-ceplos, polos, lurus, dan apa adanya.
Pribadinya baik, dan tidak pernah berniat buruk. Cuma tidak peka terhadap situasi.
Dan pernyataan kemarin memang salah.

Apa selama ini ada pernyataan dan tindakan Golkar yang juga langsung atau tidak langsung
melukai PD?

Terus terang memang ada beberapa.

Contohnya Pak?
Kader Demokrat sering menyampaikan ke saya hal-hal yang dirasa ganjil yang
menyangkut hubungan PD–PG. Misalnya, Golkar beberapa kali menyelenggarakan
kegiatan Apel Bersama dengan PDIP. Ada lagi, dinamika dalam pembahasan RUU
Pemilu, RUU Pilpres, Pemilihan Gubernur BI dan lain-lain. Tetapi saya katakan itu
biasa dalam politik. Dukungan Golkar terhadap pemerintahan yang saya pimpin
juga nyata. Golkar tetap partner kita, dan kita mesti memelihara keutuhan koalisi
yang ada.

Nah, kembali ke banyaknya tokoh yang disebut-sebut sebagai cawapres, jadi yang
dilakukan oleh PDIP dan Gerindra tidak tepat?

Bukan begitu. Masing-masing punya pandangan, barangkali juga siasat. Yang jelas
itulah pendirian saya. Itulah prinsip dan etika politik yang saya anut.

Tapi kalau kriteria kan bisa di- sampaikan sekarang ...
Bisa sih ... bisa. Tapi belum perlu. Begini saja, seorang cawapres ya harus memiliki
integritas dan kapasitas sebagai wakil presiden. UUD 1945 mengatakan bahwa
presiden memegang kekuasan pemerintahan menurut UUD, dan dalam melakukan
kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.

Presiden dan wakil presiden juga harus kompak kan Pak?
Apa maksudnya kompak?

Ya, chemistry-nya harus baik. Karena sering terjadi antara pimpinan dan wakilnya itu ada
benturan. Ada konflik.

Sangat bisa dalam proses pengambilan keputusan ada perbedaan pendapat. Itu
wajar, dan bisa saja terjadi. Tetapi setelah pengambil keputusan menetapkan keputusannya,
semuanya harus loyal. Termasuk seorang wakil.

Berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan itu selama ini
bagaimana hubungan Pak SBY dengan Pak JK?

Baik. Relatif baik.

Berbicara kembali soal munculnya banyak capres, dalam kampanyenya, mereka
menawarkan janji yang menarik. Apa komentar Pak SBY?

Apa misalnya?

Ya, ada yang apabila menjadi presiden pada prinsipnya kemiskinan akan hilang, atau
dapat diatasi. Ada yang berjanji kehidupan petani akan baik dan makmur. Ada yang berjanji
akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, karena selama ini rakyat belum sejahtera.
Ada pula yang berjanji bakal menurunkan harga-harga sembako dalam waktu 100 hari.
Kurang lebih begitulah.

Kita harus menghormati kampanye para capres itu. Berjanji itu tidak dilarang.
Tentu rakyat kita ini cerdas, dan sesungguhnya mereka bicara dari hatinya. Mereka
sudah mulai menanyakan bagaimana cara untuk mewujudkan janji-janji itu. Yang
menarik apa yang disampaikan oleh Pak Mahfud, Ketua Mahkamah Konstitusi,
beberapa saat yang lalu bahwa visi dan misi para capres bisa sama saja. Tetapi,
kata Pak Mahfud, lihat rekam jejaknya, atau track record-nya.

Jadi Pak SBY sendiri akan hemat terhadap janji? Kan Bapak sudah punya pengalaman
selama lima tahun ini. Dan saya dengar Pak SBY adalah tipe pemimpin yang aktif dalam
pengambilan keputusan dan pengembangan kebijakan. Pak SBY juga turun langsung ke
daerah-daerah untuk mengawasi pelaksanaan pembangunan. Bapak juga melakukan
dialog dengan rakyat, termasuk berkomunikasi melalui sms dan surat. Apa tidak bisa
menyampaikan visi dan misinya secara konkret?

Saya harus cermat. Ada tiga alasan saya untuk berhemat dan cermat dalam
menyampaikan visi dan misi.


Pertama, setelah Pemilu 2004 dulu apa yang tidak pernah saya katakan, dianggap
sebagai janji. Sampai agak jengkel saya. Pernah saya kejar, tolong jelaskan kepada
saya kapan dan di mana saya mengatakan itu? Kapan saya berjanji seperti itu?
Sampai sekarang tidak kunjung datang yang namanya bukti itu. Bung, saya ini
amat cermat dan berhati-hati untuk berbicara. Saya senantiasa mengukur dan mengontrol
kata-kata saya, sampai ada yang menganggap saya tidak tegas, ragu-ragu,
dan sebagainya. Hal ini juga pernah, saya kejar, di mana dan isu apa yang saya
ragu-ragu atau tidak berani saya memutuskannya. Cek kepada Seskab atau para
ADC saya yang hampir lima tahun mendampingi saya, terutama dalam keadaan
”kritis”. Masalah apa yang tidak saya putuskan, yang tidak saya carikan solusinya,
dan yang tidak saya lakukan tindakannya. Jadi kembali ke pengalaman Pemilu
2004, dengan mengambil pelajaran yang berharga, memang saya harus lebih
berhemat dalam menyampaikan sesuatu di musim kampanye seperti ini.

Dulu, tahun 2004, seperti apa materi kampanye Pak SBY, dan kenapa akhirnya semua
dianggap janji Bapak?

Banyak contohnya. Katanya, jika saya terpilih, saya tidak akan menaikkan harga
BBM. Tidak pernah itu. Terus terang, mestinya kenaikan harga BBM sudah harus
dilakukan pada medio 2004. Tapi maklum, karena barangkali untuk kepentingan
pemilu, kebijakan itu tidak diambil. Sehingga ketika saya ditanya apakah demi
penyelamatan ekonomi Indonesia kelak jika terpilih saya akan menaikkan harga
BBM, jawaban saya adalah ”lihat perkembangan keadaan nanti”. Jika yang terbaik
adalah tanpa harus menaikkan harga BBM itu, ya solusi itu yang saya pilih. Namun,
jika harus menaikkan harga BBM, opsi itu ya harus saya ambil. Dengan catatan,
saya akan memikirkan bagaimana melindungi kelompok miskin akibat kenaikan itu.
Nah, ketika saya terpaksa harus menaikkan harga BBM di tahun 2005 dan tahun
2008, BLT dan kompensasi yang lain saya berikan. Ini konsep dan kebijakan yang
rasional, bukan politis. BLT ini juga telah berlaku sejak tahun 2005, bukan hanya
menjelang Pemilu 2009 saja.

Saya interupsi sebentar Pak soal BLT ini ...
Silahkan.

BLT ini memang ada pro dan kontranya. Ada yang mengatakan ini kebijakan yang salah,
dan lebih baik diganti dengan padat karya. Meskipun banyak pula yang mendukung,
terutama masyarakat tidak mampu sendiri. Bu Mega, akhir-akhir ini mengkritik pedas
kebijakan itu sebagai “mendidik kita untuk menjadi bangsa pengemis”. Apa tanggapan
Pak SBY?

Tidak ada satupun kebijakan yang mendapatkan dukungan 100%. Selalu ada pro-kontranya.
Ini terjadi di negara mana pun. Toh saya harus memilih di antara opsi
yang tersedia, yang telah kita pikirkan masak-masak, untuk menjadi kebijakan.
Alasannya jelas. BLT, atau cash transfer hanya diberikan kepada golongan
masyarakat yang sungguh mengalami beban hidup yang berat akibat kenaikan
BBM ini. Inipun sementara sifatnya. Dewasa ini, ada bermacam-macam bentuk bantuan
yang pemerintah berikan untuk meringankan beban keluarga miskin dan
setengah miskin.

Tentang “mendidik sebagai bangsa pengemis”?
Istilah itu menyakitkan. Saudara-saudara kita yang miskin itu tidak ada yang mau
menjadi pengemis. Karena terpaksa, dan memang sungguh memerlukan, mereka
menerima BLT itu. UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk membantu
fakir miskin. Agama juga mewajibkan pemeluknya untuk membantu sesama yang
sedang mengalami kesulitan. BLT ini juga diberikan di negara-negara maju,
meskipun dengan istilah yang berbeda-beda, seperti di Jepang, Amerika Serikat,
Meksiko, Iran dan negara-negara lain. Apa pemerintah di negara-negara itu mendidik
bangsanya untuk menjadi bangsa pengemis?

Kembali ke topik semula ...
Ya, kembali sebelum Anda menginterupsi saya tadi. Sampai di mana tadi?

Contoh-contoh yang Pak SBY tidak mengatakan tapi dianggap sebagai janji.
Oh, ya. Ada yang mengatakan saya ingkar janji karena setelah menjadi Presiden
kemiskinan masih ada, dan rakyat belum sejahtera. Malah, ada yang akan menempuh
jalur hukum karena saya dianggap tidak memenuhi janji Pemilu, karena tidak
dapat menyejahterakan rakyat. Bung, simak dan dengarkan kembali kata-kata saya
dalam kampanye Pilpres 2004. Teks pidato saya masih ada, saya kira rekamannya
juga masih ada. Tidak pernah saya mengatakan jika saya jadi Presiden kemiskinan
dan pengangguran akan sirna, dan rakyat akan sejahtera semuanya. Yang saya
katakan, ”Jika Insya Allah saya terpilih menjadi Presiden, amanah saya, tugas
saya, adalah berjuang sekuat tenaga untuk mengurangi kemiskinan, mengurangi
pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Itu yang saya ucapkan.
Silahkan dinilai, apakah tujuan itu dapat Pemerintah capai?


Tahun lalu, di depan Sidang Paripurna DPR dan DPD saya sampaikan berbagai
capaian Pemerintah hingga Agustus 2008, yang menggambarkan kondisi terbaik
dalam 10 tahun terakhir di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Silakan disimak
kembali kedua pidato saya itu.

Alasan yang lain?
Ya, tadi saya sudah mengatakan alasan pertama untuk tidak obral janji dalam
Pemilu 2009 ini. Alasan kedua, semua capres dan cawapres punya visi dan misi.
Dalam visi dan misi itu tentu ada tujuan dan sasaran, baik yang dinyatakan secara
kualitatif maupun secara kuantitatif. Nah, dalam realitasnya, di akhir masa bakti
pemerintahan yang saya pimpin sekarang ini, akhir tahun 2009, tentu ada sasaran
yang tercapai bahkan di atas target, dan tentu ada pula yang tidak sepenuhnya tercapai.
Terhadap hal ini bisa dijelaskan mengapa demikian. Semuanya explainable.
Keadaan seperti ini juga lazim terjadi di negara manapun. Selalu ada gap antara
planning dan implementation.

Bagaimana penjelasannya?
Selama lima tahun jalannya kehidupan bangsa, dan juga jalannya pemerintahan,
tentu ada sejumlah dinamika bahkan bisa muncul shocks yang tidak pernah terpikirkan.
Misalnya, kita tidak tahu tiba-tiba tahun 2004 ada bencana besar tsunami
di Aceh dan Nias. Kemudian tahun 2006 ada gempa bumi besar di Yogyakarta dan
Jawa Tengah. Akibatnya, banyak pergeseran sumber daya termasuk anggaran,
untuk mengatasi bencana alam itu. Kemudian, sebagaimana yang diketahui oleh
rakyat Indonesia, terjadi krisis harga minyak, krisis harga pangan, krisis keuangan
dan resesi perekonomian yang kesemuanya bersifat global. Tentu saja kesemua
krisis itu membawa dampak bagi perekonomian dan kondisi kesejahteraan rakyat.
Saya juga harus mengakui bahwa sejumlah sasaran tidak tercapai, karena memang
di luar jangkauan jajaran pemerintahan di seluruh Indonesia untuk mencapainya.

Saya interupsi lagi, Pak. Kalau tidak salah Pak Wiranto dan sejumlah pihak mengatakan
pemerintah bohong dan hanya menyalahkan krisis global, padahal tidak ada kaitannya.
Apa tanggapan Pak SBY?

(Kembali tersenyum.) Saya juga heran kalau statement itu keluar dari beliau-beliau.
Karena saya tahu tentu semuanya memahami keadaan dunia. Saya juga tidak yakin
kalau beliau-beliau itu tidak membaca dan melihat televisi, baik media domestik
maupun media internasional. Dalam survei LSI bulan Desember 2008, ketika rakyat
ditanya apakah mereka tahu bahwa sedang ada krisis perekonomian global, 62%
responden menjawab tahu. Dan ketika kemudian ditanya apakah mereka menilai
langkah-langkah yang dilakukan pemerintah sudah tepat dalam mengatasi dampak
perekonomian global itu, 85% responden menyatakan sudah benar. Lagipula, di
berbagai kesempatan, termasuk di depan Munas Kadin, saya sampaikan permasalahan
yang kita hadapi sekarang ini adalah persoalan yang muncul di dalam
negeri sendiri, dan kemudian ditambah atau di-perberat dengan adanya krisis
perekonomian global dewasa ini. Bung, saya lanjutkan dengan alasan ketiga ya ...

Baik Pak. Apa alasan Pak SBY yang ketiga?
Selama hampir lima tahun ini saya memimpin pemerintahan, amat banyak kebijakan,
program dan aksi-aksi nyata yang Pemerintah lakukan. Amat banyak pula
terobosan dan kebijakan baru yang saya jalankan, yang saya tahu pasti tidak
dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya. Saya yakin rakyat juga tahu sejumlah
program dengan anggaran yang tidak sedikit untuk meningkatkan pendidikan termasuk
kesejahteraan guru, meningkatkan ke-sehatan masyarakat, mengurangi
kemiskinan, mengurangi pengang-guran, meningkatkan penghasilan pegawai
negeri termasuk peng-hasilan buruh, meningkatkan penghasilan petani dan
nelayan dan lain-lainnya. Maaf ya, apa yang dikampanyekan oleh para capres itu
pada hakikatnya sudah pemerintah lakukan. Anda tahu nggak arah pembicaraan
saya?

Belum, Pak? Apa poinnya?
Semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Semua tidak seperti membalik telapak
tangan. Oleh karena itu amat baik jika nanti rakyat dapat menyimak dengan
saksama debat antar capres. Saya tentu harus berdebat dengan capres-capres lain
tentang kemiskinan, pengangguran, kesejah-teraan rakyat, kemakmuran petani,
dan harga sembako. Saya akan dapat mendengarkan, demikian juga rakyat, tentang
bagaimana caranya dalam 100 hari harga-harga sembako bisa turun, misalnya.
Juga tentang bagaimana caranya kemiskinan akan teratasi, petani akan makmur,
dan lain-lain, sebagaimana dijanjikan oleh para capres itu.

Jadi debat calon presiden itu penting ya Pak?
Itu kegiatan utama dalam pemilihan presiden secara langsung. Di negara mana pun
demikian. Dengan debat, rakyat akan bisa menilai pemikiran dan konsep-konsep
kebijakan para kandidat. Rakyat juga akan menilai mana yang logis dan mana yang
tidak. Lagi pula, saya ini kan belum masuk ”ring”.

Apa maksudnya Pak?
Ya, ibarat pertandingan tinju, lawan saya sudah mengeluarkan pukulan straight,
jab, hook
dan uppercut. Penonton sudah bersorak-sorak secara gemuruh. Saya
sendiri belum masuk ”ring”. Jadi, hampir lima tahun ini saya mendapatkan kritik-kritik
pedas dan kecaman yang sebagaimana saya katakan di awal wawancara ini
tidak semuanya mesti saya respons. Nah ... dalam kampanye pemilu, termasuk
debat capres nanti, saya bisa merespons dan mengkritisi balik janji-janji mereka.

Jadi sekali lagi, debat capres menjadi penting ...
Benar. Dengan catatan, kegiatan debat itu harus dibikin tertib dan terhormat. Juga
santun, sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Serang-menyerang secara berlebihan
tidaklah baik. Tidak perlu juga disertai kegaduhan tepuk tangan para suporter.
Sekali lagi tertib. Ini bukan gelanggang ”adu ayam”, tetapi forum yang baik agar
sebelum memberikan pilihannya, rakyat tahu betul apa wawasan, ide, pemikiran
dan konsep-konsep kebijakan para capres untuk mengelola pemerintahan dan
memimpin negara lima tahun ke depan. Ingat 2009–2014 adalah tahun-tahun yang
tidak mudah. Di samping kita harus memelihara momentum kebangkitan bangsa
pascakrisis 1998, di samping harus memelihara dan meningkatkan capaian pembangunan
hingga hari ini, kita juga harus mampu mengatasi dampak dari krisis dan
resesi perekonomian global.

Tahun-tahun yang tidak mudah ya Pak?
Benar. Saya tahu persis, karena saya bukan tipe pemimpin di belakang meja.
Bukan pemimpin yang terima bersih, atau menye- rahkan segalanya kepada
Wapres dan para menteri. Saya aktif, turun dan hands on. Tidak satupun permasalahan
pemerintahan, apalagi yang mendasar, sensitif, dan strategis yang tidak
saya putuskan sendiri, dan kemudian saya tetapkan kebijakannya. Tentu saja
Wapres dan para menteri bekerja, mengatasi masalah dan terus membantu saya
selaku Presiden. Tetapi tetap, sayalah pengambil keputus- an, dan yang paling
bertanggung jawab atas apa yang dilaksanakan oleh Pemerintah.

Kalau begitu tidak benar seperti yang dikesankan di luar bahwa Pak SBY tidak in charge.
Bahkan katanya yang menjalankan roda pemerintahan ini lebih banyak Wapres. Bahkan
pula Pak Syafi’i Ma’arif mengatakan JK adalah “the real President”. Apa tanggapan Pak
SBY?

Saya tidak menyangka beliau berkata begitu. Saya memang sudah lama tidak ketemu
Pak Syafi’i Ma’arif. Sebenarnya dulu kita sering berkomunikasi. Sewaktu saya
masih bertugas di TNI di awal reformasi dulu beberapa kali beliau datang menemui
saya. Demikian juga ketika saya menjadi menteri dan presiden. Saya mendapat
informasi, kemarin, beliau hadir dalam Rakernas PDIP di Surakarta. Terhadap
pernyataan Pak Syafi’i itu Wapres pun tidak senang.

Atau karena sering kali Wapres mengeluarkan pernyataan yang berkaitan dengan keputusan
dan kebijakan utama pemerintah, sehingga dikesankan beliau yang lebih berperan?

Sebenarnya itu tidak keliru. Sepanjang proporsional dan patut. Dan itu memang
gaya Pak Jusuf Kalla. Memang kepada Wapres saya berikan wewenang dan ruang
yang lebih luas dalam kegiatan pemerintahan. Barangkali wewenang yang paling
besar dibandingkan dengan wapres-wapres lain selama ini. Andil Pak JK cukup
besar. Tetapi nakhodanya tetap satu. Dan hanya satu. Ini etika pemerintahan yang
harus bersama-sama kita junjung tinggi.

Pak SBY, saya ingin mengangkat isu netralitas TNI dalam Pemilu 2009 ini.
Silahkan.

Belum lama ini, di depan para petinggi TNI dan Polri, Pak SBY selaku Presiden sepertinya
sangat menekankan netralitas TNI dan Polri dalam pemilu. Apa yang menyebabkan
Pak?

Ya memang harus begitu. Itu, sesungguhnya amanah undang-undang. Juga
segaris dengan reformasi TNI dan Polri. Saya kira Anda masih ingat, 11 tahun yang
lalu, di awal reformasi nasional 1998, saya terlibat aktif dalam membuat cetak biru
reformasi ABRI, dan kemudian menjalankannya. Reformasi TNI dan Polri itu
hakikatnya berhenti berpolitik praktis, dan kembali kepada peran dan fungsi pertahanan
dan keamanan negara.

Jadi harus konsekuen ya Pak?
Harus. Wajib hukumnya.

Tapi apa hanya itu? Benarkah pada Pemilu 2004 yang lalu TNI dan Polri tidak netral?
Lembaganya netral. Tetapi ada oknum-oknum pejabat yang justru mengajari yang
salah kepada jajaran atau bawahannya. Tindakan itu, disamping mengganggu
netralitas TNI dan Polri, juga merusak keadilan atau fairness dalam pemilu tersebut.

Bisa diberikan contoh Pak?
Ya, saya akan angkat dua contoh saja. Menjelang Pemilu Legislatif, ada semacam
Apel Komandan Satuan yang salah satu pengarahan pimpinannya adalah jangan
memilih partai politik X, karena, katanya tidak segaris dengan TNI. Ketika peserta
apel tidak paham partai X itu yang mana, maka ditunjukkanlah AD/ART dari partai
yang bersangkutan. Saya tahu pasti kegiatan seperti itu tidak segaris dan di luar
sepengetahuan Panglima TNI, waktu itu, Jenderal TNI Endriartono Sutarto.
Dan, ketika pimpinan partai X mengajukan permohonan kepada petinggi TNI itu untuk
melakukan klarifikasi bahwa partainya tidak bertentangan dengan institusi TNI,
mereka tidak diterima. Justru Panglima TNI yang menerimanya. Saya nilai Pak
Endriartono Sutarto sungguh netral dalam Pemilu 2004 yang lalu.

Contoh yang kedua?
Yang kedua, terjadi di jajaran Polri. Saya kira masyarakat tahu, Anda pun juga tahu,
ketika seorang Kombes Pol. mengarahkan kepada yang hadir waktu itu untuk
memilih capres tertentu, dan tidak memilih capres-capres yang lain. Banyak yang
melihat tayangan televisi tentang tindakan yang mengganggu netralitas Polri.

Masih ada contoh yang lain?
Cukuplah. Dua itu saja contohnya. Saya pun mengangkat dua contoh itu di depan
Rapim TNI dan Raker Polri, karena salah satu materi pokok yang diangkat dalam
Rapim dan Rakor adalah Pemilu 2009 dan Netralitas TNI dan Polri. Saya sampaikan
itu agar tidak diulangi lagi. Tidak terjadi lagi. Sakit rasanya bagi partai politik atau
capres yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil.

Tapi Pak SBY juga menerima informasi tentang kemungkinan ada oknum lagi yang
mengganggu netralitas TNI dan Polri dalam Pemilu 2009 ini?

Benar. Informasi itu tidak mengada-ada. Saya bukan tipe Presiden yang mudah
dipengaruhi, apalagi dibisiki. Saya bukan juga orang yang main tuding. Anda tentu
mengamati perkataan, sikap dan tindakan saya selama hampir lima tahun
memimpin pemerintah ini.

Jelasnya seperti apa informasi seorang petinggi TNI AD yang konon menunjukkan sikap
tidak netral itu?

Begini, ya. Sebenarnya saya tidak akan menjelaskan lebih jauh tentang masalah
ini, karena tujuan saya menyampaikan ini kepada Rapim TNI dan Rakor Polri
adalah untuk pencegahan. Dan, yang ingin saya sampaikan dalam alam keterbukaan
dan kebebasan informasi dewasa ini, apa yang dikatakan dan diperbuat
oleh seorang pejabat mudah diketahui oleh publik. Jadi saya minta para petinggi
TNI dan Polri itu lebih berhati-hati.

Kalau memang banyak informasi yang beredar, termasuk yang sampai ke Pak SBY,
berarti informasi itu banyak benarnya ya Pak?

Tunggu dulu. Informasi itu bisa benar bisa salah. Kalau intelijen memang banyak
benarnya. Begitu derajat sebuah informasi. Semuanya harus dicek. Sebelum
benar-benar terbukti, tidak boleh kita main ”vonis”. Bisa kasihan bagi yang
bersangkutan. Dan, ingat, dua kali saya mengatakan di depan Rapim dan Rakor itu
bahwa saya tidak yakin atas kebenaran informasi itu. Jadi, kalau ada seorang
capres yang mengatakan saya main tuding ... saya prihatin. Berbahaya nanti kalau
beliau itu benar-benar jadi presiden lantas mengeluarkan statement sembarangan
saja.

Meskipun Pak SBY selaku Presiden tidak yakin dan tidak percaya begitu saja, apa tidak
ada tindak lanjutnya?

Itu menjadi urusan TNI AD. Mereka mempunyai sistem. Dan sistem itu tentu bekerja.
Pesan saya, terhadap masalah ini harus cermat, faktual, dan objektif. Apa
adanya, dan jangan ada manipulasi apa pun. Tegakkan kebenaran dan keadilan.

Ya Pak, rakyat Indonesia tentu tidak ingin kembali ke era Orde Baru yang ABRI waktu itu
tidak netral dan bermain politik praktis.

Era itu sudah berlalu. Kini kita hidup dalam alam politik dan demokrasi yang lain.
TNI dan Polri juga sudah melakukan introspeksi dan bahkan reformasi. Saya,
bersama teman-teman waktu itu, bergulat dan berjuang keras untuk mengawal
reformasi TNI dan Polri yang masih berjalan ini.

Dalam kaitan ini sepertinya Pak SBY juga menekankan netralitas birokrasi. Bisa dijelaskan?
Ya, benar. Maksud saya, jangan sampai pejabat publik jajaran pemerintah, dan
mestinya juga jajaran Lembaga-lembaga Negara, melakukan abuse of power atau
penyalahgunaan wewenang. Contoh yang konkret adalah, misalnya, seorang
bupati mengerahkan, atau memfasilitasi pengerahan kepala-kepala desa untuk
memenangkan salah satu parpol atau capres dalam Pemilu 2009 ini. Merupakan
pelanggaran pemilu yang prinsip apabila seorang bupati memfasilitasi pengerahan
dan pengumpulan sekian ratus kepala desa, dan kemudian ia sendiri, atau seorang
tokoh parpol atau caleg dapil itu, meminta para kepala desa itu untuk mengajak
rakyatnya memilih partai atau caleg yang bersangkutan.

Jelas aturannya ya Pak?
Sangat jelas. Hal ini saya ingatkan baik kepada pejabat pemerintah, seperti bupati
atau walikota, maupun para camat dan kepala desa itu sendiri.

Pak, bicara pemilu seperti tidak ada habis-habisnya. Makanya dulu pernah disebut “pesta
demokrasi”. Ingat saya, Pak SBY juga sering mengingatkan janganlah pemilu itu jadi
ajang fitnah atau pembunuhan karakter terhadap seseorang. Apa latar belakangnya Pak?

Saya ini ingin menjadi manusia yang pragmatis dan realistis. Tentu tanpa meninggalkan
idealisme. Pragmatisme saya juga tetap dikaitkan dengan visi, ke arah
mana, misalnya, negara ini hendak kita bangun. Nah, berkaitan dengan etika
pemilu, janganlah kita terlalu idealis dan kurang realistis. Maksud saya begini.
Dalam pemilu, terlebih masa kampanye, tentu tidak dapat dielakkan terjadinya
suasana sa-ling menyerang. Mungkin pula, ada upaya untuk merusak nama baik
atau karakter seseorang. Tapi, ingat, selalu ada batasnya.

Tapi batasnya kan sulit ...
Memang sulit. Tidak mudah. Tetapi seorang pemimpin, apakah caleg, capres,
cawapres, dan para tokoh pendukungnya, mestinya memiliki kearifan dalam
berpolitik. Saya katakan tadi selalu ada batas kepatutannya. Di samping itu,
undang-undang dan aturan kampanye yang dikeluarkan KPU juga ikut mengatur
hal ini.

Pengalaman Pak SBY sendiri dalam Pemilu 2004 seperti apa?
Tunggu dulu. Biar saya teruskan dulu soal etika dan batas kepatut- an dalam kampanye
pemilu ini. Saya berusaha untuk menjaga dan menghormati batas kepatutan
ini. Bayangkan, kalau kata-kata dan tindakan saya tidak baik, penuh dengan nada
emosi dan kemarah- an, menghasut, menantang lawan secara berlebihan ... pastilah
pendukung-pendukung saya lebih marah dan bisa-bisa ”terbakar”. Ingat peribahasa
”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

Kembali ke Pemilu 2004 Pak?
Ya, itu ujian yang maha berat bagi saya. Saya dan keluarga kehujanan fitnah dan
pembunuhan karakter, atau character assasination yang tak habis-habisnya.

Ada yang masih ingat?
Hampir semuanya ingat, karena fitnah itu sungguh menyakitkan. Sampai-sampai,
menjelang hari pemungutan suara, saya dan keluarga berdoa sangat khusuk untuk
memohon perlindungan dan pertolongan Allah. Pada malam yang menentukan itu
saya juga menyelenggarakan acara dzikir dan doa bersama para sahabat, handai
taulan dan masyarakat Cikeas. Bung Ramadhan, supaya nggak habis waktu kita,
saya beri tiga contoh saja fitnah yang masih saya ingat ya.

Silahkan Pak.
Di awal kampanye Pemilu 2004, beredar berita, terutama di pesan- tren dan komunitas
Islam bahwa isteri SBY itu Kristen, oleh karena itu jangan pilih SBY. Sampaisampai
ada semacam Majelis Ustadzah yang mengundang istri saya, Ibu Ani, untuk
ber-silaturrohim dengan mereka semua, setelah sebelumnya mendapatkan kejelasan
berita tentang agama istri saya yang benar, ketika perwakilan majelis itu
datang ke Cikeas. Ketika akhirnya mereka bisa bertemu, banyak yang meminta
maaf bahkan menangis karena telah berburuk sangka, atau su’udzon. Semua
agama mesti kita hormati, tetapi mengedarkan isu ”jangan pilih SBY karena istrinya
Kristen” itu jelas perilaku yang buruk.

Contoh lain?
Pernah, ketika kami sedang ber-kumpul di Cikeas untuk mengatur siasat kampanye,
tiba-tiba, saya menerima telepon dari seorang pendukung yang sedang berada
di Cipanas. Nampaknya, sedang dibagi-bagikan selebaran, termasuk kepada para
penumpang bus dan angkot, yang isinya jangan pilih SBY karena SBY dan Partai
Demokrat menerima bantuan asing, atau bantuan dana dari luar negeri.

Berapa dan dari mana katanya bantuan itu?
Diisukan SBY dan PD menerima bantuan dari Amerika Serikat, dengan jumlah 50
juta dolar. Angka yang disebut itu jumlahnya besar sekali. Keterlaluan! Wallahi,
satu dolar pun tidak ada bantuan itu. Saya patuh hukum, dan tahu menjaga diri.
Ada satu lagi yang nampaknya fitnah ini direncanakan dan dipersiapkan dengan
rapi, yaitu buletin yang beredar pada minggu tenang Pemilu 2004. Belum dengar?

Belum. Yang mana itu Pak?
Dalam minggu tenang masa kampanye, saya berkunjung ke Blitar untuk sungkem
dan mohon restu dari Ibunda saya yang memang tinggal di Blitar. Saya memang
sering ke Blitar, dan bahkan beberapa kali saya ziarah ke Makam Bung Karno. Nah,
dalam perjalanan saya ke Blitar, secara luas beredarlah buletin yang memberitakan
bahwa sebelum menjadi TNI, SBY telah menikah dan punya dua orang anak.
Sungguh luar biasa, fitnah dan pembunuhan karakter itu. Pada saat minggu tenang
lagi ...

Ya, menyedihkan ya Pak. Mudah-mudahan Pemilu 2009 ini tidak begitu. Pak SBY yakin
kalau fitnah dan pembunuhan karakter itu tidak terjadi lagi?

(Diam sejenak) Mudah-mudahan. Saya juga terus mengajak dan memberi contoh
kepada jajaran Partai Demokrat agar menjauhi dan tidak melakukan politik
semacam itu. Politik yang penuh kebohongan. Politik yang menghalalkan segala
cara. Politik yang tidak berakhlak.

----------------------------------------------------------------------------------
“SBY kerap menjaga kebugaran dan kesegaran jasmaninya. Sejak belia dulu hingga
sekarang pun, pemimpin kelahiran Pacitan, 9 September 1949, ini rajin berolah
raga voli. Belakangan beliau lebih aktif berolahraga tenis meja dan golf. SBY juga
kerap berdzikir, mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Semua itu menjadikan
dirinya pemimpin yang tangguh luar dan dalam”.

----------------------------------------------------------------------------------


Pak SBY, setelah break yang kedua ini saya ingin meminta pendapat dan komentar
Bapak menyangkut isu-isu aktual. Maksud saya isu-isu yang diangkat untuk menyerang
Pak SBY, seperti harga sembako, pupuk, kemiskinan dan lain-lain.

Silahkan, Bung.

Pertama, isu sembako. Sangat gencar kubu Bu Mega mengangkat harga sembako yang
mahal dan tidak terjangkau. Isu ini tentu untuk menghantam pemerintah, dan Pak SBY
sendiri. Apa komentar Bapak?

Ya, saya mengikuti semuanya itu. Termasuk iklan-iklan yang ditayangkan di televisi,
maupun yang dimuat di koran-koran. Dalam dunia politik, atau kampanye
pemilu, bisa saja isu semacam itu diangkat dan dijadikan munisi untuk menyerang
pihak lain. Terhadap itu semua, menteri-menteri terkait sebenarnya sudah menjelaskan
beberapa kali. Demikian juga, Partai Demokrat sebagai partai yang konsisten
dan konsekuen mendukung Pemerintah, juga ikut menangkis serangan itu.
Anda amati, dalam merespons isu sembako itu pemerintah menggunakan angka,
data dan fakta yang resmi dan benar. Ini segaris dengan instruksi saya bahwa
meskipun pihak lain bisa saja memanipulasi dan bersiasat dengan data, tetapi saya
minta jajaran Pemerintah tetap menceritakan hal-hal yang logis dan benar. Partai
Demokrat juga saya minta melakukan hal yang sama. Telling the truth.

Pak SBY sendiri bagaimana menanggapi isu sembako kubu Megawati itu?
Banyak sisi yang dapat saya respons. Banyak kedangkalan dan kelemahan cara
melihat, sehingga tidak logis. Cara seperti itu tidak cerdas, dan kasihan rakyat.

Bisa dijelaskan satu-persatu?
Sangat bisa. Dan banyak kelemahan dan ketidakbenaran iklan sembako itu. Tapi
akan saya sampaikan yang prinsip-prinsip saja. Pertama, seharusnya jika kita
bicara harga-harga sembako harus dikaitkan dengan daya beli, atau penghasilan
masyarakat. Ini tidak. Kedua, data yang digunakan untuk mengangkat harga masing-
masing bahan pokok tidak dicantumkan kapan harga-harga sembako itu
dicatat. Dan, kalau saya lanjutkan komentar saya, sebagian dari harga-harga sembako
saat ini sudah turun akibat penurunan harga BBM, tarif angkutan, dan tarif
listrik untuk industri. Tentu juga iklan itu tidak menjelaskan mengapa harga-harga
sembako itu naik, misalnya apa kaitannya dengan harga pangan dunia, dan harga
pangan dalam negeri apa saja yang kini justru lebih murah dibandingkan harga
pangan yang sama di tingkat dunia.

Pak SBY akan menjelaskan semua?
Tidaklah. Para menteri telah menjelaskan secara rinci. Saya hanya ingin menjelaskan
satu hal yang paling mendasar, yaitu tidak utuhnya melihat suatu isu.

Apa maksudnya Pak?
Begini Bung. Benar beberapa harga sembako mengalami kenaikan tahun-tahun terakhir,
sebagaimana pula kenaikan harga-harga sembako di era Presiden Megawati
dibandingkan dengan era presiden-presiden sebelumnya. Tapi, mari kita lihat
apakah daya beli masyarakat, termasuk petani dan buruh, juga tidak meningkat?
Apakah gaji pegawai negeri, termasuk TNI dan Polri juga tidak terus naik?
Jawabannya, daya beli mereka, kemampuan mereka untuk membeli sembako, juga
terus meningkat.

Ada penjelasan yang lebih rinci Pak?
Beberapa saat yang lalu, dalam Sidang Kabinet Terbatas yang khusus membahas
langkah-langkah stabilisasi harga barang dan jasa, Menteri Perdagangan, Ibu Mari
Pangestu, menjelaskan bahwa secara keseluruhan antara tahun 2004 dan 2008
upah buruh kelompok bawah naik sekitar 78%, sementara harga sembako naik
68%. Jadi ada yang disebut welfare gain, atau peningkatan kesejahteraan sekitar
10%. Sementara itu, tahun 2004 rata-rata upah buruh per hari hanya cukup untuk
membeli beras sekitar 3 kg, pada tahun 2008 yang lalu mereka dapat membeli 4 kg
beras.

Angka ini valid ya, Pak?
Masak tidak benar. Silakan cek dan wawancarai sana Menteri Perdagangan
untuk lebih jelasnya. Saya ingin mengambil contoh gaji seorang tamtama TNI, atau
PNS yang paling rendah gajinya untuk membandingkan daya beli mereka di tahun
2004 dan awal tahun 2009 ini.

Ya, gimana Pak?
Saya minta Menteri Keuangan, Ibu Ani, untuk menyampaikan kepada saya berapa
gaji PNS terendah, guru SD terendah dan tamtama TNI pada tahun 2004 sebelum
saya menjadi Presiden, dan kemudian berapa gaji mereka tahun 2009 ini. Setelah
itu, sama dengan penghasilan buruh atau pekerja tadi, setiap harinya berapa kg
beras yang dapat dibeli. Anda tahu bagaimana angkanya?

Ya jelas belum dong Pak. Berapa kg beras yang dapat mereka beli?
Inilah angkanya. Untuk PNS golongan terendah yang sudah 10 tahun bekerja,
tahun 2004 gajinya Rp 674.000, pada tahun 2009 Rp 1.721.300. Tiap harinya
PNS yang bersangkutan tahun 2004 dapat membeli 6,5 kg beras, dan tahun 2009 ini
10,3 kg. Untuk tamtama TNI terendah, tahun 2004 gajinya Rp 1.106.600, dan tahun
2009 Rp 2.219.300. Tamtama dengan pangkat itu tahun 2004 tiap harinya dapat
membeli beras 7,9 kg, sedangkan sekarang 12 kg.

Bagaimana dengan guru SD Pak?
Ya, gaji guru SD terendah tahun 2004 gajinya hanya Rp 815.800, tahun 2009 ini
menjadi Rp 2.007.300. Dulu, tahun 2004 tiap harinya dapat membeli 10,7 kg beras,
sekarang 13,3 kg. Meningkat kan ...

Untuk petani Pak?
Data dari BPS menunjukkan Nilai Tukar Petani terus meningkat. Berarti daya
belinya meningkat. Lagi pula, kalau bicara harga-harga sembako, siapa yang menghasilkan
sembako itu. Pada prinsipnya petani kan?

Ya Pak?
Yang menghasilkan beras, telur, cabai, bawang, kentang dan lain-lain itu para
petani. Dengan harga yang pantas, tidak terlalu murah atau jatuh, para petani akan
senang. Penghasilan mereka makin layak. Kalau semua harga jatuh, atau rendah,
mau makan apa para petani yang kepanasan dan kehujanan itu? Hati-hati. Apa adil,
ketika daya beli rakyat meningkat, dan gaji guru dan PNS naik, lantas petani tidak
boleh menjual hasil-hasil pertaniannya sedikit lebih baik?

Jadi harga pangan harus pas ya Pak?
Benar. Contohnya beras, meskipun ada mekanisme pasar, Pemerintah tetap mengatur
harga patokan pembelian guna melindungi petani. Harga beras yang kita tuju
adalah harus memberikan penghasilan yang baik bagi petani, namun tetap terjangkau
oleh masyarakat lainnya. Sedangkan yang miskin kita bantu dengan pemberian
raskin, atau beras untuk rakyat miskin dengan harga yang murah. Itu
namanya adil. Dan saya belum bicara bantuan-bantuan lain yang diberikan oleh
Pemerintah kepada golongan masyarakat tidak mampu, dalam hal ini yang miskin
dan setengah miskin.

Bukan hanya BLT kan Pak?
BLT hanya salah satu. Tadi sudah saya jelaskan bahwa BLT itu sifatnya sementara,
kecuali bagi keluarga yang sangat miskin kita berikan BLT Bersyarat yang relatif
permanen. Ada banyak program penanggulangan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat yang dijalankan oleh Pemerintah yang saya pimpin dewasa
ini.

Tapi Pak, maaf, sebenarnya kemiskinan di negeri kita ini naik atau turun? Lawan-lawan
politik Pak SBY banyak yang mengatakan kemiskinan malah naik. Mana yang benar?

Jelas turun dong. Tahun lalu, dalam rangka HUT Kemerdekaan RI saya menyampaikan
pidato kenegaraan di depan DPR dan DPD. Angka kemiskinan tahun 2008
adalah angka yang terendah dalam 10 tahun terakhir. Jumlah yang miskin tahun
2008 adalah 34,96 juta orang, atau 15,42% dari jumlah penduduk Indonesia. Tahun
1998 yang miskin 49,5 juta, tapi ingat jumlah penduduk Indonesia waktu itu tentu
lebih kecil dibandingkan jumlah penduduk tahun 2008. Sedangkan dalam persentase
adalah 24,23%.

Angka itu benar ya Pak?
Yang kita gunakan angka BPS. Data BPS dirujuk dan digunakan oleh pemerintah
sejak Orde Baru.

Tapi ada juga yang menggunakan data dari Bank Dunia.
Boleh saja. Asal konsisten, jangan loncat-loncat. Bank Dunia juga menggunakan
dua ukuran. Kemiskinan ditinjau dari penghasilan yang kurang dari satu dolar
sehari, dan yang lain, penghasilan yang kurang dari dua dolar sehari. Kalau menggunakan
ukuran Bank Dunia pun kemiskinan kita tetap turun. Kecenderungan
penurunannya juga pada prinsipnya sama.

Katanya data atau statistik itu bisa disiasati. Apa benar Pak?
Dalam batas tertentu, data yang sama, tapi menggunakan grafik atau tabel yang
berbeda, sekilas bisa lain impresinya. Tergantung niatnya. Tapi untuk apa?
Mengapa harus bermain-main dengan fakta dan kebenaran? Kadang-kadang saya
juga heran dengan komentar dari sejumlah pihak menyangkut data BPS, padahal
rata-rata umumnya mereka berpengetahuan tinggi.

Apa maksudnya?
Begini. Ketika data BPS me-nunjukkan angka yang tidak baik, atau rapor pemerintah
merah, mereka-mereka langsung berkomentar Pemerintah gagal. Atau paling
tidak diam. Begitu BPS mengangkat data yang menggambarkan capaian yang positif,
atau biru rapornya, komentar mereka langsung minir. Dibilang BPS tidak objektiflah,
datanya salahlah, bahkan menuding BPS dapat pesanan dari Pemerintah.
Kan kasihan BPS. Padahal lembaga itu kredibel dan profesional.

Dan mereka memotret apa adanya ya Pak?
Ya. Mereka punya kode etik. Ketika Dr. Rusman diangkat menjadi Kepala BPS tiga
tahun yang lalu, saya berpesan agar BPS tetap profesional, objektif dan menyampaikan
data yang benar. Hal ini penting agar pemerintah tahu mana hal-hal yang
belum baik, dan mana yang sudah baik. Dengan demikian solusi, kebijakan dan
program pemerintah berikutnya menjadi tepat. Sebagai Presiden saya harus dapat
mengidentifikasi masalah secara tepat, dan kemudian dapat mengambil keputusan
secara tepat pula. Nah, dalam kaitan ini data BPS menjadi sangat penting.

Kembali kepada soal kemiskinan, dan juga pengangguran, nampaknya isu-isu itulah yang
digemari oleh oposisi dan lawan politik untuk mendiskreditkan pemerintah. Pak SBY tahu
kenapa?

Itu dua isu yang populis. Mereka tentu ingin membangun citra bahwa mereka
sungguh prorakyat. Berempati pada rakyat. Meskipun sesungguhnya mereka juga
tahu bahwa mengurangi kemiskinan tidak semudah membalik telapak tangan.
Demikian juga pengangguran.

Ya Pak, saya mengikuti media, termasuk televisi asing, terjadi gelombang PHK besarbesaran
di banyak negara karena krisis keuangan dan resesi ekonomi dunia sekarang
ini. Mengapa pengangguran rentan terhadap krisis?

Anda benar. Gelombang PHK terjadi di banyak negara, bahkan negara maju yang
ekonominya kuat. Amerika sudah lebih dari satu juta angka pengangguran barunya,
China lebih dari 15 juta. Perusahaan-perusahaan besar tingkat dunia juga melakukan
PHK dalam jumlah besar. Mengapa? Ya karena pasar lesu, barang dan
jasa yang diproduksi tidak laku. Perusahaan tekor, kemudian bangkrut, dan PHK
tidak dapat dielakkan. Bagi yang mengerti ilmu ekonomi, makroekonomi itu tidak
selalu stabil. Ada pula yang disebut business cycle. Yang namanya pertumbuhan,
inflasi, pengangguran, dan neraca pembayaran sebuah ekonomi nasional
angkanya bisa bergerak. Apalagi ketika krisis datang. Kemiskinan pun juga sangat
dipengaruhi oleh keadaan atau dinamika suatu makroekonomi.

Termasuk di Indonesia ya Pak?
Ya, termasuk di negeri kita. Meski- pun tahun 2008 lalu angka kemiskinan dan
pengangguran adalah yang terendah selama 10 tahun terakhir, tetapi selama 10
tahun itu sesungguhnya angkanya berfluktuasi, naik dan turun. Ketika harga
minyak dunia meroket di tahun 2005 dulu dan harga BBM terpaksa harus
dinaikkan, angka kemiskin- an ikut naik. Setelah kita jalankan berbagai program
penanggulangan kemiskinan, dengan anggaran yang besar, akhirnya angka
kemiskinan kita terus menurun.

Saya mendengar lawan-lawan politik Pak SBY akan terus mengangkat isu kemiskinan
dan pengangguran ini. Pemerintah juga dinilai gagal, atau janji Pak SBY tidak dapat
diwujudkan karena sasaran dalam RPJMN 2004–2009 tidak dapat dicapai. Apa komentar
Bapak?

Saya juga mendengar. Pertama, ingat, tugas Pemerintah yang saya pimpin ini
berlangsung sampai akhir 2009. Jadi memang belum selesai. Bagaimana mengatakan
sekarang Pemerintah gagal, wong tugas kami belum rampung. Lagi pula,
mengkur keberhasilan dan kegagalan Pemerintah apa hanya dari satu, dua faktor
saja. Kedua, di negara mana pun tidak ada rencana yang bisa dicapai 100%.
Pemerintahan sebelum saya pun juga demikian. Selalu ada yang dapat dicapai,
bahkan lebih dari sasaran yang ditetapkan, dan selalu juga ada yang di bawah
sasaran. Nah, dalam pemeintahan yang saya pimpin ini, sebagaimana yang telah
saya sampaikan sebelumnya, semuanya dapat dijelaskan. Dapat dipertanggungjawabkan.

Bicara soal penjelasan kepada publik, saya merasakan, bahkan masyarakat juga
merasakan, dalam hal ini Pemerintah kurang. Maaf Pak, menteri-menteri Pak SBY juga
kurang tampil untuk menjawab kritik pedas pengamat dan politisi. Apa Pak SBY tidak
merasakan hal itu? Sepertinya Bapak dibiarkan menghadapinya sendiri ...

Bukan begitu. Tidak ada niat yang tidak baik dari pembantu-pembantu saya. Soal
Pemerintah kurang gigih dan rajin dalam melakukan komunikasi publik barangkali
benar. Saya harus mengakui.

Mengapa Pak? Apa mereka takut?
Tidak juga. Ada yang berprinsip “sedikit bicara banyak kerja”.

Tapi, isu-isu itu akhirnya terus berjalan, dan dikesankan, Pemerintahlah yang tidak
benar.

Ya. Mungkin juga. Terus terang banyak di antara kita yang belum terbiasa dengan
komunikasi politik di era kebebasan dan keterbukaan.

Apa maksudnya?
Dalam era otoritarian dulu, jika ada yang menghantam Pemerintah, dengan caracara
yang sangat keras, apalagi Presiden, penyelesaiannya biasanya dengan
“tekanan”. Bisa psikologis, bisa politis. Itulah sebabnya di era Orde Baru banyak
sekali koran atau majalah yang dicabut izinnya. Dan, dalam dua rezim yang berbeda,
Orde Lama dan Orde Baru, banyak pula tokoh-tokoh politik yang dikenai sanksi
hukum tanpa melalui proses peradilan yang fair dan transparan. Cara-cara seperti
itu sudah kita tinggalkan. Sekarang, jika ada yang menyerang kebijakan dan tindakan
pemerintah apalagi secara berlebih- an dan tidak proporsional, para menteri
dan pejabat Pemerintah yang lain wajib untuk menjawab dan meresponsnya.
Begitulah praktik demokrasi. Dengan demi-kian, rakyat juga akan menilai mana
yang logis dan benar.

Tidak berarti kebebasan berpendapat dihalang-halangi, dan unjuk rasa dibatasi kan Pak?
Anda bisa menyaksikan sendiri mekarnya kebebasan di era reformasi dan
demokratisasi se-karang ini. Di depan Istana, dan di tempat-tempat lain, sering terjadi
unjuk rasa. Pelaku dan tema unjuk rasanya pun berbeda-beda. Tidak ada yang
dihalang-halangi. Saya juga termasuk yang menyimak apa isu atau masalah yang
diangkat oleh pengunjuk rasa tersebut, terutama apabila berkaitan dengan kebijakan
Pemerintah pusat.

Tapi, beberapa saat yang lalu Pak SBY memberikan komentar yang keras terhadap unjuk
rasa yang anarkis di Medan. Apa itu sudah kelewat batas?

Jelas. Itu bukan lagi unjuk rasa yang tertib, tetapi sudah destruktif. Kekerasan
seperti itu tidak dapat kita biarkan. Aturan harus ditegakkan.

Sepertinya polisi agak kecolongan ya Pak?
Melihat tayangan di televisi, saya menilai polisi setempat kurang cekatan, dan tidak
mampu mengatasi kegaduhan dan perilaku brutal dari para pengunjuk rasa. Itulah
sebabnya, segera setelah saya mengetahui ada kejadian itu, Kapolri saya telepon
untuk segera mengambil langkah yang tepat dan cepat. Menko Polhukam, Pak
Widodo, juga saya minta untuk mengelola perkembangan situasi agar tidak terjadi
lagi hal-hal yang tidak kita harapkan.

Jadi yang salah siapa? Polisinya underestimate, atau pengunjuk rasanya melakukan
aksi-aksi yang destruktif?

Bisa dua-duanya. Yang jelas tindakan destruktif tidak dibenarkan. Saya minta
hukum ditegakkan. Jangan lunak, dan jangan permisif. Perwira dan anggota Polri
yang lalai juga mesti diberikan sanksi.

Di Cikarang, beberapa saat yang lalu, di depan manajemen dan pekerja PT Sinar Sosro,
Pak SBY menekankan kembali pentingnya menjaga stabilitas, keamanan dan ketertiban
publik. Bisa dijelaskan?

Benar. Saya katakan bahwa “Demokrasi, Yes” tetapi “Anarki, No”. Kita bikin kebebasan
dan keterbukaan mekar. Hak asasi manusia mendapatkan penghormatan
yang tinggi. Suara rakyat juga makin didengar dan dihormati. Inilah nilai dan praktik
demokrasi yang makin hidup di negeri ini. Tapi, tidak berarti tidak ada aturannya.
Tidak ber- arti bisa seenaknya, merusak dan mengancam pihak lain. Negara
kita adalah negara hukum. Rules of law harus ditegakkan.

Menurut Pak SBY, selama empat tahun terakhir ini apakah stabilitas, keamanan dan
ketertiban publik ini terpelihara?

Alhamdulillah, pada prinsipnya ya. Negara kita relatif stabil. Demikian juga keamanan
dan ketertiban masyarakat. Bandingkan dengan tahun-tahun setelah krisis
dulu. Justru, seperti yang disampaikan oleh saudara Joseph Sosro Joyo, Pimpinan
PT Sinar Sosro waktu itu, bahwa bisnis atau usahanya tahun 2008 yang lalu memiliki
angka penjualan sebesar Rp 1,8 triliun, karena baiknya faktor stabilitas, keamanan
dan ketertiban publik dewasa ini. Suara seperti ini pulalah yang sering disampaikan
oleh kalangan dunia usaha kepada saya. Oleh karena itu, mari kita jaga
bersama suasana yang sudah kondusif bagi kegiatan usaha, dan berbagai kegiatan
pembangunan di Tanah Air kita. Bung Ramadhan, kita break dulu ya.

Baik Pak.

----------------------------------------------------------------------------------
“SBY adalah pembaca buku yang kuat. Di sela-sela kesibukannya memimpin 230
juta rakyat, SBY melahap buku-buku politik, ekonomi, pemikiran dan kebudayaan.
Dalam sepekan, suami Ny. Ani Bambang Yudhoyono biasa mena- matkan
2-3 buku setiap akhir pekan, baik terbitan dalam negeri maupun luar negeri.
Bacaan yang luas membuat SBY kaya pengetahuan dan ‘gaul’ dengan pemikiran
global.”

----------------------------------------------------------------------------------


Pak, masih bicara soal unjuk rasa, kalau tidak salah Polri sedang memproses kasus
unjuk rasa yang destruktif, atau katakanlah aksi kekerasan dan kerusuhan yang terjadi
beberapa bulan yang lalu. Termasuk di dalamnya pemeriksaan terhadap Rizal Ramli.
Segera setelah itu muncul tuduhan Pemerintah kembali represif. Pak SBY dianggap pula
akan kembali ke Era Orde Baru. Apa komentar Pak SBY?

Polri menjalankan tugasnya sesuai amanah undang-undang. Demikian pula penegak
hukum yang lain. Saya, sebagai Presiden tidak boleh dan tidak dapat mencampurinya.
Ingat, hukum bukan di tangan politisi, termasuk anggota DPR, tetapi berada
di tangan penegak hukum. Bahkan untuk kasus Pak Rizal Ramli, saya telah
mengingatkan berkali-kali, baik kepada Kapolri yang lama Pak Sutanto, maupun
yang sekarang, Pak Bambang Hendarso.

Apa yang Pak SBY ingatkan?
Pastikan bahwa ada ketentuan hukum yang dilanggar. Kalau tidak, nanti dikira
karena politik. Dikira atas perintah Presiden. Bahkan dalam sebuah Sidang Kabinet
pernah saya sampaikan bahwa mengarsiteki unjuk rasa, dan juga mendanai unjuk
rasa itu bukan kejahat- an. Itu masih termasuk hak politik seseorang. Yang tidak
boleh, dan merupakan pelanggaran hukum, adalah apabila seseorang mengarsiteki,
menggerakkan, mendanai dan melaksanakan kekerasan, tindakan destruktif,
dan kerusuhan. Jadi bukan lagi unjuk rasa yang damai dan tertib, atau peaceful
demonstration.


Tapi toh tetap saja Polri, Pemerintah dan Pak SBY sendiri dianggap represif, dan menghalang-
halangi orang menyampaikan pendapat.

Bung, selama hampir lima tahun saya memimpin pemerintahan ini, saya kira ribuan
unjuk rasa telah terjadi di Tanah Air kita. Hampir semua tidak diapa-apakan. Kita
hormati hak politik warga negara kita. Kecuali, satu-dua kejadian yang dianggap
melawan hukum, dan kemudian hukum ditegakkan.

Jadi proses hukum mesti dijalankan?
Jelas dong. Itu kewajiban negara. Dan, sebenarnya tidak perlu diributkan. Kalau
salah diberikan sanksi, kalau tidak salah bebas. Dengan proses pengadilan yang
transparan dan fair, rakyat juga akan bisa mengetahui siapa yang benar, dan siapa
yang salah. Marilah kita berikan kesempatan bagi penegak hukum untuk menjalankan
kewajibannya. Jangan diintervensi. Lagi pula, Bung, saya ini sering
dituduh macam-macam. Juga urusan keamanan, termasuk keamanan dan ketertiban
publik.

Apa itu Pak?
Kalau saya mempersilakan para penegak hukum untuk menjalankan kewajibannya,
seperti proses hukum bagi para pelaku unjuk rasa yang destruktif dan anarkis
tadi, saya dianggap represif. Tetapi, sebaliknya, ketika saya menempuh solusi nonmiliter
bagi penyelesaian Aceh sepanjang NKRI masih tegak dan Merah Putih
masih berkibar di Aceh, ... saya dianggap lemah dan tidak tegas.

Begitu ya Pak?
Iya. Begitulah. Oleh karena itu, pernah suatu ketika saya bicara, ya kalau tidak
setuju pilih saja pemimpin yang lain dalam Pemilu 2009 nanti. Bagi yang berpendapat
bagaimanapun unjuk rasa harus dibiarkan, meskipun anarkis dan merusak, termasuk
korban jiwa dan material telah terjadi, ya pilih saja presiden yang membiarkan saja
hal itu terjadi. Barangkali presiden semacam itu ingin dikesankan
sebagai orang yang paling demokratis, dan paling men-junjung tinggi hak asasi
manusia. Sementara, bagi yang tidak se-tuju saya lebih menggunakan pendekatan
nonmiliter dalam penyelesaian masalah seperti Aceh, dan sebaliknya lebih setuju
jika setiap masalah keamanan mesti ditumpas secara militer, ya pilih saja presiden
yang berkarakter seperti itu. Barangkali pemimpin tipe begitu ingin dikesankan
sebagai pemimpin yang kuat dan tegas. Tapi, kalau saya, ya itulah prinsip dan
keyakinan saya. Itulah karakter saya.

Ya Pak, ngomong-ngomong penyelesaian masalah Aceh, dulu saya tahu sangat tidak
mudah. Penolakan atas kebijakan Peme- rintah cukup tinggi, meskipun dukungan juga
tidak kecil. Mengapa?

Banyak faktornya. Ada yang punya mindset, atau pikiran dasar, tidak ada itu
negosiasi dengan pemberontak. Yang namanya melawan pemerintah yang sah, ya
harus ditumpas. Menumpasnya pun secara militer. Inilah sikap kelompok garis
keras. Ada lagi yang khawatir justru dengan negosiasi, atau cara apapun yang
bersifat politis, khawatir Aceh bakal lepas. Apalagi negosiasi antara GAM dan
Pemerintah difasilitasi oleh pihak internasional. Banyak yang khawatir apa yang
terjadi dengan Timor Timur, akan terjadi pula pada Aceh. Ini urusan kedaulatan.
Urusan NKRI. Ada juga, melihat ketidakpatuhan GAM di masa lampau atas berbagai
perjanjian, banyak pihak yang meragukan bahwa resolusi konflik secara damai ini
akan berhasil dan dapat bertahan lama.

Kalau begitu cukup banyak argumentasi bagi mereka yang tidak setuju dengan penyelesaian
secara damai itu

Benar. Cukup banyak.

Tapi Pak SBY sendiri sebagai Presiden nampak kokoh dalam pendirian, dan tanpa raguragu
menempuh cara penyelesaian itu. Apa tidak terlalu besar risikonya?

Risikonya memang besar. Tetapi, sebagai pemimpin saya harus mengambil sikap.
Saya tidak boleh ngambang, tidak tegas, dan kemudian kalau ada apa-apa tidak
bertanggungjawab. Tidak ada proses penyelesaian suatu isu keamanan yang besar
seperti Aceh ini yang “top leader”, berarti di negeri kita, Presiden tidak mengambil
tanggung jawab penuh, dan bah- kan tidak memimpin sendiri keseluruhan proses
itu.

Nampaknya Pak SBY memetik pelajaran dari proses-proses sebelumnya, termasuk
penyelesaian COHA dulu?

Ya. Benar sekali. Kekurangan kita dan kesalahan kita dalam upaya penyelesaian
Aceh sejak tahun 1999 kita jadikan pelajaran, dan kita perbaiki.

Pak, apa kunci keberhasilan dari penyelesaian Aceh, dan siapa saja yang paling berperan
dan berjasa?

Ada beberapa. Saya menyebut ada lima faktor penting. Pertama, negosiasi yang
efektif dan berhasil. Timnya Pak Hamid Awaluddin sangat berjasa. Peran Wapres,
Pak Jusuf Kalla sangat besar dalam negosiasi ini. Presiden Marti Ahtisari juga
amat berperan. Tetapi selaku Presiden saya tetap engage dan tidak melepas begitu
saja. Pada rumusan yang sangat penting, atau sensitif, di samping Wapres, saya
terjun langsung. Keputusan akhir ada di tangan saya, terutama jika berkaitan dengan
UUD, bangun negara kesatuan, atau NKRI, dan UU yang lain. Saya ingin
memastikan bahwa perjanjian Helsinki itu tidak mengancam Konstitusi, NKRI, dan
kedaulatan kita. Faktor kedua adalah, peran dan dukungan militer. Seperti proses-proses
yang lalu, jika TNI tidak sepenuhnya mendukung, tidak akan berhasil upaya
kita. Sejak awal saya menginstruksikan TNI untuk mendukung solusi damai ini.
Peran Jenderal TNI Endriartono Sutarto sangat besar, demikian pula jajaran TNI,
dan juga Polri. Sudah berapa faktor saya bicara?

Dua Pak. Sekarang faktor ketiga?
Ya. Ketiga, dukungan politik nasional. Saya bersama Wapres maraton berkomunikasi
dan berkonsultasi dengan berbagai pihak, antara lain MPR, DPR, DPD, pimpinan–
pimpinan parpol, purnawirawan TNI dan Polri. Dukungan politik ini sangat
penting. Oleh karena itu saya harus juga “turun gunung”..

Tidak mudah kan Pak?
Benar. Alot sekali. Tapi itulah demokrasi. Saya harus menjalankannya dengan
sepenuh hati. Nah, faktor keempat adalah dukungan dari masyarakat Aceh sendiri.
Di sini, saya berkesimpulan bahwa mayoritas masyarakat Aceh sungguh ingin
penyelesaian secara damai. Faktor kelima, atau yang terakhir, adalah leadership
atau kepemimpinan pada tingkat puncak. Jika saya tidak mengambil tanggung
jawab penuh, karena barangkali saya takut dengan risiko, atau takut gagal, maka
landasan dan payung politiknya menjadi tidak ada. Bayangkan, jika TNI dan Polri
tidak mendukung, maka negosiasi yang gemilang yang banyak diarahkan oleh Pak
JK juga tidak dapat dijalankan. Dan banyak hal mendasar lagi yang memerlukan
komitmen dan pelibatan pemimpin puncak.

Tapi Pak, terus terang, sekarang pun masih banyak yang mengkhawatirkan Aceh bisa
lepas dari NKRI. Komentar Bapak?

Saya juga mendengar. Kekhawatir- an itu wajar, karena memang proses reintegrasi
pasca konflik belum selesai. Trust building juga belum rampung. Masih ada
saling curiga.

Pak SBY yakin GAM tidak ingkar janji. Bagaimana kalau GAM tiba-tiba menyatakan
merdeka kembali?

Saya punya keyakinan, bahwa eks-GAM akan mematuhi perjanjian yang ada.
Perjanjian itu memiliki makna yang suci. Menodai perjanjian, sama dengan
mempermainkan Allah. Kalau betul-betul terjadi skenario buruk seperti itu, sebagai
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tentu saya akan menjalankan amanah
konstitusi, menegakkan kembali kedaulatan dan keutuhan NKRI. Itu pasti. Jangan
diragukan.

Tapi, kita tetap harus waspada kan Pak ?
Benar. Harus. Tidak boleh lengah. Dan saya akan sangat tegas jika ada yang
mengganggu kedaulatan dan keutuhan wilayah.

Pak SBY kita kembali ke topik sebelum Aceh. Kembali ke isu-isu penting dalam kampanye
pemilu sekarang ini ...

Ya. Silakan.

Saya amati, nampaknya isu kesejahteraan akan terus digulirkan. Oleh lawan politik Pak
SBY, Pemerintah tetap dianggap belum mampu menyejahterakan rakyat. Bahkan tema
ini yang juga diangkat oleh salah satu capres, Pak Sultan Hamengku Buwono X.
Tanggapan Pak SBY?

Saya agak menahan diri untuk menanggapi Pak Sultan. Bukan tidak berani. Tapi,
ini menyangkut etika. Pak Sultan masih Gubernur DIY, dan saya masih Presiden RI.
Risih rasanya saya mengeluarkan kata-kata yang tidak baik kepada Pak Sultan,
yang saat ini menjadi salah satu pejabat pemerintahan, yang kepala pemerintahannya
saya. Lagi pula, Bung, sekarang ini sebenarnya belum ada yang berstatus
capres. Seseorang di?sebut capres, apabila nanti dalam pemilu presiden dan wakil
presiden telah diusulkan oleh sebuah parpol, atau gabungan parpol yang
memenuhi syarat, dan kemudian KPU menetapkannya sebagai capres. Jadi masih
jauh kan?

Apa poin yang akan Pak SBY angkat?
Ada. Begini. Jika Pak Sultan telah menjadi capres, dan Insya Allah saya juga
berstatus sama untuk periode 2009–2014, saya akan menanggapi secara tajam apa
yang dikatakan Pak Sultan selama ini.

Yang mana Pak?
Ya, misalnya, tentang Pemerintah belum bisa menyejahterakan rakyatnya. Berarti,
tentunya, termasuk rakyat yang ada di DIY, yang menjadi tanggung jawab Pak
Sultan untuk menyejahterakannya. Tapi, nanti sajalah. Amunisi saya cukup banyak
untuk merespons semuanya itu. Bukan hanya kepada Pak Sultan, tetapi juga kepada
yang saat ini menamakan dirinya sebagai capres.

Ada yang mengkritik Pak SBY, kurang berani menendang bola. Terlalu menahan diri,
padahal Bapak punya munisi untuk menyerang lawan. Mengapa Pak?

Ya. Mungkin benar. Pilihan saya, dalam keadaan politik dewasa ini, jika tidak keterlaluan
dan terpaksa, saya lebih baik menganut strategi “defensif aktif”.

Sama dengan strategi “self defence”?
Tidak sama persis. Tetapi, tetapi ... kalau seseorang itu mudah menyalahkan,
mudah menyerang, bersuara besar, takutnya justru malah menelanjangi diri
sendiri. Lebih sakit lagi kalau ada yang berkomentar “tong kosong nyaring bunyinya”.

Iya. Tapi, sekali-sekali menendang bola lah ...
Boleh. Saya dengar, Bung. Cak Nun, Emha Ainun Najib, sahabat saya, menasihati
saya hal yang sama.

Rupanya Pak SBY kenal Cak Nun?
Tentu. Yang saya suka dengan beliau, selama ini memberikan pandangan
bagaimana mengatasi masalah Lumpur Sidoarjo dari dimensi sosial dan kemanusiaan.
Beliau ikut memperjuangkan kepentingan rakyat yang mengalami kesulitan
dengan cara-cara yang tepat. Bukan dengan cara yang provokatif dan agitatif.
Sehingga, banyak solusi yang kita dapatkan.

Pak SBY sendiri sangat siap untuk menanggapi serangan politik yang menganggap
Pemerintah gagal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?

Siap. Sangat siap.

Apa misalnya?
Wah. Bisa panjang sekali. Lebih baik nanti ada wawancara khusus untuk ini.

Garis besarnya saja Pak.
(Berpikir sejenak.) Begini sajalah. Silakan diukur satu-persatu, unsur-unsur kesejahteraan
rakyat, apakah lima tahun terakhir ini lebih baik atau lebih buruk.
Memang, kalau kita ditanya, sudah sejahtera belum rakyat kita? Jawabannya,
barangkali belum. Belum sepenuhnya. Tapi ada perbaikan tidak? Inilah inti permasalahannya.

Jadi, apa saja unsur-unsur yang penting dari kesejahteraan rakyat?
Kembali kepada apa yang dibu- tuhkan, dirasakan, dan diharapkan oleh rakyat. Hal
ini mencakup pangan, sandang, papan, pen- didikan, kesehatan, lingkungan, rasa
aman, kerukunan, dan hal-hal lain yang mencerminkan good society atau
masyarakat yang baik. Ukur saja, misalnya, apakah pendidikan dan kesehatan
masyarakat makin baik atau tidak. Ukur juga apakah masyarakat merasa lebih
nyaman dan aman dari berbagai kejahatan dan kerusuhan seperti tahun-tahun setelah
krisis dulu. Ukur juga apakah rakyat merasa hukum dan keadilan lebih ditegakkan
sekarang, termasuk pemberantasan korupsi. Demikian pula kebutuhan akan pangan,
sandang dan lain-lain.

Baiklah Pak, kalau Pak SBY belum ingin berbicara lebih luas tentang isu kesejahteraan,
dan isu lain yang dijadikan munisi oleh lawan-lawan politik Bapak. Sekarang saya akan
menanyakan soal ejekan politik.

Apa?

Ejekan politik Pak. Maksud saya, pemerintahan yang Pak SBY pimpin sering diejek. Bu
Mega pernah mengatakan pemerintah sekarang ini seperti “poco-poco”. Kemudian,
belum lama ini pemerintah dikatakan seperti main “yo-yo”. Ada juga ejekan kepada Pak
SBY sendiri yang dikatakan janjinya setinggi langit, tapi yang dicapai serendah bukit. Apa
hati Bapak tidak panas?

Ha, ha, ha ... (Ketawa agak besar.)

Kenapa Pak SBY ketawa?
Kreatif benar beliau. Alangkah bagusnya kalau kreativitas semacam itu diwujudkan
untuk mengatasi masalah ketika beliau memimpin pemerintahan dulu. Begini Bung,
mosok waktu, pikiran dan kerja saya habis untuk ikut-ikutan kreatif dalam soal
ejek-mengejek. Yang menggelikan, akhirnya, komentar yang muncul setelah ejekan
itu dilontarkan juga menjadi menarik.

Komentar yang mana?
Ada yang mengatakan, lebih baik “poco-poco”, atau maju selangkah, mundur
selangkah, daripada “undur-undur”, atau tidak pernah maju, malah mundur terus.
Tidak berbuat apa-apa. Ada juga yang mengatakan, kalau soal “yo-yo”, iya,
memang ada yang naik, misalnya GDP, income per capita, anggaran pendidikan,
cadangan devisa, swasembada dan produksi beras. Dan, kemudian, memang ada
yang turun, seperti kemiskinan, pengangguran, utang luar negeri, BBM, tarif angkutan.
Politik kita jadi begini ya Bung Ramadhan ...

Iya Pak. Lucu juga ya. Tapi soal janji setinggi langit, kalau tidak salah Pak SBY sudah
menjelaskan tadi ya Pak?

Sudah. Sudah cukup. Tapi, ingat dan hati-hati, karena rakyat telah mencatat dan
ingat terus semua ejekan, kritik pedas, dan kecaman-kecaman kepada saya itu,
apalagi kalau pemerintah dinilai gagal. Setiap beliau-beliau itu mengecam dan
menyatakan Pemerintah gagal, beliau-beliau itu sebenarnya sudah berjanji. Berjanji
bahwa jika kelak terpilih menjadi Presiden untuk periode 2009–2014, semua yang
dikecam itu akan hilang semua. Seluruh sendi kehidupan rakyat akan baik dan
sejahtera.

Berbahaya ya Pak?
Benar. Kalau saya akan sangat berhati-hati, karena menyelesaikan masalah bangsa
ini tidak semudah sebagaimana yang dijanjikan oleh lawan-lawan politik saya itu.
Jangan sampai rakyat kelak mendapatkan “pepesan kosong”.

Pak SBY, mungkin ada yang agak serius?
Apa itu?

Dalam berbagai wawancara Bu Mega menuduh Pak SBY semacam menusuk dari
belakang, atau meninggalkan jabatannya sebagai Menko Polkam begitu saja. Pak Taufik
Kiemas, juga mengatakan tidak pernah menyesal dianggap mendzolimi Pak SBY di awal
tahun 2004 dulu. Apa komentar Pak SBY ?

Saya mengikuti semuanya itu. Saya merasa itu sudah termasuk pembunuhan
karakter, atau character assasination kepada saya. Saya tanggapi dulu tentang ucapan
Pak Taufik Kiemas. Istilah saya didzolimi itu sama sekali bukan dari saya. Dan
catat, saya tidak pernah mengatakan saya didzolimi oleh Pak Taufik Kiemas. Tidak
perlu mengada-ada. Yang mengatakan orang lain, termasuk pers.

Soal ucapan Bu Mega?
Semuanya terang-benderang. Proses saya mundur dari kabinet jelas. Ada urutannya.
Semua terdokumentasi. Surat-surat permohonan saya kepada Bu Mega sebagai
Presiden waktu itu juga masih ada. Soal, katanya saya tidak pernah menyatakan
keinginan sebagai capres 2004, tapi tiba-tiba mencalonkan diri sebagai
capres juga tidak ada yang terahasiakan. Semua tertulis di situ. Kapan saya menyatakan
itu. Mustahil Bu Mega tidak tahu. Soal, saya dianggap menusuk dari
belakang, ingat ... saya menjadi Presiden karena mengikuti proses pemilu, mulai
dari pemilu legislatif sampai pemilihan presiden. Saya berjuang dari bawah. Dan
sangat mungkin saya kalah. Bandingkan Bung, dengan riwayat Bu Mega menggantikan
Gus Dur sebagai Presiden.

Pak SBY suatu saat siap menjelaskan dan berhadapan dengan Bu Mega di depan publik.
Termasuk apa yang terjadi dengan jatuhnya Gus Dur, dan naiknya Bu Mega di medio
2001 dulu?

Siap. Sangat siap. Ini menyangkut kehormatan dan harga diri saya. Rakyat perlu
tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi timing-nya harus tepat. Saya tidak ingin
politik di negeri kita ini gaduh terus. Oleh karena itu, apa yang muncul di berbagai
wawancara televisi tentang ucapan-ucapan Bu Mega itu, saya masih berusaha
menahan diri. Saya masih menghormati beliau.

Tapi rakyat perlu tahu Pak?
Benar. Tapi, sekali lagi, timing-nya harus tepat. Anda sendiri belum tahu kan di
mana posisi, dan seperti apa sikap dan tindakan kami semua yang ada di kabinet
ketika terjadi krisis politik zaman Gus Dur. Upaya apa saja yang kami lakukan
untuk menyelamatkan pemerintahan Gus Dur? Di mana posisi masing-masing
waktu itu?

Belum Pak
Itulah sebabnya saya harus berhati-hati mengeluarkan statement. Para pemimpin
jangan terlalu mudah menceritakan versinya masing-masing tentang misalnya krisis
1998, ataupun krisis 2001. Apalagi kalau menulis buku sendiri-sendiri.

Memang diperlukan kearifan yang tinggi dari setiap pemimpin dan tokoh-tokoh kita ...
Betul. Rasanya saya juga tidak enak harus berbicara, atau menanggapi hal-hal
seperti ini. Saya malu kepada rakyat. Tetapi, kadang-kadang saya terpaksa harus
menanggapi, karena tudingan kepada saya itu diucapkan berulang-ulang.

Mengerti Pak. Memang pendidikan politik itu tidak sekali jadi. Pak, sebenarnya saya
ingin meng- ajukan topik lain yaitu berkenaan dengan visi dan misi Pak SBY jika terpilih
lagi menjadi Presiden untuk lima tahun berikutnya. Tapi, karena barangkali sudah terlalu
lama wawancara ini, Pak SBY mau menjawab sekarang atau wawancara lain kali?

Lain kali sajalah. Sudah cukup banyak saya berbicara. Dan ini barangkali wawancara
saya yang terpanjang selama ini. Hampir tiga jam ya?

Betul Pak. Tapi Pak SBY tentunya punya visi dan misi yang membawa optimisme, tetapi
realistis kan?

Jelas punya dong. Tetapi, barangkali, tidak muluk-muluk seperti janji capres-capres
lain yang saya dengar mulai dikampanyekan itu. Karena lima tahun ini saya
memimpin negara dan menjalankan roda pemerintahan, tentu saya amat memahami
ragam masalah dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa kita. Mulai dari yang
bersifat taktis, sampai ke yang bersifat strategis. Mulai dari yang sederhana, sampai
ke yang kompleks. Dan mulai dari yang bersifat jangka pendek, sampai ke yang
bersifat jangka panjang. Termasuk mana yang berkonteks lokal dan nasional, dan
mana yang berkonteks global.

Baik Pak. Saya tunggu saatnya nanti. Kalau begitu, Pak SBY, saya akan mengajukan
pertanyaan terakhir dalam wawancara ini. Mudah-mudahan Bapak mau menjawabnya ...

Apa itu?

Pak SBY siap menang, tetapi juga siap kalah kan?
(Tersenyum.) Jelas siap.

Kalau siap, apa yang akan Pak SBY lakukan jika kalah?
Maksud Anda statement atau semacam acceptance speech yang harus saya sampaikan?
Atau tindakan saya jika saya kalah? Kan saya sudah menyampaikan apa
dulu pernyataan dan tindakan saya ketika saya kalah dalam pemilihan wapres
tahun 2001 yang lalu. Seperti itulah kira-kira yang akan saya lakukan jika saya
kalah dalam Pemilu ini.

Bukan hanya itu Pak. Apa yang akan Pak SBY kerjakan setelah tidak jadi Presiden?
Oo ... (Berpikir sejenak.) Barangkali saya akan menulis buku, mungkin lebih dari
satu, untuk saya sumbangkan kepada rakyat dan generasi mendatang. Mungkin
juga tepat bagi saya untuk berbagi pengalaman dan pikiran begaimana agar
kehidupan bangsa kita makin maju di masa depan. Saya juga bisa urun rembuk
dalam menghadapi dan mengatasi isu-isu global yang menjadi tanggung jawab
manusia dan bangsa-bangsa sedunia.

Pak SBY akan juga kritis terhadap presiden-presiden pengganti Bapak nanti?
Saya tidak suka berjanji. Tapi, lihatlah saja nanti. Presiden itu tugasnya berat, mengapa
harus kita ganggu. Tapi nanti sajalah. Sejarahlah yang akan mencatat dan
mengabadikan apa yang dilakukan oleh setiap orang.

Itu tadi pertanyaan kalau Pak SBY kalah dalam Pemilu 2009 ini. Bagaimana kalau Pak
SBY menang dan terpilih lagi sebagai Presiden untuk masa bakti 2009-2014?

Pertama-tama tentu saya mesti bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kedua, saya berterima kasih kepada rakyat yang telah memberikan mandat kepada
saya. Setelah itu saya harus segera melanjutkan tugas memajukan kehidupan
bangsa, dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Untuk semua ya Pak, termasuk mereka-mereka yang tidak memilih Pak SBY?
Bung, selama ini saya menyayangi mereka semua, termasuk yang tidak memilih
saya pada pilpres tahun 2004 yang lalu. Bagi saya itu merupakan nilai moral dan
etika yang harus saya junjung tinggi.

Pak SBY, Bapak telah amat generous hari ini. Lebih dari tiga jam Pak SBY menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya dengan sabar. Terima kasih Pak. Semoga Pak SBY selalu
sukses dalam memimpin negeri tercinta ini.

Terima kasih Bung. Terima kasih pula doanya. 􀂄

Monday, January 12, 2009

6 Mithos tentang Kreativitas

Teresa Amabile telah melakukan studi tentang kreativitas hampir selama 30 tahun, melalui kerjasamanya dengan para mahasiswa kandidat Ph.D, manajer berbagai jenis perusahaan dan mengumpulkan 12 000 jurnal harian dan serta berbagai aktivitas lainnya yang terkait dengan proyek kreativitas. Berdasarkan hasil telaahannya dia mengungkapkan 6 mithos tentang kreativitas yang terjadi selama ini. Keenam mithos tersebut adalah.

1. Creativity Comes From Creative Types

Ada anggapan bahwa kreativitas seolah-seolah hanya berasal dan milik kalangan atau golongan tertentu, misalnya kelompok orang-orang yang bergerak dalam bidang R & D, marketing atau advertising, yang didukung dengan bakat, pengalaman, serta kecerdasan yang luar biasa. Namun studi yang dilakukan menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan normal pun sesungguhnya dapat memiliki kemampuan untuk bekerja secara kreatif, hanya mereka kadang-kadang tidak menyadari potensi kreatifnya, karena mereka bekerja atau berada pada lingkungan yang mengahalangi tumbuhnya motivasi intrinsik. Motivasi instrinsik inilah justru merupakan faktor yang dianggap dapat menyalakan seseorang untuk bekerja secara kreatif.

2. Money Is a Creativity Motivator

Banyak orang beranggapan bahwa uang dianggap sebagai pemicu dan pendorong kreativitas. Studi eksperimental yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ternyata uang bukanlah apa-apa. Ketika ditanyakan kepada sejumlah orang: “Termotivasi oleh penghargaan (baca: bonus) apa hari ini Anda bekerja?. Mereka menjawab “ Itu pertanyaan yang tidak relevan”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bekerja mereka tidak hanya berfikir tentang berapa upah yang harus diterima per harinya.

Tentunya setiap orang membutuhkan kompensasi yang adil atas kinerjanya, tetapi ternyata banyak orang cenderung meletakkan nilai–nilai (value) yang lebih jauh, dan tidak hanya sekedar uang. Orang menjadi sangat kreatif tatkala lingkungan kerja memberikan ruang yang terbuka bagi dirinya untuk berkreasi dan memperoleh perluasan keterampilan untuk kemajuan nyata dalam bekerjanya. Hal yang penting agar orang menjadi kreatif adalah berusaha menempatkan mereka tidak hanya berdasarkan pengalaman kerja semata tetapi juga harus memperhatikan minatnya (interest), sehingga mereka akan lebih peduli terhadap apa yang dikerjakannya.

3. Time Pressure Fuels Creativity

Banyak orang berfikiran bahwa orang menjadi kreatif ketika dia bekerja di bawah tekanan deadline. Namun hasil studi menunjukkan kebalikannnya. Orang menjadi miskin kreativitas ketika harus bertempur dengan waktu. Tekanan waktu yang hebat dapat mencekik kreativitas sehingga dalam bekerja mereka tidak mampu lagi untuk berusaha mendalami masalah-masalah yang ada.

Kreativitas mensyaratkan adanya masa inkubasi, orang membutuhkan waktu untuk mendalami suatu masalah dan membiarkan untuk menggelembungkan segala pemikirannya.

Bekerja dengan deadline akan menimbulkan banyak masalah sehingga banyak menyita waktu mereka untuk melakukan terobosan-terobosan pemikiran kreatifnya. Agar orang menjadi kreatif harus terlindungi dari berbagai gangguan atau masalah, sehingga dia dapat lebih fokus dalam bekerjanya.

4. Fear Forces Breakthroughs

Seringkali orang beranggapan bahwa ketakutan, kecemasan dan kesedihan akan menjadi kekekuatan seseorang untuk menjadi kreatif, sebagaimana banyak dibicarakan dalam beberapa literatur psikologi. Tetapi hasil studi tidak melihat ke arah itu. Kreativitas muncul justru pada saat orang merasa senang dan bahagia dalam bekerja. Terdapat korelasi antara kebahagiaan seseorang dalam bekerja dengan tingkat kreativitasnya. Bahkan, kebahagaian seseorang pada suatu hari seringkali menjadi ramalan kreativitasnya pada hari berikutnya

5. Competition Beats Collaboration

Ada semacam keyakinan, khususnya di kalangan dunia industri high –tech dan keuangan bahwa kompetisi internal dapat membantu terciptanya inovasi. Namun hasil survey menunjukkan bahwa kreativitas justru muncul pada saat orang bekerja secara kolaboratif. Melaui team work orang dapat menunjukkan rasa percaya dirinya, saling berbagi dan memperdebatkan berbagai pemikirannya. Namun ketika orang harus dikompetisikan malah mereka menjadi enggan dan menghentikan untuk saling berbagi informasi dan pengalamannya.

6. A Streamlined Organization Is a Creative Organization

Banyak orang beranggapan bahwa organisasi yang ramping adalah organisasi yang kreatif. Memang benar, bahwa ukuran organisasi yang besar seringkali mengalami kesulitan untuk mengendalikan karyawan. Tetapi jika, tabah dan bersabar menghadapinya justru akan menghasilkan kekuatan, kreativitas dan kolaborasi. Yang terpenting disini adalah bagaimana setiap orang dapat diberikan kesempatan untuk bekerja secara otonom dan mencintai pekerjaannya, memiliki komitmen, terjalin komunikasi dan kolaborasi, sehingga pada suatu saat kreativitas akan muncul dengan sendirinya.

Sumber:

adaptasi dan disarikan dari “The 6 Myths Of Creativity” karya Bill Breen (2004)

http://www.fastcompany.com/magazine/89/creativity.html


Beberapa Refleksi untuk Anda:

  1. Apakah Anda termasuk orang yang termakan oleh keenam mithos tersebut?
  2. Sertifikasi guru yang disertai kenaikan penghasilan, akankah menjadi pemicu terciptanya kreativitas mereka
  3. Dengan jumlah guru di Indonesia yang relatif banyak, apakah mungkin untuk terciptanya kreativitas?
  4. Jika Anda hanya berkecerdasan dengan kategori normal, mungkinkah Anda menjadi seorang yang kreatif dalam bekerja?

Image Perubahan Pendidikan (The Images of Educational Change)

Buku Altrichter, Herbert dan Elliott, John (2000), Ed., The Images of Educational Change, Open University Press, Buckingham merupakan kumpulan tulisan. Setelah dibuka dengan Pengantar oleh Herbert Altrichter, penyajian tulisan dibagi menjadi empat bagian dan diakhiri dengan overview yang berjudul Menuju Visi Sinoptik Perubahan Pendidikan di Negera Maju ditulis oleh John Elliot. Masing-masing bagian terdiri atas tiga tulisan, kecuali bagian keempat yang berisi empat tulisan. Judul-judul keempat bagian tersebut adalah (I) Perubahan Pendidikan dan Penyusunan Kebijakan, (II) Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan Pendidikan, (III) Konseptualisasi Proses Perubahan Sekolah dan (IV) Menyiapkan Guru untuk Terlibat dalam Perubahan Pendidikan.

Adapun judul-judul dan penulis dari ketiga belas tulisan tersebut adalah: (1) Perubahan Ekonomi, Penyusunan Kebijakan Pendidikan dan Peranan Negara, Ernest R. House; (2) Bagaimana Pendidikan Tidak Ditangani Lembaga Mana pun, Barry MacDonald; (3) Mengembangkan Keadaan Muram: Perkembangan Personal dan Sosial Siswa dan Proses Sekolah, John Schostak; (4) Komunitas, Perubahan Sekolah dan Networking Strategis, Peter Posch; (5) Individu dan Perubahan Sosial: Perubahan Pola Komunitas dan Tantangan Sekolah, Marie Brennan dan Susan Noffke; (6) Perubahan Sosial, Bahan Ajar dan Guru, J. Myron Atkin; (7) Perubahan Kultur Sekolah, Christine Finnan dan Henry M. Levin; (8) Beberapa Unsur Teori Mikro-Politik Perkembangan Sekolah, Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber; (9) Perubahan Konsepsi Kaji Tindak, Bridget Somekh; (10) Pendidikan Reflektif dan Kultur Sekolah: Sosialisasi Calon Guru, Angel Perez Gomez; (11) Studi Kasus dan Catatan Kasus: Suatu Percakapan tantang Proyek Hathaway, Susan Groundwater Smith dan Rob Walker; (12) Ahli Masa Depan?, Christine O’Hanlon; dan (13) Kontrol Guru dan Reformasi Pengembangan Profesionalitas, Lawrence Ingvarson. Berikut adalah substansi tiap tulisan dimaksud.

House dalam bab 1 mengidentifikasi empat aspek ekonomi yang mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keempat hal tersebut adalah (a) ekonomi mempengaruhi besar anggaran pendidikan dan menimbulkan konsekuensi sosial, seperti ketidakmerataan ‘kue ekonomi’ yang memberi sekolah masalah, (b) tujuan kebijakan pendidikan tertentu menuntut sekolah lebih efisien dan lebih produktif, (c) pendidikan yang lebih baik menuntun pada kemampuan teknologi dan pekerjaan yang lebih baik dan (d) pemikiran ekonomi melanda dunia pendidikan, misalnya, kebijakan pendidikan dirumuskan dari sudut pandang kebutuhan sekolah menciptakan dan merespon ‘pasar’. Kebijakan ‘pemasaran’ secara agresif makin meminta peran penting. Gagasan muncul dari elit di ibu kota yang didanai oleh sumber-sumber non pendidikan (Ricci, 1993). Semua periset nampak seperti ‘tentara sewaan’ dan semua think tanks nampak menggunakan semua sumber daya institusionalnya untuk mengajukan pandangannya (Smith, 1991).

Tanah, tenaga kerja dan semua faktor produksi menjadi komoditas untuk diperjual-belikan dan tergantung pada pasar. Semua ada harganya, ‘nilai itu dilihat dari harganya’ (Gilpin, 1987). Pasar merusak peran lembaga tradisional –keluarga, komunitas, lembaga agama. Rusaknya peran lembaga-lembaga tradisional tersebut juga merusak basis dukungan tradisional dari pemerintah; pemerintah jatuh-bangun dilihat dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan warga negaranya dan dengan demikian pemerintah makin tergantung pada pebisnis. ‘isu politik sentral dalam kapitalisme… [adalah] hubungan antar bisnis dan pemerintah atau dari perspektif lebih jauh, antara ekonomi dan negara (Heilbroner, 1993). Khusus dalam bidang pendidikan, dari banyak data empiris, kebijakan pemerintah sering counter-produktif, yaitu tidak menghasilan pendidikan atau produktivitas lebih baik. Meskipun banyak contoh reformasi yang berhasil, kebijakan sering tidak dirumuskan sesuai dengan bagaimana lembaga pendidikan berfungsi dalam prakteknya.

MacDonald dalam bab 2 menyatakan bahwa pendidikan masal yang umurnya sekitar seabad nampak tidak berperan mengubah gap kaya-miskin di Inggris yang sekarang ditandai dengan peran demokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Tahun 1987-88, sekolah diberi kebebasan mengelola keuangan sendiri, dan atas persetujuan orang tua murid dapat melepaskan diri pengaruh pemerintah lokal. Pada saat sama, kurikulum nasional diberlakukan dan disupervisi oleh pejabat pusat yangtidak berpengalaman dan/atau tidak kompeten. Kurikulum sekolah dasar dikonsentrasikan secara sempit pada keterampilan dasar dan akuntabilitas penyampaiannya diuji dengan tes, sementara itu dalam kurikulum sekolah menengah masalah personal, sosial dan semua yang kondusif untuk pendidikan kewarganegaraan atau politik dimarjinalisasi. Semua hal tersebut disiapkan untuk menaikkan usia anak meninggalkan sekolah (sampai usia 16 tahun pada tahun 1972). Akibatnya diperlukan kurikulum dan pedagogi (terutama sekolah menengah) yang lebih relevan dengan kehidupan dan pada gilirannya sekolah perlu melakukan interpretasi lebih liberal tentang subject matter, integrasi tematik disiplin ilmu di sekitar isu kemanusiaan, belajar yang lebih didasarkan pada inkuiri dan pendekatan child-centered. Solusi-solusi manajerial untuk mencapai target nasional dan berkurangnya peran pemerintah lokal menyebabkan terlihatnya kelemahan kurikulum nasional. Akhir tahun 90-an, kelemahan diatasi dengan pensiun awal, penolakan siswa recalcitrant dan teralienasi, sehingga timbul masalah baru, yaitu sulitnya merekrut guru. Akhir tahun 1980-an, kondisi konservatif serupa juga terjadi di Amerika, hanya ‘sentralisasi’ berada pada level negara bagian. Benang merah yang mendasari kondisi konservatif adalah ekonomi, yang menurut Small (1907) –pengagum Adam Smith- makin terpisah dari filosofi moral, makin seperti ‘tata bahasa tanpa bahasa’, yang melahirkan prinsip ‘everything counts and nothing matters’.

John Schostak dalam bab 3 menyatakan bahwa sejarah tahun 1980-an dan 1990-an merupakan reaksi pada tahun 1960-an dan 1970-an dengan Amerika dan Inggris masuk ke neo-konservatisme yang menuntut ‘back to basics’ dan nilai-nilai keluarga serta menolak pendidikan dan politik trendi dan progresif dengan tekanan pada efisiensi sekolah. Dalam keadaan tersebut, kurikulum adalah manifestasi dari bagaimana pengalaman subjektif orang-orang lain dikemas dalam proses belajar mengajar (PBM) di sekolah, atau dengan kata lain, kurikulum adalah suatu proses yang memunculkan subjektivitas kultural. Studi psikoanalisis, feminisme dan studi kultural menunjukkan bahwa proses rekayasa individu –atas dasar efisiensi misalnya- selalu menuntun pada resistensi, sehingga dalam masyarakat timbul polarisasi individu/kelompok dominan (D) dan individu/kelompok yang didominasi atau disebut Orang lain (O). Beberapa alternatif yang dapat ditempuh O terhadap D adalah (a) solusi fundamentalis atau kultus: percaya penuh D; (b) solusi hermeneutik: berusaha memahami D; (c) solusi radikal/ revolusioner/ subversif: membuat diskursus alternatif; (d) solusi menyerah/ kepatuhan total atau sebagian; (e) solusi ‘hidup tenang’: kamuflase yang menuntun pada apati bukan pada perubahan sosial yang riil; (f) solusi penolakan tersembunyi/ gerakan bawah tanah dan (g) solusi penolakan terbuka/ gerilya /perang terbuka. Dalam rangka mencari kepercayaan atau kepatuhan total, antisipasiyang mungkin dari D adalah: (a) memakai diskursus kasih saying: D adalah (sepertinya) untuk kepentingan O; (b) memakai kekuasaan, ancama, teror; (c) peniadaan hak individu; (d) memakai diskursus salahkan/ puji diri sendiri. Dalam mengevaluasi hubungan D dan O ada tiga jenis evaluasi yang tersedia: (a) evaluasi birokratik: menerima nilai pejabat dan memberinya informasi yang membuatnya mencapai yang dicanangkannya; (b) evaluasi otokratik: menyediakan informasi pada lembaga pemerintah yang mengontrol alokasi sumber daya dan (c) evaluasi demokratis: pengaturan informasi sehingga timbul dialog rasional antara D dan O. Kutipan dari MacDonald (1996) menutup tulisan Schostak, ‘lebih penting dari skor sains dan matematika adalah keterlibatan generasi akan datang dalam mempertahankan demokrasi dan menolong orang lemah: anak-anak, orang tua, orang sakit, terbelakang, buta huruf, tidak punya rumah dan orang yang lapar’.

Peter Posch dalam bab 4 mengidentifikasi dua megatrend masyarakat. Pertama, individualisasi: (a) Di satu sisi, pembebasan dari ikatan tradisional juga meningkatkan harapan bebas dari interferensi industrial dan admnistratif, di sisi lain, makin tergantung pada pasar kerja dan cara hidup baku yang mendukungnya, seperti pendidikan, konsumsi, tawaran produk (Beck, 1992) dan (b) pergeseran dari etika kewajiban dan tanggungjawab ke etika pengembangan diri. Kedua, fragmentasi dunia kerja: makin banyak tenaga paruh waktu atau ‘tenaga portfolio’ (kontrak kerja dalam waktu tertentu). Eroupean Round Table Industrialist (1994) menyatakan tuntutan bahwa tenaga kerja (a) secara teoritis memahami hubungan kompleks, (b) secara teknis berhadapan dengan alat kerja yang dikontrol program, (c) secara sosial mampu bekerja sama dalam tim, (d) secara organisasional mampu melaksanakan tugas-tugas organisasi, pelaksanaan dan evaluatif dan (e) secara emosional menghayati pekerjaan,sehingga dapat mengembangkan diri. Tiga implikasi megatrend tersebut bagi sekolah adalah (a) delegasi keputusan kurikulum pada sekolah, (b) network sosial dengan lembaga, kelompok dan orang dalam komunitas lokal yang harus dikonstruksi oleh sekolah dan (c) kurikulum beragam dan bekerja sama dengan lembaga lain sehingga bermacam kebutuhan peserta didik dapat dilayani (Elliot, 1996), dan (d) sekolah makin dituntut memperjelas makna belajar dan hubungannya dengan kehidupan personal dan di masa depan. Networks menjadi perhatian dalam tulisan ini. Kondisi yang mendukungnya ialah (a) penekanan pada pelatihan, (b) menggunakan kontak dengan guru lain secara sistematis, (c) berbagai jenis dukungan finansial dan (d) keterlibatan guru dalam kegiatan masyarakat setempat. Networks dinamik beda dengan dan mempunyai kelebihan dari struktur hiearkis. Dalam network dinamik (a) terdapat hubungan simetris, bukan atasan-bawahan, (b) keseteraan cost-benefit, (c) komunikasi berlanjut, (d) masalah dan tujuan ditetapkan bersama, (e) durasi keterlibatan bervariasi, (f) dapat terlibat lebih dari satu networks, dan (f) pengetahuan tidak diterapkan secara instrumental untuk memecahkan masalah tapi secara holistik dengan melibatkan kognisi, orientasi nilai dan perasaan.

Marie Brennan dan Susan Noffke dalam bab 5 menyatakan bahwa sekolah di satu sisi dituntut untuk selalu mengikuti perubahan, sementara di sisi lain diharapkan menyediakan institusi relatif stabil yang atas dasar identitas dan komunitas dibentuk. Sekolah juga mempunyai sejarah mereproduksi inekualitas dalam masyarakat (apple, 1979), namun juga sejarah dalam menciptakan komunitas dan sebagai tempat perjuangan lokal. Dua proyek yang diamati tulisan ini adalah (a) SIP (School Improvement Project) 1982-1990 di Victoria Australia dan (b) Proyek Kurikulum Afrika dan Afrika-Amerika (PKAA). SIP mengekplorasi penggantian sistem inspeksi kualitas yang sentralistik dengan program partisipasi lokal dalam evaluasi. Jadi terhadap tiga jenis evaluasi yang dikemukakan macDonald (birokratik, otokratik dan demokratik), ditambahkan lagi evaluasi partisipatorik (Brown, 1982). SIP menekankan pengembangan berlanjut kapasitas berbagai komunitas yang minat dan latarbelakangnya beda untuk terus sharing dan mempertanyakan nilai yang diberlakukan di sekolah. Sekolah diperlakukan sebagai mikro-kosmos dari masyarakat dan sistem sekolah selalu berada dalam posisi mendukung perubahan mendasar dan sistemik. Basil Bernstein (1996) yang mendiskusikan demokrasi dan hak pedagogis menyatakan tiga hal perlu ada agar tercipta sekolah demokratis: (a) pemberian kesempatan pada individu, (b) inklusi sosial, intelektual, kultural dan personal, dan (c) partisipasi (politis) bukan saja dalam hal diskursus tapi juga dalam hal outcome. PKAA adalah upaya mengatasi kurikulum Amerika yang umumnya berssifat rasis dan mengatasinya dengan cara melengkapinya dengan sejarah dan peradaban Afrika dan Afrika-Amerika. Secara formal upaya dimulai tahun 1987. Tahun 1990-an, fokus awal diperumit dengan diskusi tentang pendidikan ‘multi-kultural’ yang oleh sebagian partisipan dianggap upaya membelokkan fokus awal. Banyak waktu digunakan untuk merumuskan tujuan umum yang menekankan keberagaman kelompok dan komitmen bersama mengubah sistem pendidikan yang rasis menjadi yang fair dan ekuitabel bagi semua orang (1993). Dari sudut pandang perubahan pendidikan perlu dicatat (a) metodologi kaji tindak yang diimport dari luar pada konteks yang mengakui atau mendukungnya tidak mendukung upaya yang dilakukan, (b) perlu upaya menangani konflik dengan komunitas yang sebelumnya memang sedang konflik dan (c) bagi mereka yang terlibat dan identitasnya cukup berlainan (misal, orang Eropa-Amerika dalam PKAA) perlu mengkaji identitas personalnya.

J. Myron Atkin dalam bab 6 mencatat bahwa faktor di luar berpengaruh banyak pada apa yang terjadi di dalam kelas: kondisi kerja, status, otoritas, sosialisasi professional, susunan organisasi. Tulisan ini menambahkan dua hal lagi (a) image bahan ajar, khususnya sains dan implikasinya pada perubahan sosial dan (b) kepercayaan, keterampilan dan perspektif umum guru (yang pada dasarnya adalah tujuan semua perubahan pendidikan). Guru memberikan alasan beda mengapa sains penting: untuk persiapan di dunia kerja, memahami implikasinya pada masyarakat, mempunyai nilai estetik karena mengungkap pola dan keteraturan, dst. Image sains pada abad 19 adalah mengagungkan Tuhan dan perlunya patuh pada orang tua; ada akhir abad 19 sains adalah untuk melatih pemikiran sejalan dengan populernya psikologi faculty; ada awal abad 20 sains adalah studi tentang alam yang dipersepsi setara alam rural murni dan indah, kontras dengan alam urban yang kotor, jahat dan penuh dosa; pada tahun 1920-1930-an sains adalah untuk mengurangi kerja kasar dan mengurangi penyakit dan selepas perang dunia II sains adalah bidang yang harus diwaspadai aplikasinya. Beberapa image kontemporer tentang sains (a) fokus pada sains yang dapat diterapkan dengan segera, (b) guru menghadapi siswa yang bervariasi latar belakangnya dibanding dengan 30 tahun lalu, (c) guru sains yang mempersepsi dirinya ‘serba eksak’ berhadapan dengan penerapan sains –misalnya menentukan lokasi pembuangan sampah- yang memerlukan pertimbangan berbagai aspek yang tidak ‘eksak’.

Christine Finnan dan Henry M. Levin dalam bab 7 mencatat pendapat Mead bahwa kultur itu seperti ikan yang tidak sadar hidupnya berada di air. Dua fitur kultur digunakan tulisan ini ialah (a) kultur berada pada level masyarakat/ kelompok orang (misal Barat, masa kanak-kanak, schooling), lokal (berdasarkan geografi, agama, etnis, okupasi, tempat kerja/sekolah,dst.) dan personal (untuk memahami dan membentuk interaksi antar orang) dan (b) fitur yang nampak kontradiktif dari kultur yaitu di satu sisi konservatif namun di sisi lain selalu berubah. Lima kepercayaan dan asumsi yang mendasari kultur sekolah adalah (a) Ekspektasi sekolah pada siswa: sekolah miskin menekankan kepatuhan dan disiplin, sementara sekolah kaya menekankan berpikir kritis; (b) ekspektasi siswa terhadap sekolah: sebagian resisten karena mendapat pengaruh dari masyarakat sekitarnya; sebagian sukses karena percaya pendidikan jalan ke kesuksesan, dst.; (c) karakteristik sekolah: sekolah miskin ditandai rendahnya percaya diri guru, pendapat pihak luar (orang tua, dst.) dianggap penghambat dan resisten terhadap perubahan, sekolah kaya sebaliknya; (d) praktek sekolah: misi yang didasarkan filosofi jelas (Montesori, bilingual, open learning, dst.), menuntun ke praktek yang jelas; ekspektasi dan siswa rendah menuntun ke praktek memorisasi dan pengajaran keterampilan dasar, dst. dan (e) tuntutan perubahan: jika keputusan diambil pada level birokrasi lebih tinggi, tuntutan berubah rendah. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam kultur sekolah adalah sejarah sekolah. ASP (Accelerated School Project) adalah suatu reformasi pendidikan yang mengakui pentingnya kultur sekolah. Sejak 1986, ASP menyebar ke sekitar 1000 sekolah dasar dan lanjutan di 40 negara bagian, 12 pusat pendukung dan 300 tenaga terlatih yang memantau sekolah. Proyek bertujuan untuk mempercepat proses belajar terutama bagi siswa yang berisiko gagal dengan sekolah mengambil keputusan dalam hal-hal: eksplorasi semua dimensi sekolah, konstruksi tujuan dan visi, menetapkan prioritas, sistem pengelolaan yang melibatkan semua orang, pendekatan sistematis pada kaji-tindak dan pemecahan masalah serta tentang pedagogi menyeluruh yang menyatakan semua sumberdaya sekolah dikerahkan untuk menghadapi tantangan proses belajar mengajar.

Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber dalam bab 8 mengamati dekade lalu ditandai oleh reformasi sekolah yang bertema otonomi sekolah, desentralisasi dan devolusi baik di negara yang dulunya sentralistik (Austria dan negara Eropa lainnya) maupun di negara yang dulunya desentralistik (Inggris, Wales, dst.). Menurut ‘teori strukturasi rasional-kontinjen, organisasi itu sifatnya berorientasi tujuan dengan sistem perencanaan rasional dan dengan struktur objektif, sementara pengembangan organisasi dilaksanakan oleh konstruktor organisasi atas dasar kalkulasi rasional (Turk, 1989). Kontinjen artinya tergantung variabel konteks. Sementara itu, teori mikro-politik berpandangan (a) organisasi mempunyai beragam tujuan dan pengaruh, meskipun demikian teori (seharusnya) tidak menjelaskan konsensus sebagai suatu bentuk dominasi, eliminasi, pre-emprif atau menutup-nutupi konflik, (b) pelaku mengejar kepentingannya masing-masing sesuai nilai yang dianutnya, dan (c) perjuangan strategis dan penuh konflik terjadi atas definisi dan struktur organisasi. Beberapa masalah teori mikro-politik adalah (a) harus dapat menjelaskan bagaimana organisasi relatif stabil dan bertahan suatu waktu tertentu, (b) pengaruh dari luar organisasi, (c) tidak melihat politik semata sebagai pengkhianatan, konspirasi dan akumulasi pengaruh atau lawan dari kebenaran dan penalaran. Organisasi hampir tidak dapat dikonsepsi semata sebagai konglomerasi kekuasaan dan permainan (yang ditandai oleh resiko, pemenangan, cheating, dst.). Konsensus tidak semata diperoleh lewat negosiasi eksplisit, tapi juga bersumber dalam lebenswelt yang dapat dipahamkan sebagai konsensus historis generasi terdahulu yang kurang lebih dikenal luas serta yang sekarang direproduksi lewat tindakan. Doyle dan Ponder (1976) menafsirkan kesulitan yang dialami sekolah dasar ketika tugas pembelajaran makin kompleks dikenalkan sebagai proses negosiasi. Tugas makin kompleks menyebabkan siswa tidak nyaman dan ‘mengancam’ untuk tidak disiplin dan dengan demikian secara implisit melakukan negosiasi dengan pendidik: tugas lebih sederhana yang dikompensasi dengan disiplin di kelas.

Bridget Somekh dalam bab 9 mengawali tulisannya dengan parabel yang membawa pesan bagaimana seseorang dapat menikmati pendidikan/ pengembangan profesionalisme yang dikatakan bagus tapi kemudian setelah berhasil malah membuatnya menjadi budak orang lain. Kaji tindak adalah model perubahan yang tidak demikian, sembari menekankan prinsip kepemilikan dan profesionalisme guru. Kaji tindak dirumuskan dari riset perilaku individu dan kelompok oleh Lewin, Schon, dst. Tahun 1970-an kaji tindak disempurnakan di Impington dan secara luas didukung Education Act tahun 1944. Tahun 1980-1990-an, pemerintahan Thatcher mempunyai posisi oposisional –menekankan dualisme yang lekat dalam masyarakat Barat- dengan misalnya ucapan yang mengkultuskan individualisme lewat perkataannya ‘Tidak ada yang disebut masyarakat itu’. Posisi oposisional tersebut tidak sejalan dengan tema kaji tindak yang menolak posisi oposisional, dan malah mengeksplorasi serta membangun hubungan antara teori dan praktek, objektivitas dan subjektivitas, dst., sehingga dengan demikian tema kaji tindak adalah ‘tugas dobel’ yang dilaksanakan bersama-sama/ kolektif atau apa yang dinamakan Gidden ‘demokrasi dialogis’. Namun, tetap harus diingat bahwa ketika mendeskripsikan diskursus sebagai ‘regimes of truth’ yang dikonstruksi orang-orang sepemikiran, Foucault memprediksi ketidak-terhindaran semua sistem –seberapa besarnya pun niatnya untuk memberdayakan orang lain- mengembangkan ortodoksi dan mekanisme untuk memaksakannya dan beliau menyarankan gagasan dalam bukunya ‘sebagai alat… untuk menghancurkan sistem kekuasaan, termasuk kekuasaan yang darinya bukunya tersebut terbit’ (Foucault, 1975).

Angel Perez Gomez, dalam bab 10 menyarikan studi kasus praktek mengajar (practicum) delapan calon guru di delapan universitas di Andalusia (Spanyol). Tiap studi kasus berlangsung selama empat bulan. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh dan persisten adalah (a) tekanan kultur sekolah dan kelas yang harus diikuti jika ingin berhasil, (b) ketidaknyamanan personal dalam menguasai situasi kompleks dan asing serta ketakutan tidak dihargai sebagai guru, (c) teori yang dipelajari ditemukan tidak berguna untuk dipraktekkan di lapangan, (d) kekurangan acuan dan laternatif teoritis/praktis untuk men’judge’ semua yang diamati dan dialami dan (e) tidak berfungsinya supervisor sebagai penyeimbang kultur sekolah dan kelas.

Susan Groundwater Smith dan Rob Walker dalam bab 11 menyajikan studi dan catatan kasus sekolah dasar Hathaway (SDH) yang terletak di daerah migran di Sidney. Organisasi kelas SDH didesain ‘terbuka’: tiap hari berurusan dengan kebijakan dari atas dan dengan perubahan sosial di lingkungan sekitarnya. Studi SDH diinisiasi satu dekade lalu oleh Susan Groundwater Smith dengan tujuan untuk memperoleh catatan kasus untuk digunakan dalam program pendidikan guru. Di dunia pendidikan, studi kasus dikembangkan sejalan dengan proyek untuk mengimplementasikan perubahan kurikulum dan organisasi. Studi kasus merupakan tilikan sentral saat ini dalam kaji tindak, evaluasi, pengembangan kurikulum dan studi kebijakan. Dari sudut pandang metodologi, studi kasus sering dianggap istilah pantechnicon yang setara dengan riset kualitatif dan secara longgar dikaitkan dengan istilah-istilah evuvurncaluasi ilmunatif dan responsif, riset partisipan, etnografi pendidikan, riset naturalistik, dst. Studi SDH menyatakan perlunya bertanya secara eksplisit mengapa masalah tertentu saja yang dikaji dan mengapa masalah yang lainnya tidak dikaji. Hal lain yang juga dikaji SDH adalah perlunya guru dapat mengembangkan kaleidoskop permasalahan: fakta-fakta dapat disusun berulang-ulang untuk sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Hal lainnya lagi adalah terdapat dua makna author; (a) membuat deskripsi koheren bagi diri sendiri dan (b) membuat deskripsi ‘ko-author’ dengan periset. Tahun 1970an Lawrence Stenhouse mendesain penelitian membandingkan interview (‘sejarah oral’) yang datanya dicari oleh Lawrence Stenhouse dan Jean Rudduck dengan observasi (‘etnografik’) yang datanya dicari oleh Stephen Ball dan Rob Walker. Dengan mengacu ke Alfred Schutz, Stephen selalu menyatakan bahwa interview sebagai suatu konstruksi sosial yang tidak dapat diperlakukan sebagai data yang lepas konteks (decontextualized data); persoalan serupa juga diamati Stephen dan Walker dalam memisahkan etnografer dari etnogarfi yang dibuatnya. Isu tersebut diberi tekanan oleh Stenhouse untuk membuat archives data yang padanya komunitas peneliti dapat menyumbang dan menggunakannya sebagai sumber analisis.

Christine O’Hanlon dalam bab 12 mencatat bahwa sejak tahun 1970an Eropa dan Amerika turun pertumbuhan ekonomi, pengaruh politik global dan legitimasi kulturalnya. Hal tersebut menyebabkan munculnya diskursus-diskursus reflektif dan kritikal: teori kritikal, fenomenologi, etno-metodologi, Marxisme, eksistensialisme dan pasca-modernisme. Tema-tema tersebut dalam fokus akademis dipadukan dengan perspektif konstruksionisme sosial, dekonstruksionisme dan pasca-modernisme. Dalam perspektif pasca-modern masyarakat dipandang sebagai text serta teks ilmiah dan akademik sendiri dipandang sebagai tindakan retorik yang tidak mempunyai legitimasi logis atau empiris (inheren) ….(tapi adalah) representasi ideologi, kelompok dan kepentingan berbeda-beda. Dalam dunia pendidikan, tekanan critique ideologi dan pasca-empiris tersebut mempertanyakan pendidikan guru tradisional yang menekankan kemampuan akademis dan intelektual, sementara pengetahuan dan pengalaman praktis dianggap sebagai insidental dan bahkan ditiadakan karena dianggap subjektif atau anekdotal jika digunakan sebagai bukti dalam karya tulis dan disertasi. Praktek tradisional menuntut praktisi patuh pada suatu ‘otoritas’ yang dibangun dari pengalaman praktis. Hanya dengan cara demikian guru memperoleh pengetahuan praktis dan standards of excellence yang dengannya kompetensi praktisnya dapat dievaluasi. Sekarang ini, debat tentang pedagogi … mengabaikan bentuk keseluruhan ‘kurikulum’ dalam semua level dan gagal untuk menempatkannya dalam faktor sosio-kultural kompleks yang lebih luas yang berkaitan dengan concern ekonomi, politik dan strategis dalam masyarakat Barat… Sayangnya, kurikulum nasional tidak mengijinkan prinsip atau bahan ajar yang disusunnya untuk didebat, hanya detil-detilnya yang dapat dikaji ulang…[Padahal hal yang diperlukan adalah misalnya] pengembangan profesional guru menjadi pendidikan guru ketika teori kritikal tentang situasi pengajaran memberi kesempatan pada guru untuk menjelaskan dan memahami bagaimana pembelajaran dikontrol faktor-faktor di luar kelas dalam konteks masyarakat dan politik. Profesional dalam bidang pendidikan perlu mengenali bahwa pengetahuan pedagogi dan kurikulum selalu problematik dan dengan demikian selalu terbuka untuk dikaji, dinilai dan direvisi secara seksama.

Akhirnya, Lawrence Ingvarson dalam bab 13 mencatat tahun1973 labor government mengeluarkan Karmel Report yang isinya mengenai pengembangan profesional menyatakan bahwa suatu tanda okupasi berketerampilan sangat tinggi adalah proses persiapannya sesuai standar dari praktisi itu sendiri dan pengembangan selanjutnya juga sebagian besar adalah tangungjawab profesi tersebut…Kenyataannya guru mempunyai sedikit kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan organisasi guru lebih peduli pada pelayanannya pada industri, bukannya pada pengembangan keahlian yang dianggap tugas pemberi pekerjaan. Sekarang, kita mempunyai manajemen berbasis sekolah, tapi guru mempunyai kesempatan lebih sedikit dalam pengembangan profesi(onal)nya, kecuali dalam lingkup tujuan yang secara sentral ditetapkan dalam school charters dan kurikulum. Seperempat abad setelah Karmel Report, hampir semua negara bagian mempunyai budget pengembangan profesi(onal). Tapi, di Victoria missalnya, aktivitas dibatasi oleh school charters yang prioritasnya ditetapkan negara bagian dan pendidikan in-service yang school-focused bergeser ke pengembangan staf yang dikontrol manajemen. Tahun 1993, sebagai bagian dari kampanye, federal labor government memberi dana 60 juta AUD untuk program nasional pengembangan professional (NPDP)…Tapi, dana dapat digunakan hanya untuk tujuan yang ditetapkan pemerintah federal atau prioritas nasional seperti misalnya kurikulum nasional. Asesmen standar dan kinerja untuk sertifikasi dikembangkan NBPTS (National Boards for Professional Teaching Standards) Amerika. Asesmen serupa hendaknya meliput sekurang-kurangnya (a) standar pembelajaran, (b) struktur insentif, (c) infrastruktur pembelajaran profesional dan (d) sertifikasi profesional yang kredibel dan voluntary.

Diambil dari:

Dodi Sukmayadi..2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi (Book Report . Altrichter, Herbert dan Elliott, John (2000), Ed., The Images of Educational Change, Open University Press, Buckingham). Bandung Program Pasca Sarjana- Universitas Pendidikan Indonesia.

Makna Baru Perubahan Pendidikan (The New Meaning of Education Change)

Setelah Pengantar, buku Fullan, Michael G. dan Stiegelbauer, Suzanne (1991), 2nd, The New Meaning of Education Change, Teacher College Press, N.Y. membahas makna baru perubahan pendidikan dalam tiga bagian, yang masing-masing terdiri atas enam bab, kecuali bagian dua yang hanya terdiri dari empat bab. Judul ketiga bagian tersebut adalah (I) Memahami Perubahan Pendidikan, (II) Perubahan Pendidikan pada Tingkat Lokal dan (III) Perubahan Pendidikan pada Tingkat Regional dan Nasional. Adapun judu-judul keenambelas bab adalah sebagai berikut: (1) Tujuan dan Sistematika Buku, (2) Sumber-Sumber Perubahan Pendidikan, (3) Makna Perubahan Pendidikan, (4) Sebab dan Proses Inisiasi, (5) Sebab/Proses Implementasi dan Kontinuasi, (6) Merencanakan, Melaksanakan dan Menanganai Perubahan, (7) Guru, (8) Kepala Sekolah, (9) Siswa, (10) Administratur Distrik, (11) Konsultan, (12) Orang Tua dan Komunitas, (13) Pemerintah, (14) Persiapan peofesional Guru, (15) Pengembangan Profesional Pendidik dan (16) Masa Depan Perubahan Pendidikan. Berikut adalah substansi tiap bab dimaksud.

Bab 1 membahas tujuan dan sistematika buku. Bab 2 menyajikan tiga sumber perubahan pendidikan adalah: (a) bencana alam, (b) pengaruh faktor luar dan (c) kontradiksi internal. Tipologi perubahan pendidikan disajikan dalam gambar berikut.

picture11

Dikatakan bahwa perubahan pendidikan pada tahun 1960-an dan reformasi berbasis kompetensi 1980-an yang mencoba ‘to legislate learning’ adalah tipe IV. Selanjutnya, dicatat opportunisme dalam perubahan pendidikan ‘sebagai ”cara murah”untuk menyelesaikan tekanan birokratis atau politis…agar distrik nampak up-to-date dan progresif di mata masyarakat atau untuk “melakukan sesuatu” untuk suatu kelompok tertentu’ (Berman dan McLaughlin, 1978). Atau, inovasi masih dilihat sebagai alat sekelompok orang untuk mengontrol kehidupan orang lain dan anak-anaknya menurut konsepsinya sendiri (Whiteside, 1978). Inovasi gagal menyentuh hal pokok yang dituju perubahan pendidikan: ‘Buat apa pendidikan sebenarnya? Manusia dan masyarakat seperti apa yang diinginkan? Metode dan organisasi kelas serta bahan ajar apa yang diperlukan? Pengetahuan mana yang paling berharga? (Silberman, 1970). Perubahan pendidikan menyentuh hanya perubahan tingkat pertama, yaitu: perubahan untuk memperbaiki efisiensi dan efektivitas aktivitas yang dilakukan sekarang tanpa ‘mengubah fitur organisasional dasar, tanpa mengubah secara substantif cara siswa dan pendidikan menjalankan peran mereka’ (Cuban 1988). Perubahan tingkat kedua –di mana cara fundamental seperti tujuan,struktur dan peran baru diubah menjadi, misal, berorientasi pada kultur kerja kolaboratif- tidak tersentuh: menurut peribahasa Cina, ‘bahan berubah, tapi supnya tetap sama’ .

Bab 3 membahas makna perubahan secara umum, subjektif dan objektif serta implikasinya. Dalam makna secara umum ditemukan bahwa ‘tiap upaya untuk pre-emprif konflik, argumen atau protes dengan perencanaan rasional… seberapa rasionalnya pun … tetap harus memberi waktu untuk impuls penolakan. Reformer telah mengasimilasi perubahan …mungkin berbulan-bulan atau bertahun-tahun… Jika mereka mengingkari orang lain kesempatan waktu setara, mereka pada dasarnya memperlakukan orang lain seperti boneka yang dapat diatur sesuai kehendaknya (Marris, 1975). Dalam makna subjektif ditemukan, tekanan kelas bagi guru ‘tekanan segera dan kongkrit, sekitar 200.000 pertemuan per tahunnya; tekanan multidimensionalitas dan simultanitas; adaptasi kondisi selalu berubah atau unpredictability dan tekanan untuk terlibat dengan siswa’ (Huberman, 1983; Crandall et. al., 1982). Inovasi adalah acts of faith. Mereka harus percaya inovasi akan berhasil dan berguna, meski hasil segera tidak terlihat (House, 1974). Dalam makna objektif dinyatakan tiga komponen program atau kebijakan: (a) materi baru atau revisi, (b) pendekatan pembelajaran dan (c) kepercayaan (misal, asumsi dan teori yang melandasi suatu program atau kebijakan). Tentang implikasi perubahan pendidikan dikatakan ada enam aspek yang dapat diamati (a) the soundness dari perubahan yang diusulkan, (b) memahami kegagalan perubahan yang direncanakan dengan baik, (c) petunjuk untuk memahami hakekat dan feasibilitas suatu perubahan, (d) realitas status-quo, (e) kedalaman perubahan dan (e) pertanyaan tentang penilaian.

Bab 4 mencatat bahwa tekanan untuk perubahan menurun saat adopsi yang diikuti dengan implementasi (Berman dan mcLaughlin, 1979). Model perubahan mempunyai empat komponen (a) inisiasi, mobilisasi atau adopsi, (b) implementasi (biasanya 2-3 tahun pertama sejak adopsi), (c) kontinuasi, inkorporasi, rutinisasi atau institusionalisasi dan (d) outcome. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inisiasi adalah (a) keberadaan dan kualitas inovasi, (b) akses pada informasi, (c) advokasi dari atas(an), (d) advokasi guru, (e) agen perubah eksternal, (f) tekanan, dukungan atau apati masyarakat, (g) sumber dana: lokal, negara bagian atau federal, (h) orientasi birokratis dan pemecahan masalah. Akhirnya, konsiderasi dalam perencanaan untuk adopsi paling baik jika mengkombinasikan 3R: (a) Relevansi: dilihat dari praktikalitas dan kebutuhan, (b) Readiness: tergantung pada kapasitas dan kebutuhan dan (c) Resources/ ketersediaan dukungan.

Bab 5 menyajikan tiga kategori faktor dalam proses implementasi (1) karakteristik proyek inovasi atau perubahan: kebutuhan, kejelasan, kompleksitas dan kualitas/ praktikalitas, (2) Karakteristik atau peranan lokal: distrik, komunitas, kepala sekolah, guru, dan (3) faktor eksternal: pemerintah dan agensi lainnya.Tema-tema dalam proses implementasi adalah (a) membangun visi, (b) perencanaan evolusioner, (c) pengambilan inisiatif dan pemberdayaan, (d) pengembangan staf dan asistensi sumber daya, (e) monitoring/pemecahan masalah Peters (1987) dan (f) restrukturisasi. Selanjutnya, ada empat tilikan tidak predictable yang ternyata penting dalam proses implementasi: (a) inisiasi dan partisipasi aktif, starting small and thinking big, bias untuk tindakan dan belajar sambil bekerja, (b) tekanan dan dukungan, (c) perubahan perilaku dan kepercayaan dan (d) masalah kepemilikan perubahan pendidikan.

Dalam Bab 6 disajikan alasan mengapa perencanaan perubahan gagal: asumsi dan cara berpikir keliru tentang perubahan, diantaranya, ‘melompat’ dari rencana pribadi ke implementasi publik (Lighthall, 1973), kekuasaan legal atau organisasional diandalkan sebagai motor perubahan (Sarason, 1971) dan fallacy rasionalisme: dunia social ingin diubah dengan argumen rasional. Alasan lain mengapa perencanaan gagal ialah menangani masalah tidak terpecahkan, karena beda nilai yang dianut dan kesempurnaan teknis serta tidak memperhitungkan faktor yang berpengaruh. Untuk sukses menurut harry Truman dan Pierre Trudeau ‘we need more one armed economist…[when frustrated by the advice] on the one hand … on the other hand’. Niat baik dan gagasan baik adalah perlu tapi tidak cukup untuk tindakan yang konsisten (Sarason, 1990). Kiat lain ialah (a) ‘sedikit kekaburan mungkin esensial agar kebijakan dapat diterima…mungkin lebih efektif dalam waktu pendek untuk berkonsentrasi pada legislasi baru’, dan (b) menggunakan pendekatan developmental: mulai dari hal yang paling mungkin terus berkembang ke hal-hal lain (Sarason, 1971).

Bab 7 sampai dengan bab 12 -(7) Guru, (8) Kepala Sekolah, (9) Siswa, (10) Administratur Distrik, (11) Konsultan, (12) Orang Tua dan Komunitas- masuk ke dalam bagian II, yaitu bagian yang membahas perubahan pendidikan pada tingkat lokal. Bab 7 membahas kenyataan bahwa perubahan pendidikan tergantung pada yang dilakukan dan dipikirkan guru: persoalannya sesederhana dan sekompleks itu (Sarason, 1971) dan jika program berhasil, guru dilupakan; tapi jika gagal, guru disalahkan. Suatu faktor efektivitas kelas dan sekolah adalah kualitas guru. Sebagai indikator kualitas, dari sampel guru di Ontario, Kanada, Rees dkk. (1989) menemukan bahwa 71% guru wanita dan 64% guru laki-laki di SD menyatakan guru sebagai pilihan pertama untuk berkarir; sementara itu, 56% guru wanita dan 37% guru laki-laki di SL menyatakan guru sebagai pilihan pertama untuk berkarir. Dalam tiga dari empat kelompok guru tersebut, satu dari lima guru memikirkan untuk tidak jadi guru lagi dan satu dari lima guru laki-laki SL mempertimbangkan untuk tidak jadi guru lagi. Beberapa kesulitan guru adalah (a) beban kerja multi-dimensi (Sarason, 1982; h. 126), (b) lebih peduli pada identitas diri bukan pada kebersamaan dalam suatu komunitas… tidak dilibatkan dalam persoalan yang menyangkut sekolah umumnya (Goodlad, 1984; h. 123), (c) transfer informasi sesama guru cenderung personal, bukan profesional (House dan Lapan, 1978; h. 122); dan (d) perlu keluar dari ‘tugas’ tradisional untuk menyatakan kepemimpinannya (Barth, 1990; h 141). Model sekolah yang ‘ideal’ adalah sebagai berikut.

picture22

Bab 8 mencatat beberapa hal tentang kepala sekolah sebagai berikut:

  • Jumlah tugas kepala sekolah lanjutan sebanyak rata-rata 149 tugas per hari. 59% diantaranya diinterupsi, 84% diantaranya berlangsung antara 1-4 menit, dan 17% berkaitan dengan pengajaran (Martin dan Willower, 1981). Studi pada periode 1910 sampai 1980-an menunjukkan ‘meskipun gaya kepemimpinan beda, peran manajerial, bukan kepemimpinan pembelajaran, mendominasi kepala sekolah (Cuban, 1988: 84).
  • Smith dan Andrews (1989) mendukung temuan Louis dan Miles (1990): tidak ada dikotomi waktu untuk manajerial, operasi dan relasi distrik (34% vs 39%) dan perbaikan program instruksional (41% vs 27%).
  • Studi Interaksi Kepala Sekolah-Guru (PTI) menunjukkan selama periode 3 tahun ada 1855 intervensi pada kepala sekolah yang berkenaan dengan masalah organisasi (36%), konsultasi dan penguatan (24%), monitoring dan evaluasi (22%), pelatihan dan informasi (7%) dan lain-lain (11%)…Kepala sekolah sebagai fasilitator perubahan berkorelasi 0.76 dengan kesuksesan seluruhnya; sekolah dengan gaya inisiator paling sukses, diikuti oleh kepala sekolah gaya manajerial dan kepala sekolah gaya perespon (Hall & Hord, 1987).
  • Studi pada 137 kepala dan wakil kepala sekolah menunjukkan selama 5 tahun terakhir tuntutan tugas makin tinggi sementara keyakinan akan efektivitasnya makin menurun (Educon, 1984). Kurang dari 10% kepala sekolah yang termasuk ke dalam ‘pemecah-masalah sistematik’ (level tertinggi dari empat level efektivitas) (Leithwood dan Montgomery, 1986).
  • Studi pada 2500 guru dan 1200 kepala sekolah, menunjukkan kepala sekolah terlibat dalam empat interaksi strategis dengan guru: (a) penyedia sumber daya, (b) sumber daya pembelajaran, (c) komunikator dan (d) ‘hanya untuk penampilan’. Rating positif dari guru terhadap pemimpin kuat, rata-rata dan lemah masing-masing sebanyak 90%, 52% dan 33% (Smith dan Andrews, 1989). Porporsi kepala sekolah wanita di SD maupun di SL cenderung rendah: 20-50% dan 5-20% (Marshall dkk., 1989; Mertz,dkk., 1989; Schneider, 1988); 5, 14, 23% dan 36, 42, 47 % (studi 44 sekolah besar tahun 1972,1982 dan 1986); 19% dan 4% (Wisconsin, 1986-87, Schneider, 1988); 25% dan 8% (statistik nasional, Marshall dkk., 1989);18% dan 11% (Ontario, 1990).

Bab 9 diawali dengan pertanyaan Bowles dan Gintis (1976), ‘ mengapa dalam suatu masyarakat demokratis, kontak riil pertama seorang individu dengan suatu lembaga formal bersifat sangat anti-demokratis’. Ketika orang memikirkan perubahan pendidikan mereka memikirkan dampak perubahan tersebut pada peserta didik dari sudut pandang keterampilan, sikap dan pekerjaannya di masa yang akan datang, mereka jarang berpikir tentang bagaimana melibatkan mereka dalam kehidupan organisasi (termasuk organisasi sekolah). Kalau pun program semacam itu ada, peserta didik cenderung mengalami resistensi, ‘selama ini mereka memperlakukan kita seperti bayi, sekarang mereka mencoba memperlakukan kita seperti seorang dewasa’. Dari sampel sebesar 3593 siswa, siswa SD, SMP dan SMA masing-masing 41%, 33% dan 25% berpikir gurunya tidak memahami mereka; masing-masing 19%, 16% dan 13% menyatakan mereka ditanya bagaimana atau materi yang harus diajarkan dan masing-masing 29%, 26% dan 50% menyatakan kelas membosankan . Firestone dan Rosenblum (1988) merinci lima faktor yang mempengaruhi komitmen guru dan siswa: (a) kebermaknaan program, (b) keterkaitan dengan lingkungan sekitarnya, (c) kejelasan aturan dan peran guru dan siswa, (d) ekspektasi guru dan siswa dan (e) rasa hormat dan perhatian guru dan siswa. Komitmen guru dan siswa juga dapat diperoleh dari inovasi baru-baru ini tentang pembelajaran kooperatif yang pada prakteknya adalah mengurangi metode ceramah sebanyak 20% (dari 48% menjadi 28% dari total waktu pembelajaran).

Bab 10 menyajikan karakteristik superintenden yang jumlahnya sekitar 95% laki-laki dan yang menangani sistem sekolah yang siswanya bervariasi dari 100 sampai 200.000 siswa dan masa kerja rata-rata 3 tahun (di Amerika) dan 6-7 tahun di Kanada. Review Goldhammer (1977) dari 1954 sampai 1974 menunjukkan pergeseran peran superintenden dari juru bicara dan manajer eksekutif sistem sekolah homogen ke situasi di mana negosiasi dan manajemen konflik berbagai kelompok kepentingan. Studi Duignan (1979) pada delapan superintenden di Alberta menemukan bahwa ‘tiap hari superinintenden terlibat dalam rata-rata 26 diskusi yang merupakan 70% waktu kerjanya; 70% dari diskusi tersebut dilakukan dengan trusti sekolah, pejabat pusat dan administratur sekolah, kurang dari 7% dengan guru dan kurang dari 1% dengan siswa. Studi Fullan dkk. (1987) tentang 200 pejabat supervisi di 26 distrik sekolah (seperempat jumlah di seluruh provinsi) menemukan mereka menekankan sistem (bukan sekolah), serta berpikir reflektif (bukan parsial) dan generalis (bukan spesialis). Studi LaRoque dan Coleman (1989a: 169) menyusun hipotesis etos distrik positif yang ditandai dengan enam fokus (a) pembelajaran, (b) akuntabiltas, (c) perubahan, (d) perhatian pada stakeholder, (e) komitmen bersama dan (f) dukungan komunitas. Atas studi pada lima sekolah (dua diantaranya dikategorikan berhasil), Louis (1989) menyusun diagram karaktersitik hubungan distrik dan sekolah sebagai berikut:

Bab 11 merangkum ke dalam istilah konsultan sejumlah pekerjaan/peran sebagai berikut: ahli materi, kurikulum, program, guru, pengembangan organisasi, agen perubahan, direktur proyek, agen penghubung,dst. Studi Ross dan Reagan (1990) tentang dua belas konsultan kurikulum distrikdi dua sekolah menyimpulkan bahwa ‘ perencanaan sistem, networking dengan tim konsultan dan mengkoordinasikan dukungan atasan adalah kunci konsultan berpengalaman’. Hall dan Hord (1984) menemukan bahwa CF (change facilitator, yang boleh jadi adalah konsuln rq56jasdtan distrik, guru hli dan kadang-kadang wakil kepala sekolah) terlibat dalam interaksi lebih kompleks, dibanding kepala sekolah yang berinterkasi dengan cepat, sederhana dan to the point. Miles dkk. (1988; 188) menyarankan seleksi konsultan didasarkan pada latar belakang pendidikan (broad based); mudah menjalin hubungan interpersonal; keahlian kependidikan, pengalaman kepelatihan, kependidikan dan organisasi sebelumnya, serta inisiatif dan energi.

Bab 12 diawali dengan pernyataan implisit bahwa sekolah itu sebenarnya milik orang tua siswa dan komunitasnya (cf. Gold dan Miles, 1981). Namun, jika guru dan administatur pendidikan yang terlibat masalah pendidikan 40-60 jam per minggunya sulit memahami perubahan pendidikan, maka orang tua dan komunitas lebih sulit lagi memahaminya, padahal secara umum, makin orang tua siswa terlibat makin baik pencapaian belajar siswa (cf. Mortimore dkk., 1988). Menurut Epstein dan Dauber (1988) peran yang mungkin diperankan orang tua siswa adalah (a) sukarelawan, asisten, dst, (b) tutor/ pembimbing di rumah, (c) komunikator dan (d) dewan penasihat. Evaluasi SDC (System Development Corporation) atas 869 sekolah di 369 distrik menetapkan 34 sekolah dengan orang tua siswa asisten bayaran dan 17 sekolah dengan orang tua sebagai tutor dirumah. Survey Becker (1981) terhadap 3700 guru SD dan 600 kepala sekolah menunjukkan sedikitnya keterlibatan orang tua siswa. Survey Kanada tahun 1979 pada 2000 orang tua siswa menunjukkan 63.4% diantaranya tidak bersedia menjadi anggota komite penasihat rumah-sekolah. Studi Lucas, dkk. (1978-79) tentang content analysis notulen komite dari sepuluh SD dan lima SL menunjukkan (a) isu pedagogi jarang dibicarakan, (b) diskusi sifatnya informasi, rekomendasi hanya 4%-nya dan (c) orang tua sebagai inisiator topik diskusi di SD dan SL masing-masing adalah 27.6% dan 17.9%, sementara guru/administrator sebagai inisiator masing-masing adalah 67.2% dan 78%. Studi Schaffarzick (Boyd, 1978: 613) tentang 34 distrik di San Fransisco menunjukkan 62% keputusan kurikulum tidak melibatkan komunitas.

Bab 13 sampai dengan bab 16 -(13) Pemerintah, (14) Persiapan Profesional Guru, (15) Pengembangan Profesional Pendidik dan (15) Masa Depan Perubahan Pendidikan - masuk ke dalam bagian III, yaitu bagian yang membahas tentang perubahan pendidikan pada tingkat regional dan nasional. Bab 13 membahas (a) peran pemerintah federal Amerika dalam dunia pendidikan yang makin menurun, tapi tetap masih signifikan misalnya lewat ‘semboyan’ A Nation at Risk dan (b) –seperti ditekankan Elmore dan McLaughlin (1988)- ketidak-selarasan waktu perumusan kebijakan yang tergantung pada ‘electoral time’ dan implementasi kebijakan yang tergantung pada ‘administrative or practice time’. Sementara itu, di Kanada keberadaan federal dalam dunia pendidikan diakui ‘sepanjang tidak ada seorang pun menamakannya kebijakan pendidikan dan sepanjang tidak ada tuntutan eksplisit sebagai imbalan atas uang dari Ottawa tersebut’. Keterlibatan pemerintah federal di Amerika ada dua jalur (a) Beberapa program yang disponsori pemerintah federal sejak 1965: Title I, Title IV, Basic Skills, Emergency School Aid Act, Follow Through, Title VII, Bureau of Education Handicapped dan Vocational Education dan (b) Riset, Development dan Diseminiasi (RDD) dilembagakan pada periode 1972-1985 dengan pendirian the National Institute of Education (NIE). Tahun 1985, NIE direorganisasi menjadi OERI (the Office of Educational Research and Improvement). Di Kanada, ketidakpuasan pada sistem pendidikan dan lambatnya perubahan pendidikan, pemerintah (bukan hanya menteri pendidikan) melaksanakan reformasi komprehensif dan fundamental. Sebagai contoh British Columbia merencanakan Year 2000: A Curriculum and Assessment Framework for the Future yang mengatur ulang sistem pendidikan dengan 3 prinsip pembelajar dan peserta didik, 12 prinsip kurikulum, 5 prinsip asesmen dan evaluasi serta 3 prinsip pelaporan. Akhirnya, pedoman untuk pemerintah dalam melaksanakan perubahan pendidikan adalah (a) agar memperbaiki kapasitas agensi untuk mengimplementasikan perubahan, (b) menjelaskan dan bekerja sama dengan agensi lokal tentang makna, ekspektasi dan kebutuhannya, (c) fleksibel dalam implementasi, (d) staf diberi kesempatan mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya selain memfasilitasi implementasi, (e) menekankan pada perubahan mendasar profesi guru, praktek dan organisasi pembelajaran serta pola dan pengalaman belajar peserta didik dan (f) menerapkan strategi komprehensif, multifaceted, saling terkait, jangka pendekmenengah dan panjang secara persisten (serta tidak meminta perubahan segera dan total dalam waktu singkat).

Dalam bab 14 dicatat bahwa ‘membantu orang lain berubah tanpa kita menyadarinya sendiri sama halnya dengan penyajian produk atau pelayanan yang tidak atau sedikit signifikansinya untuk pertumbuhan intelektual kita’ (Sarason, 1972). Pengembangan guru adalah belajar berkelanjutan dan tidak terpisahkan dari perkembangan sekolah dan dengan demikian lebih baik dari sekedar inovasi-inovasi yang berkesan tidak berkelanjutan selain sama-sama memerlukan biaya,waktu dan tenaga besar. Terdapat 1400-an lembaga pendidikan guru di Amerika dan 50an fakultas pendidikan di Kanada yang didalamnya ditemukan banyak mata kuliah yang tujuannya ‘kompleks dan tidak jelas’. Menurut Hollingsworth (1989) setidaknya ada tiga basis pengetahuan yang diperlukan agar guru efektif (a) materi –isi dan cara pembelajarannya, (b) manajemen umum dan pedagogi instruksional dan (c) ekologi kelas –pengetahuan tentang bagaimana peserta didik belajar, bagaimana mendiagnosa dan mengevaluasi proses dan outcome belajar. Kenyataannya, calon guru yang umumnya menganggap transisi menjadi guru pengalaman besar –atau bahkan traumatik- lebih disibukkan oleh (a) pendidikan yang sifatnya individualistik padahal kenyataan di lapangan memerlukan bukan hanya pendidikan yang invidualistik dan (b) oleh ‘struktur hari sekolah; kurikulum, isi dan materi baku; serta tekanan pada ketertiban, kontrol dan kesibukan peserta didik… [bahwa] tidak ada justifikasi pada tilikan “pengalaman praktis itu perlu” …[maka harap diingat bahwa kata Dewey] keliru mengasumsikan tiap pengalaman mempunyai nilai instrinsik selain mampu untuk membangkitkan kualitas respon tertentu dari seseorang’ (Tabachnick, dkk., 1979-80). Akibatnya, fakultas pendidikan kehilangan baik respektabilitas universitas mau pun efektivitas di lapangan. Diantaranya untuk memberi bekal lebih dan menangani tingkat alih profesi guru ke pekerjaan lain (30% dalam dua tahun pertama, 40-50% dalam tujuh tahun pertama dibanding dengan 6% secara keseluruhan), sejak dua dekade lalu digulirkan program induksi, yaitu suatu program seksama untuk mendukung guru baru. Induksi pada gilirannya memunculkan kesempatan pengembangan profesionalisme baru, yaitu mentoring. Namun, program induksi dan mentoring menghadapi kendala biaya yang mahal. Akhirnya, alternatif pengembangan profesionalisme lainnya adalah sertifikasi alternatif,yaitu sertifikasi yang diberikan oleh praktisi dan mempunyai kecenderungan standarnya disesuaikan dengan kebutuhan employer (pihak yang memperkerjakan guru).

Sebagian besar pembahasan pada bab 15 masih tentang guru. Pertama disajikan beberapa alasan mengapa pengembangan profesional guru tidak berhasil. Selanjutnya, disajikan empat contoh kasus pengembangan profesional yang berhasil. Pengembangan profesional guru tergantung pada motivasi dan kesempatan (dalam arti ketersediaan program dan pengorganisasian secara struktural dan normatif yang memungkinkan berlangsungnya pengembangan profesional). Akhirnya setelah pengembangan profesionalisme administatur dan konsultan disinggung, disajikan saran pengembangan profesional: (a) fakultas pendidikan dan sekolah sebaiknya menggunakan tiga strategi saling terkait –penggantian staf, inovasi program dan produksi pengetahuan, (b) semua staf di lembaga dan pada level mana saja harus belajar, berkoordinasi dan terintegrasi pengembangannya dan (c) semua pengembangan profesional arus memenuhi dua syarat (c1) mengarah ke atribut pengembangan profesional yang berhasil pada sebanyak-banyak aktivitas yang dapat dilaksanakan dan (c2) tujuan akhir pengembangan profesional tidak semata pada mengimplementasikan inovasi tapi untuk menciptakan kebiasaan dan struktur individual dan organisasional yang membuat belajar berkelanjutan bagian berharga dan endemic dari kultur sekolah dan pembelajaran.

Akhirnya, pada bab terakhir, yaitu bab 16 disajikan enam karakteristik perubahan pendidikan di masa depan diantaranya sebagai koreksi/alternatif atas model rasional di mana pihak otoritas perubahan meningkatkan advokasi, legislasi, akuntabilitas, sumber daya, dst. berhadapan dengan pihak penerima perubahan dengan pintu lebih tertutup lagi, resistensi kolektif, isolasionisme, keluar dari dunia pendidikan, dst. Keenam karakteristik tersebut adalah: pergeseran dari politik negatif berupa resistensi dari bawah, indoktrinasi dari atas, dst. menjadi politik positif: (a1) fokus pada prioritas: ‘kita tidak dapat melaksanakan x’ tidak dapat diterima lagi, kecuali dengan alasan ‘karena kita sedang mengerjakan y, z, dst.’. dan (a2) mulai dari lingkungan terdekat. pergeseran dari solusi monolitik/seragam ke solusi-solusi alternatif/ variatif yang bercirikan (b1) sekolah sebagai pusat pembaharuan berkelanjutan, (b2) perubahan yang dilaksanakan dengan proses komunikasi, negosiasi dan kolaborasi, (b3) membangun kapasitas sekolah untuk mampu terus berubah dan (b4) mengurangi atau bahkan meniadakan ketergantungan pada solusi yang ditawarkan pihak lain. pergeseran dari inovasi ke pengembangan kelembagaan, suatu inovasi sering ditujukan untuk menyelesaikan suatu masalah (‘memadamkan kebakaran’) atau sekedar fashion saja, sementara pengembangan kelembagaan berfokus pada peningkatan kinerja dan kapasitas kerja lembaga. pergeseran dari pengembangan profesional individual ke pengembangan profesional interaktif/ aliansi di mana ditekankan akses dan perhatian pada gagasan dan praktek rekan kerja/ lembaga lain. peningkatan apresiasi pada dilemma-dilema pembaharuan: visi jelas vs. pikiran terbuka, inisiatif vs.pemberdayaan, tekanan vs. dukungan, start small vs. thing big, mengharapkan hasil vs. sabar dan persisten, mengalami ketidakpastian vs. merasa puas, top-down vs. bottom up, pola umum vs.keunikan. pergeseran dari model rasional ‘if…then…’ atau, jika gagal ‘if…only …’ ke ‘if I …’ dan/atau ‘If we …’. Diambil dari: Dodi Sukmayadi..2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi (Book Report. Fullan, Michael G. dan Stiegelbauer, Suzanne(1991), 2nd, The New Meaning of Education Change, Teacher College Press, N.Y.). Bandung Program Pasca Sarjana- Universitas Pendidikan Indonesia

Difusi Inovasi

Dalam Pengantar buku (edisi ketiga) Diffusion of Innovations, The Free Press, N.Y., Rogers, Everet M. (1983), penulisnya, menjelaskan bahwa edisi pertama terbit tahun 1962 dan edisi kedua (dengan judul Communication of Innovations: A Cross-Cultural Approach dan dengan penulis kedua F.Floyd Shoemaker) terbit pada tahun 1972. Dalam Pengantar tersebut disajikan (a) kesamaan difusi dengan riset persuasi: (a1) bukan komunikasi satu kepada orang banyak, tapi sesuatu yang dikerjakan bersama orang lain, dan (a2) tidak semata berpusat pada aksi atau isu (menjual produk, aksi atau kebijakan), tapi juga menjual kredibilitas diri dan/atau orang lain; (b) kontras difusi (fokus lebih pada adopsi/ keputusan untuk menggunakan dan mengimplementasikan gagasan baru, bukan pada implementasi aktual atau konsekuensi inovasi) dengan riset persuasi (fokus lebih pada pengubahan sikap, bukan perilaku); (c) pergeseran studi difusi dari yang mendasarkan pada model komunikasi linier (proses di mana pesan ditransfer dari sumber ke penerima) ke yang mendasarkan pada model komunikasi konvergensi (proses saling tukar informasi diantara sesama partisipan) dan (d) definisi inovasi difusi sebagai pada dasarnya suatu proses sosial di mana informasi tentang gagasan baru yang dipersepsi secara subjektif dikomunikasikan.
Pembahasan pada bab 1 sampai dengan bab 11 masing-masing diberi judul (1) Unsur-unsur Difusi, (2) Sejarah Riset Difusi, (3) Kontribusi dan Kritik riset Difusi, (4) Lahirnya Inovasi, (5) Proses Keputusan Inovasi, (6) Atribut Inovasi dan Tingkat Adopsinya, (7) Kategori Keinovatifan dan Kategori Adopter, (8) Kepemimpinan Opini dan Network Difusi, (9) Agen Perubahan, (10) Inovasi dalam Organisasi dan (11) Konsekuensi-konsekuensi Inovasi. Bab 1 membahas empat unsur inovasi (a) inovasi (b) saluran komunikasi, (c) waktu dan (d) sistem sosial. Inovasi -sering disinonimkan dengan teknologi- suatu gagasan, praktek atau objek yang dipersepsi baru oleh seorang individu atau suatu unit adopter. Inovasi dibedakan dari reinvensi: tingkat inovasi diubah atau dimodifikasi pengguna pada proses adopsi dan implementasi. Inovasi sering berupa cluster teknologi karena dengan demikian akan lebih mudah untuk diadopsi. Bab 1 selanjutnya meringkas materi yang akan dibahas pada bab 4 sampai dengan bab 11.
Bab 2 diawali dengan komentar Elihu Katz dkk. (1963) ‘berbagai tradisi riset ironisnya ditemukan secara sendiri-sendiri’. Tradisi riset adalah sederet penelitian tentang topik sejenis di mana penelitian sebelumnya berpengaruh pada penelitian sesudahnya. Tradisi riset pada dasarnya adalah suatu ‘universitas tidak terlihat’. Riset difusi dimulai di Perancis, Inggris dan Jerman-Austria di awal abad 20. Di Perancis, Tarde (1903) mengemukakan hukum imitasi ‘dari 100 inovasi, 10 akan menyebar luas sementara 90 akan dilupakan’. Selanjutnya disajikan sembilan tradisi riset: antropologi, sosiologi awal, sosiologi pedesaan, pendidikan, sosiologi medis, komunikasi, pemasaran, geografi dan sosiologi umum. Akhirnya, disajikan delapan tipe riset difusi (1) kapan inovasi diketahui, (2) tingkat adopsi inovasi, (3) keinovatifan, (4) kepemimpinan opini, (5) jaringan difusi, (6) tingkat adopsi dalam berbagai sistem sosial, (7) saluran komunikasi dan (8) konsekuensi inovasi.
Bab 3 menyajikan kontribusi riset difusi berupa (a) model difusi sebagai paradigma konseptual yang relevan dengan banyak disiplin ilmu, (b) sifat pragmatisnya dalam memecahkan masalah penggunaan hasil riset, (c) memungkinkan periset mengemas ulang temuan empirisinya dalam bentuk generalisasi lebih teoritis lagi dan (d) metodologinya yang jelas dan relatif facile. Selanjutnya,disajikan kritik pada riset difusi: (a) bias pro-inovasi: inovasi harus diadopsi semua anggota suatu sistem sosial dengan cara cepat dan inovasi tidak boleh ditolak atau direinvensi, (b) bias menyalahkan individu: kecenderungan menyalahkan individu, bukan sistem, (c) masalah ingatan: ketidakakuratan responden dalam mengingat proses adopsi inovasi dan (d) isu ekualitas: inovasi cenderung memperlebar kesenjangan kaya-miskin. Akhirnya, disajikan prosedur meta-riset, yaitu sintesis riset empiris menjadi kesimpulan umum yang lebih teoritis: (a) perumusan konsep (dimensi yang dinyatakan dalam istilah paling mendasar), (b) menyusun hubungan dua konsep dalam bentuk hipotesis teoritis, (c) menguji hipotesis teoritis dengan hipotesis empiris yang dinyatakan dalam postulat hubungan dua konsep operasional, (d) uji hipotesis empiris dengan uji signifikansi atau uji lainnya dan (e) hipotesis teoritis ditolak atau diterima berdasarkan ditolak atau diterimanya hipotesis empiris.
Bab 4 menyajikan enam momen proses inovasi yang merupakan paduan dari (a) analisis kebutuhan (momen pertama: perumusan masalah atau analisis kebutuhan), (b) tracer study (momen kedua sampai ke lima: penelitian murni/terapan, pengembangan, komersialisasi/ sosialisasi serta difusi dan inovasi) dan (c) studi difusi klasik (momen ke lima dan ke enam: difusi/ inovasi dan konsekuensi inovasi). Masalah yang umumnya ditemukan adalah rendahnya penjualan hasil penelitian yang sudah dipatenkan (di Amerika mislanya adalah 1500 dari 30000 paten). Pengembangan teknologi mengalami empat tahap (a) trial and error dalam skala kecil, (b) imitasi, (c) kompetisi tekonologi dan (d) keluar dari kompetisi dan melakukan standarisasi produk. Beberapa konsekuensi inovasi adalah (a) ke enam momen difusi inovasi mungkin tidak semuanya ada dalam suatu inovasi, (b) kemungkinan ketidak sinkronan konsekuensi yang diharapkan dengan yang benar-benar terjadi, dan (c) pelebaran kesenjangan kaya-miskin. Akhirnya, dibahas (a) kelemahan tracer study: tergantung ada tidaknya publikasi, sedikitnya data fase difusi/ adopsi dan sifatnya rekonstruksi rasionalistik dan (b) inovasi organisasi yang muncul secara individual, kolektif, atas instruksi atasan atau didorong inovasi sebelumnya mempunyai dua momen, yaitu inisiasi dan implementasi.
Bab 5 membahas lima proses keputusan inovasi (a) mengetahui inovasi, (b) peruasi, (c) keputusan, (d) implementasi (seutuhnya atau lewat reinvensi) dan (e) konfirmasi atau meniadakan/mengurangi disonansi, suatu ketidaksetimbangan internal yang disebabkan (e1) kebutuhan, (e2) belum mengadopsi sesuatu yang diinginkan atau (e3) setelah mengadopsi untuk meneruskan atau diskontinu. Inovasi dapat tidak dilanjutkan (diskontinu) karena (a) kecewa atau (b) diganti dengan invasi lainnya. Beberapa temuan proses keputusan inovasi adalah (a) Inovasi yang tingkat adopsinya tinggi tingkat diskontinu; (b) diskontinu cenderung dilakukan oleh adopter akhir; (c) riset selama ini kebanyakan riset variansi sehingga diperlukan riset proses; (d) beberapa saluran komunikasi difusi inovasi adalah media massa dan hubungan antar-pribadi serta saluran kosmopolit dan lokalit; (e) media massa dan saluran kosmopolit terutama penting pada tahap mengetahui inovasi; sementara hubungan antar-pribadi dan saluran lokalit terutama penting pada tahap persuasi; (f) media massa dan saluran kosmopolit lebih penting bagi adopter awal; (g) tingkat mengetahui inovasi lebih cepat dari tingkat adopsi dan (h) adopter awal mengalami proses keputusan inovasi lebih cepat.
Bab 6 menyatakan bahwa tingkat inovasi dipengaruhi oleh satu atau beberapa karakteristik berikut: (a) keuntungan relatif, (b) kompatibilitas atau kekonsistenannya dengan nilai yang dianut, (c) kompleksitas atau tingkat kemudahan untuk dipahami, (d) triabilitas atau kedapat-dicobaannya dalam skala kecil dan (e) observabilitas atau keterlihatannya oleh orang/pihak lain. Tingkat adopasi dipengaruhi oleh (a) jenis keputusan inovasi (opsional, kolektif atau atas dasar otoritas), (b) jenis saluran komunikasi yang digunakan, (c) norma, sifat kesalingterhubungan individu, dst. dalam komunitas adopter dan (d) upaya agen perubahan. Selain itu, ditemukan bahwa (a) sampai tingkat kesadaran inovasi mencapai 20-30% tingkat adopsi rendah, sedangkan setelah ambang tersebut tingkat kesadaran dan tingkat adopsi meninggi dan (b) overadopsi adalah fenomena inovasi diadopsi padahal menurut para ahli sebaiknya tidak diadopsi.
Bab 7 mencatat bahwa kontinum keinovatifan dapat dibagi menjadi lima kategori (a) invator, (b) adopter awal, (c) mayoritas awal, (d) mayoritas akhir dan (e) laggards. Masing-masing kategori tersebut mempunyai karakteristik (a) venturesome, (b) respectable, (c) deliberate, (d) skeptis dan (e) tradisional. Usia adopter awal relatif sama dengan adopter akhir hanya saja adopter awal cenderung lebih unggul dalam hal (a) pendidikan, (b) literasi, (c) status sosial, (d) mobilitas ke atas, (e) ukuran ladang, perusahaan, dst., (f) sikap terhadap kredit dan (g) tingkat spesialisasi pekerjaan. Selain itu, dalam hal kepribadian, dibandingkan dengan adopter akhir, adopter awal mempunyai (a) empati lebih besar, (b) kurang dogmatis, (c) lebih mampu melakukan abstraksi, (d) lebih rasional, (e) lebih intelejen, (f) lebih mudah menerima perubahan, (g) lebih mampu mengangani ketidakpastian dan resiko, (h) lebih menghargai pendidikan dan sains, (i) kurang fatalis, (j) mempunyai motivasi pencapaian lebih besar, (k) aspirasi lebih tinggi pada pendidikan, pekerjaan, dst. Akhirnya, dalam hal perilaku komunikasi, dibandingkan dengan adopter akhir, adopter awal mempunyai (a) partisipasi sosial lebih tinggi, (b) kontak sosial lebih banyak dengan sesamanya dan/atau dengan agen perubahan, (c) lebih kosmopolit, dan terekspose pada media massa, (d) lebih aktif mencari informasi dan lebih banyak tahu tentang inovasi dan (e) lebih tinggi kepemimpinan opininya.
Bab 8 membahas model kepemimpinan opini aliran dua-langkah: pesan mengalir dari sumber via media massa ke pemimpin opini yang pada gilirannya menyampaikannya pada para pengikutnya. Model tersebut ditentang oleh model ‘jarum hipodermik’ di mana dipostulatkan bahwa media massa mempunyai pengaruh langsung, segera dan kuat pada individu-individu yang terkait dengan media massa, tapi tidak terkait satu dengan lainnya. Menurut teori Granovetter individu cenderung terkait dengan orang yang secara fisik dekat dan menurut atribut-atribut seperti kepercayaan, pendidikan dan status sosial relatif sama (homofili; kontras dengan heterofili di mana atribut-atribut tersebut relatif beda). Duff dan Liu (1975) menyatakan bahwa dalam satu network komunikasi, pertukaran informasi dari satu clique (yang ditandai dengan promiximitas komunikasi tinggi) ke clique lain dijembatani oleh proximitas komunikasi rendah yang heterofili (misal, dari clique berstatus sosial tinggi ke clique berstatus sosial lebih rendah). Beberapa temuan lainnya ialah (a) Dalam network heterofili, pengikut cenderung mencari pemimpin opini yang mempunyai status sosial, pendidikan, ekspose ke media massa, tingkat keinovatifan, tingkat kekosmopolitan dan tingkat kontak dengan agen perubahan lebih tinggi, (b) pemimpin opini lebih sejalan dengan norma sistem dibanding dengan pengikutnya, (c) pemimpin opini dapat dibedakan menjadi polimorfis (mempunyai opini dalam banyak bidang) atau monomorfis (mempunyai opini hanya dalam satu bidang), dan (d) network personal radial (dari satu ke banyak orang) lebih penting untuk inovasi dibanding dengan network interlocking di mana individu saling berinteraksi.
Bab 9 membahas masalah yang dihadapi agen perubahan adalah (a) sebagai penengah antara agensi perubahan dan klien dan (b) kemungkinan kesulitan mengolah informasi yang cenderung melimpah; sementara itu, masalah aide lebih parah lagi karena kredibiltas kompetensi atau profesionalismenya diragukan. Tujuh peran agen perubah adalah (a) menumbuhkan kebutuhan dalam diri klien, (b) membangun hubungan pertukaran informasi, (c) mendiagnosa masalah klien, (d) menumbuhkan niat berubah pada klien, (e) menerjemahkan niat klien ke dalam tindakan, (f) menstabilkan adopsi dan mencegah diskontinu adopsi dan (g) mencapai hubungan terminal dengan klien (yaitu ketika klien berubah menjadi agen perubahan). Kesuksesan agen perubahan tergantung pada (a) upayanya menghubungi klien, (b) orientasinya yang lebih kepada klien, bukan pada agensi perubahan,(c) tingkat kesesuaian inovasi dengan kebutuhan klien, (d) empatinya kepada klien, (e) homofilitasnya dengan klien, (f) kredibilitasnya di mata klien, (g) tingkat kesejalanannya dengan pemimpin opini dan (h) kemampuan klien mengevaluasi inovasi. Selanjutnya, hubungan agen perubahan secara positif tergantung pada lebih tingginya klien dalam hal (a) status sosial, (b) partispasi sosial, (c) pendidikan dan (d) kekosmoplitannya. Akhirnya, juga dibahas mengenai sistem difusi sentralistik dipadu dengan sistem difusi desentralistik dan/atau penerapan kedua sistem tersebut disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam sistem difusi sentralistik, difusi dilakukan oleh pemerintah dan/atau ahli; sementara itu, dalam sistem difusi desentralistik, inovasi datang dari ekpserimentasi lokal yang sering dilakukan oleh pengguna itu sendiri dan/atau atas dasar saling tukar informasi untuk mencapai suatu pemahaman bersama. Difusi lewat network horizontal dilakukan unit lokal dengan tingkat kemungkin reinvensi yang tinggi.
Bab 10 mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem stabil dari sejumlah individu yang bekerja sama untuk mecapai tujuan bersama lewat suatu hiearki jabatan dan pembagian tugas. Inovasi dilakukan secara opsional, kolektif atau didasarkan pada otoritas atau inovasi sebelumnya . Sampai tahun 1970-an, inovasi dalam organisasi diteliti dengan riset variansi, yaitu diteliti korelasinya dengan sejumlah variabel bebas. Variabel bebas dan sifat korelasinya dengan keinovatifan (+ atau -) tersebut adalah (a) karakteristik pemimpin: sikap pemimpin terhadap perubahan (+), dst.; (b) karakteristik internal struktur organisasi: sentralisasi (-), kompleksitas (+), formalitas (-), kesalingterkaitan (+), ketersediaan cadangan (+), dst. dan (c ) karakteristik eksternal organisasi: keterbukaan sistem (+), dst. Riset variansi sekarang diganti dengan riset proses inovasi yang mempunyai dua momen, yaitu inisiasi dan implementasi. Dalam inisiasi terdapat tahap agenda setting (perumusan masalah) dan matching (penyelarasan masalah dan solusi), sementara dalam implementasi ada tahap redefinisi/ restruktrurisasi masalah, klarifikasi dan rutinisasi (hasil) inovasi.
Akhirnya, bab 11 mendefinisikan konsekuensi inovasi sebagai perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat dari adopsi suatu inovasi. Konsekuensi inovasi jarang diteliti karena (a) agensi perubahan memberi perhatian terlalu banyak pada adopsi dan mengasumsikan konsekuensi adopsi pasti positif, (b) metode riset survei mungkin tidak cocok untuk meneliti konsekuensi inovasi dan (c) sulitnya mengukur konsekuensi inovasi. Konsekuensi inovasi dapat dibagi menjadi (a) diinginkan vs. tidak diinginkan, (b) langsung vs. tidak langsung dan (c) diantisipasi vs. tidak diantisipasi; sementara itu, dari contoh penggunaan kappa besi di suku Aborijinal, diketahui tiga unsur intrinsik dari inovasi: (a) bentuk: penampakan fisik dan substansi inovasi; (b) fungsi: kontribusi inovasi pada cara hidup adopter dan (c) makna: persepsi subjektif dan sering di bawah sadar dari adopter terhadap inovasi. Hal lain yang berkaitan dengan konsekuensi inovasi adalah tingkat perubahan dalam sistem yang mungkin mengalami (a) kesetimbangan stabil (inovasi tidak menyebabkan perubahan dalam struktur dan/atau fungsi sistem sosial), (b) kesetimbangan dinamis (perubahan yang disebabkan inovasi setara dengan kemampuan sistem sosial untuk menanganinya), atau (c) disequilibrium (perubahan yang disebabkan inovasi terlalu cepat untuk dapat ditangani sistem sosial). Dengan demikian, tujuan dari inovasi adalah untuk mencapai kesetimbangan dinamis. Akhirnya, hal lainnya lagi yang harus dikaji dalam konsekuensi inovasi adalah cara mengatasi kenyataan bahwa inovasi sering memperlebar kesenjangan sosio-ekonomik masyarakat. Beberapa cara tersebut adalah (a) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai akses lebih banyak dibanding orang miskin: pesan disampaikan lewat (a1) cara masal seperti lewat radio atau televisi; penggunaan bahasa yang dimengerti orang miskin; penggunaan multi-media yang didasarkan kondisi sosial budaya orang miskin; penyampaian dalam kelompok kecil di mana orang miskin biasanya berkumpul, dan pengubahan fokus dari sasaran inovasi tradisional (yaitu pada kelompok yang paling berpotensi untuk berubah) ke kelompok yang paling tidak berpotensi untuk berubah; (b) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai akses lebih banyak pada hasil evaluasi inovasi dibanding orang miskin: pemimpin opini orang miskin harus ditemukan (meski pun relatif lebih sulit dibanding dengan menemukan pemimpin opini orang kaya) dan hubungan agen perubahan dikonsentrasikan pada mereka, aide dari kalangan orang miskin digunakan untuk menghubungi kelompok homofilinya dan kelompok formal di kalangan orang miskin diperkuat dan/atau dibina serta ( c) menangani kecenderungan orang kaya mempunyai sumber daya lebih dibanding orang miskin: pemilihan inovasi yang cocok untuk orang miskin; membangun organisasi (misalnya koperasi) di kalangan orang miskin; memberi kesempatan orang miskin berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan inovasi; pengembangan programdan/atau agensi yang diperuntukkan khusus orang miskin dan pergeseran dari difusi inovasi yang datang dari riset dan pengembangan (R & D) formal ke penyebaran informasi tentang gagasan yang didasarkan pada pengalaman lewat sistem difusi desentralistik: sering untuk ikatan intelektual dari kebijakan konvensional adalah eksperimen di lapangan.
Diambil dari:
Dodi Sukmayadi..2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan: Upaya Mencari Model Inovasi (Book Report. Rogers, Everet M. (1983), 3rd, Diffusion of Innovations, The Free Press, N.Y). Bandung Program Pasca Sarjana- Universitas Pendidikan Indonesia.