Saturday, February 27, 2010

BAB IV PELAKSANAAN

A. Rasional dan Tujuan
Tidak ada satu pelaksanaan MPMBS yang seragam untuk semua sekolah. Pelaksanaan MPMBS bukanlah proses sekali jadi bagus hasilnya, tetapi merupakan proses yang berlangsung kontinyu dan melibatkan stakeholders secara aktif yang bertanggung jawab dalam penyelenggaran pendidikan di sekolah. Proses menuju MPMBS memerlukan minimal perubahan empat hal pokok:
(1) perubahan peraturan perundang-undangan pendidikan sekarang ini perlu disesuaikan dari menempatkan sekolah sebagai subordinasi birokrasi dan marjinal menjadi sekolah yang otonom dan sebagai unit utama;
(2) perilaku unsur-unsur sekolah yang tergantung atasan, pasif, reaktif, parsial, individualitik, disintegratif, menyimpang, egoisme, kaku, dan amatiran menjadi perilaku yang mandiri, kreatif, proaktif, sinerjis, koordinatif, integratif, sinkronistis, kooperatif, luwes, dan profesional;
(3) perubahan peran sekolah yang selama ini biasa diatur menjadi sekolah yang bermotivasi diri tinggi; dan
(4) struktur organisasi pendidikan saat ini perlu ditata kembali dan dianalisis sifat hubungannya (komando, koordinatif, dan fasilitatif).
Tahapan pelaksanaan MPMBS berikut ini bersifat umum dan luwes. Tahapan MPMBS dibuat dengan tujuan untuk:
(1) membantu sekolah agar MPMBS dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien;
(2) membantu sekolah dalam menyusun rencana dan program-programnya untuk mendapatkan dukungan dana dari sponsor kompeten, dan
(3) melakukan ujicoba pelaksanaan konsep MPMBS.

B. Tahap-tahap Pelaksanaan
1. Mensosialisasikan konsep MPMBS
MenYosialisasikan konsep MPMBS ke seluruh stakeholder yang terkait melalui pelatihan, workshop, semiloka, diskusi, forum ilmiah, dan media massa. Dalam sosialisasi tersebut, dijelaskan apa, mengapa, dan bagaimana konsep MPMBS diselenggarakan. Kepala sekolah membaca dan membentuk budaya MPMBS di sekolahnya masing-masing. Caranya sebagai berikut. (1) baca dan fahami sistem budaya, sumberdaya yang ada secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya baru yang dapat mendukung MPMBS; (2) identifikasi sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan diubah, kenalkan sistem, budaya baru yang diperlukan untuk menyelenggarakan MPMBS; (3) buatlah komitmen rinci yang diketahui semua unsur yang bertanggungjawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya cukup mendasar; (4) bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasi visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MPMBS, (5) hadapilah status quo terhadap perubahan, jangan menghindar dan menarik diri serta jelaskan perlunya perubahan; (6) garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada sekarang untuk mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MPMBS; dan (7) pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MPMBS (Depdiknas,2002).

2. Identifikasi Tantangan Nyata
Tantangan sekolah adalah selisih hasil sekolah dengan target sekolah. Contoh: siswa yang lulus UAN = 270. Target = 300. Tantangan sekolah = 30 siswa atau 10 persen. Cara untuk mengidentifikasi output yang diharapkan dengan cara prakiraan dengan asumsi-asumsinya untuk menemukan kecenderungan-kecenderungannya. Tantangan sekolah umumnya bersumber dari empat kategori yaitu: mutu, produktivitas, efektivitas, dan efisiensi. Produktivitas adalah perbandingan output dengan input. Efektivitas ialah tingkat pencapaian tujuan atau hasil nyata dibagi target. Efisiensi ialah proses penghematan. Efisiensi internal ialah hubungan output dengan sumberdaya yang digunakan. Efisiensi eksternal ialah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan setelah lulus.


3. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah
a. Visi
Visi ialah mimpi yang dapat diwujudkan. Visi adalah pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa. Gambaran harus didasarkan pada landasan yuridis khususnya tujuan pendidikan nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Contoh visi sekolah: Unggul dalam prestasi berdasarkan imtaq.
Indikator visi:
(1) unggul dalam NEM
(2) unggul dalam persaingan ke pendidikan di atasnya
(3) unggul dalam lomba karya ilmiah remaja
(4) unggul dalam lomba kreativitas
(5) unggul dalam lomba kesenian
(6) unggul dalam lomba olahraga
(7) unggul dalam disiplin
(8) unggul dalam aktivitas keagamaan, dan
(9) unggul dalam kepedulian sosial.
Untuk mengevaluasi kecukupan pengungkapan atas visi sekolah yang baik dapat digunakan daftar simak sebagai berikut:
Tabel 5
Evaluasi Visi Sekolah

No Uraian Ya Tidak
1. Apakah visi cukup jelas?
2. Apakah visi mudah dihafal?
3. Apakah visi menarik?
4. Apakah visi menantang diwujudkan?
5. Apakah visi memberi ilham?
6. Apakah visi memberikan motivasi kepada stakeholder?
7. Apakah visi dilakukan secara partisipatif dengan stakeholder?
8. Apakah visi mempertimbangkan stakeholder sekolah?
9. Apakah visi mempertimbangkan nilai-nilai yang dianut sebagian besar warga sekolah?
10. Apakah visi terkait dengan visi Dinas Pendidikan setempat?

b. Misi
Misi adalah tindakan mewujudkan visi. Dalam merumuskan miss, harus dipertimbangkan tugas pokok sekolah dan kepentingan stakeholders. Contoh misi:
(1) Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif
(2) Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh
warga sekolah.
(3) Mendorong dan membantu siswa mengenali potensi dirinya.
(4) Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan
juga budaya bangsa.
(5) Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh
stakeholder.
Untuk mengecek kecukupan pengungkapan misi sekolah yang baik dapat dapat digunakan daftar simak berikut ini.
Tabel 6
Evaluasi Misi Sekolah
No Uraian Ya Tidak
1. Apakah misi sudah menggambarkan cara untuk mencapai visi ?
2. Apakah misi sesuai tugas pokok dan fungsi sekolah?
3. Apakah misi sesuai dengan visi sekolah?
4. Apakah misi terkait dengan Dinas Pendidikan setempat?
5. Apakah misi terkait dengan Sisdiknas yang dijalankan sekolah?
6. Apakah misi sederhana?
7. Apakah misi jelas?
8. Apakah misi tidak bermakna ganda ?
9. Apakah misi mudah diingat oleh stakeholder?
10. Apakah misi cukup dapat menjelaskan mengapa organisasi sekolah ini ada?

c. Tujuan
Tujuan ialah sesuatu yang akan dicapai/dihasilkan sekolah. Jika misi berjangka waktu lebih dari 5 tahun, maka tujuan berjangka waktu 3-5 tahun. Contoh, sebuah sekolah telah menetapkan 9 indikator visi, tetapi tujuannya sampai 2005 baru mencakup 5 indikator visi sehingga tujuannya menjadi sebagai berikut.
(1) Tahun 2008 nilai peningkatan prestasi meningkat 0,1
(2) Tahun 2008 proporsi lulusan melanjutkan ke sekolah unggul minimal 30%
(3) Tahun 2008 memiliki kelompok KIR dan mampu menjadi finalis LKIR
nasional
(4) Tahun 2008 memiliki tim olah raga mampu menjadi finalis tingkat
propinsi minimal 2 cabang olah raga.
(5) Tahun 2008 memiliki tim kesenian yang mampu tampil di tingkat propinsi
minimal 5 kali tampil.
Untuk mengevaluasi kelengkapan pengungkapan atas tujuan sekolah yang baik dapat digunakan daftar simak sebagai berikut:
Tabel 7
Evaluasi Tujuan Sekolah
No Uraian Ya Tidak
1. Apakah tujuan merupakan penjabaran misi?
2. Apakah tujuan jelas?
3. Apakah tujuan mempertimbangkan faktor internal sekolah?
4. Apakah tujuan mempertimbangkan faktor eksternal sekolah?
5. Aoakah tujuan terkait dengan pelaksanan misi sekolah?
6. Apakah tujuan telah mempertimbangkan nilai-nilai yang dianut sekolah?
7. Apakah tujuan telah mempertimbangkan faktor-faktor kritis yang mempengaruhi keberhasilan sekolah?
8. Apakah tujuan sekolah tidak bertentangan dengan visi Dinas Pendidikan setempat?

d. Sasaran (Tujuan Situasional)
Sasaran ialah penjabaran tujuan. Sasaran harus mengandung peningkatan baik mutu, produktivitas, efektivitas, maupun efisiensi. Sasaran berjangka waktu satu tahun. Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, sasaran harus SMART (Specific, Measurable, Attainable, Realistic, and Time bounding). Walaupun sasaran merupakan penjabaran tujuan, namun dalam penentuan sasaran yang mana dan berapa besarnya harus tetap memperhatikan tantangan nyata yang dihadapi sekolah.
Berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi sekolah, dirumuskanlah sasaran sekolah. Meskipun sasaran sekolah dirumuskan dari tantangan nyata sekolah, namun perumusan sasaran harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah karena visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan sumber pebngertian dalam merumuskan sasaran sekolah. Karena itu, sebelum merumuskan sasaran, harus lebih dahulu merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah.
Sasaran sebaiknya dibuat satu tahun ajaran. Dengan demikian, sasaran untuk satu tahun merupakan tahapan untuk mencapai tujuan jangka menengah misalnya 3 tahun. Saat menetapkan sasaran, prioritas harus dipertimbangkan sungguh-sungguh. Jika tujuan telah dicanangkan 5 aspek, apakah kelimanya digarap tahun pertama atau sebagian saja. Hal ini tregantung kondisi sekolah. Sebagai contoh, sebuah sekolah memutuskan ingin menggarap kelima aspek yang tercantum dalam tujuan, meski baru dalam tahap awal. Saaasaran sekolah untuk tahun ajaran 2005/2006 adalah sebagai berikut:
(1) Tercapainya perolehan nilai prestasi siswa meningkat 0,1
(2) Terwujudnya lulusan yang melanjutkan ke sekolah unggul minimal 30%
(3) Terwujudnya kelompok KIR yang menjadi finalis LKIR nasional
(4) Terwujudnya satu tim olah raga yang menjadi finalis tingkat
propinsi.
(5) Terwujudnya tim kesenian yang mampu tampil di tingkat propinsi
minimal 2 kali tampil.

Untuk mengevaluasi kelengkapan pengungkapan atas sasaran sekolah
yang baik dapat digunakan daftar simak sebagai berikut:.
Tabel 8
Evaluasi Sasaran Sekolah
No Uraian Ya Tidak
1. Apakah sasaran sudah menjabarkan tujuan?
2. Apakah sasaran sudah spesifik (khusus)?
3. Apakah sasaran dapat diukur kuantitasnya?
4. Apakah sasaran bermanfaat bagi sekolah ?
5. Apakah sasaran dapat diwujudkan?
6. Apakah sasaran sudah jelas kapan dimuali dan kapan selesainya?
7. Apakah sasaran sekolah telah dapat dirumuskan secara jelas?
8. Apakah sasaran sekolah telah terstruktur dengan baik?
9. Apakah rumusan sasaran sekolah menggambarkan hasil?
10. Apakah sasaran sekolah yang ditetapkan merupakan penjabaran dari tujuan yang mempunyai kaitan yang erat dengan tujuan?
11. Apakah sasaran sekolah yang ditetapkan tidak mengandung tujuan antara?
12. Apakah sasaran sekolah yang ditetapkan dapat dirinci pencapaiannya setiap tahun?

4. Mengidentifikasi Fungsi-fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran

Setelah sasaran ditetapkan maka langkah berikutnya adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang digunakan untuk mencapai sasaran yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya antara lain fungsi manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program sekolah.

5. Melakukan Analisis SWOT

Analisis SWOT dilakukan untuk mengenali tingkat kesiapan sekolah untuk mencapai sasaran sekolah. Kekuatan adalah faktor dari dalam sekolah yang mendorong pencapaian sasaran. Peluang adalah faktor dari luar sekolah yang mendorong pencapaian sasaran. Kelemahan adalah faktor dari dalam sekolah yang menghambat pencapaian sasaran. Ancaman adalah faktor dari luar sekolah yang menghambat pencapaian sasaran. Analisis SWOT menggunakan tabel berikut ini.
Tabel 9
Analisis SWOT/Tingkat Kesiapan Fungsi dan Faktor-Faktornya

Fungsi dan Faktornya Kriteria Kesiapan Kondisi Nyata Tingkat Kesiapan Faktor
Siap Tidak Siap
A, Fungsi ……..
1. Faktor Internal




2. Faktor Eksternal

a….
b….
c….

a. ……
b. ……
c. …….

a. ….
b. ….
c. ….
d.
a.
b. …..
c. …….


Kekuatan
(Strength)


Peluang
(Opportunity)

Kelemahan
(Weaknesses)


Ancaman
(Threat)
B, Fungsi ……..
1. Faktor Internal




2. Faktor Eksternal

a….
b….
c….

a. ……
b. ……
c. …….

e. ….
f. ….
g. ….
h.
b.
b. …..
c. …….


Kekuatan
(Strength)


Peluang
(Opportun-ity)

Kelemahan
(Weaknesses)


Ancaman
(Threat)
Dan seterusnya
(Depdiknas,2004)

Contoh Analisis SWOT:
(1) Tantangan
NEM rata-rata SMA 3 Kabupaten A tahun ini adalah 40, dan NEM rata-rata yang diharapkan tahun depan adalah 42. Jadi besarnya tantangan adalah 42 – 40 = 2.
(2) Sasaran
“Meningkatkan NEM rata-rata dari 40 pada tahun ini menjadi 42 tahun depan.”
(3) Fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran.

Adapun fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya adalah: fungsi proses belajar menagajar dan fungsi-fungsi pendukungnya, yaitu: fungsi ketenagaan, fungsi kurikulum, fungsi fasilitas, fungsi keuangan, dan fungsi kesiswaan.
Fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran yang telah diidentifikasikan pada butir (3) di atas, semuanya perlu diteliti, diketahui tingkat kesiapannya melalui analisis SWOT. Contoh berikutnya hanya mengambil dua fungsi saja yaitu fungsi proses belajar mengajar dan fungsi kurikulum.
Tabel 10
Cara Pengisian Tabel Analisis SWOT
Fungsi dan Faktornya Kriteria Kesiapan Kondisi Nyata Tingkat Kesiapan Faktor
Siap Tidak Siap
A. Fungsi Manajemen Sekolah
1. Faktor Internal
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
c. Pengawasan
2. Faktor Eksternal
a. Lingkungan fisik
b. Lingkungan sosial
c. Dukungan orang tua
d. Dukungan Pemerintah
Dukungan pengusaha


Mantap
Tepat
Ketat








Catatan: Pengisian sedapat mungkin kuantitatif (Depdiknas,2002)

Analisis SWOT berguna untuk merevisi sasaran yang mungkin terlalu ambisius atau terlalu rendah agar menjadi sasaran yang wajar dan menantang untuk dicapai.

6. Alternatif Langkah Pemecahan Masalah
Dari hasil analisis SWOT dapat dilakukan tindakan yang diperlukan untuk merubah fungsi yang tidak siap menjadi siap. Tindakan ini disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang pada hakekatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan menjadi kekuatan, dan ancaman menjadi peluang.

7. Menyusun Rencana dan Program Sekolah
Rencana peningkatan mutu meliputi jangka pendek, menengah, dan panjang serta program-program untuk merealisasikan rencana tersebut. Karena sekolah selalu terbatas sumberdayanya, maka perlu ditetapkan skala prioritas. Rencana harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang: siapa yang melakukan, apa yang dilakukan, bilamana dilakukan, di mana dilakukan, bagaimana melakukan dan bagaimana biayanya. Hal ini untuk memudahkan pelaksanaan dan dukungan moral maupun finansial dari
stakeholders. Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh seklah dalam menyusun rencana adalah keterbukaan kepada stakeholders khususnya orang-tua/Dewan Sekolah. BP3 saat ini perlu dimekarkan menjadi Komite Sekolah yang terdiri atas: (1) orang-tua siswa, (2) wakil siswa, (3) wakil sekolah, (4) wakil organisasi profesi, (5) wakil pemerintah, (6) wakil publik, dan (7) wakil alumni.
Jika rencana merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan sekolah, maka program adalah alokasi sumberdaya sekolah ke dalam kegiatan menurut jadwal waktu dan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah bentuk dokumen yang menggambarkan langkah mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan (Diknas,2002).
Alur berpikir pembuatan rencana dan program sekolah seperti Gambar 1..
8. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Sekolah hendaknya: (1) proaktif melaksanakan rencana yang sudah disetujui stakeholders; (2) mendayagunakan sumberdaya pendidikan semaksimal mungkin, (3) menggunakan pengalaman-pengalaman yang efektif, teori-teori yang cocok untuk meningkatkan mutu; (4) bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program karena itu harus bebas dari keterikatan birokratis yang biasanya menghambat penyelenggaraan pendidikan; (5) menerapkan konsep belajar tuntas (mastery learning). Artinya siswa harus menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan pembelajaran ke topik-topik lain. Untuk menghindari berbagai penyimpangan kepala sekolah harus melakukan supervisi dan monitoring kegiatan-kegiatan peningkatan mutu. Kepala sekolah sebagai manajer dan leader berhak mengarahkan, mendukung, dan menegur jika akan terjadi dan terjadi penyimpangan. Tetapi, arahan, dukungan, dan teguran tersebut jangan sampai membuat warga sekolah menjadi amat terkekang sehingga sasaran tidak tercapai (Depdiknas,2002).























Gambar . Alur Pikir Pembuatan Rencana dan Program Sekolah

9. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan
Evaluasi pelaksanaan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program. Sekolah perlu melakukan evaluasi pelaksanaan program baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir catur wulan. Jangka menengah setiap akhir tahun. Jangka panjang setiap akhir lima tahun. Dalam melakukan evaluasi kepala sekolah harus melibatkan stakeholders. Sebelum melakukan evaluasi perlu disepakati sejak awal indikator-indikator keberhasilan setiap program. Hasil evaluasi perlu dibuat laporannya yang terdiri laporan teknis dan keuangan Jika sedkolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan, maka pendapatan tambahan itu harus dilaporkan sebagai bentuk pertangungjawaban (akuntabilitas) yang dikirimkan kepada atasan dan dewan sekolah.
10. Sasaran Baru
Hasil evaluasi pelaksanaan dapat dipakai untuk alat perbaikan kinerja program yang akan datang. Hasil evaluasi merupakan umpan balik atau masukan bagi sekolah dan orang tua siswa untuk merumuskan sasaran program baru untuk tahun yang akan datang. Bila dianggap berhasil maka sasaran dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumber daya yang tersedia. Jika gagal maka sasaran dapat saja tetap seperti sedia kala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Setelah sasaran baru ditetapkan, selanjutnya dilaksanakan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi manajemen dalam sekolah sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam rangka penyusunan rencana dan program baru.
C. Tugas dan Fungsi Sekolah
1) Menyusun rencana dan program pelaksanaan MPMBS dengan
melibatkan stakeholders.
2) Mengkoordinasikan dan menyerasikan segala sumberdaya di sekolah
dan di luar sekolah untuk mencapai sasaran MPMBS.
3) Melaksanakan program MPMBS secara efektif dan efisien dengan
menerapkan prinsip Total Quality Management (TQM) dan
pendekatan sistem.
4) Melaksanakan pengawasan dan pembimbingan pelaksanaan MPMBS
sehingga kejituan implementasi dapat dijamin untuk mencapai
sasaran MPMBS..
5) Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi pencapaian
sasaran MPMBS yang telah ditetapkan. Hasilnya untuk menentukan
sasaran baru MPMBS tahun berikutnya.
6) Menyusun laporan pelaksanaan MPMBS beserta hasilnya secara lengkap
dan benar untuk disampaikan kepada Dinas Pendidikan
kabupaten/kota, komite sekolah dan yayasan (bagi sekolah swasta.
7) Mempertanggugjawabkan hasil pelaksanaan MPMBS kepada stakeholder (Depdiknas,2002).
D. Contoh Supervisi Pembinaan Pelaksanaan MPMBS
Contoh pembinaan pelaksanaan MPMBS dapat menggunakan tabel berikut
Tabel 11
Instrumen Observasi Pelaksanaan MPMBS
Nama Pengawas : Sugiharto
Nama Sekolah : .........

No. Pelaksanaan MPMBS Pelaksanaan Masalah
Pemecahan
Baik Belum Baik
1 2 3 4 5
1. Sosialisasi
2. Identifikasi Tantangan Sekolah
3. a. Membuat visi
b. Membuat misi
c. Membuat tujuan
d. Membuat sasaran
4. Identifikasi Fungsi-fungsi yang Diperlukan
5. Analisis SWOT
6. Alternatif Pemecahan Masalah
7. Rencana dan Program Sekolah
8. Implementasi Rencana dan Program Seklah
9. Evaluasi Pelaksanaan
10. Sasaran baru

E. Rangkuman
1. Proses menuju MPMBS memerlukan minimal perubahan 4 hal pokok.
2. Tahap-tahap pelaksanaan MPMBS ada 10.
3. Tugas dan fungsi sekolah dalam pelaksanaan MPMBS ada 7.

BAB III KONSEPSI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A. Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Masa Depan

Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pola lama manajemen pendidikan yang sentralistik ternyata tidak berdaya meningkatkan mutu pendidikan .nasional. Sejalan dengan telah diberlakukan otonomi daerah sejak 1 Januari 2001 ini maka sekolah-sekolah melakukan penyesuaian diri dari pola lama manajemen menuju pola baru manajemen bernuansa otonomi yang lebih demokratis. Perubahan dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan seperti tabel berikut ini.
Tabel 2
Dimensi-Dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
Paradigma Lama Ke Paradigma Baru
Sistem pemerintahan sentralistik-birokratik
Desentralistik dan otonomi daerah
Pengambilan keputusan, kebijakan, perencanaan, program, kegiatan; terpusat
Pengambilan keputusan, kebijakan, perencanaan, program, kegiatan; partisipatif
Penyusunan program kegiatan berdasarkan selera pejabat
Berdasarkan prioritas kepentingan rakyat secara partisipatif
Laporan keuangan berbasis mempertahankan kekuasaan
Berbasis kinerja
Tindakan kaku (otoriter)
Luwes, demokratis
Atasan) minta dilayani
Atasan melayani rakyat (bawahan)
Banyak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Bersih dari KKN
Status qua (statis)
Berubah menjadi lebih baik (dinamis)
Menggunakan manajemen marah dan otoriter Menggunakan manajemen ramah dan egaliter, demokratis
Bawahan takut berpendapat, dan bertindak
Bawahan berani berpendapat dan bertindak kadang-kadang kebablasan
Atasan kebal saran , tersinggung
Meminta saran dan berterima kasih
Perbedaan pendapat dianggap menentang , musuh, harus sama.
Dianggap berkah dan diambil hikmahnya
Overregulasi
Deregulasi
Pemerintah ikut melaksanakan
Fasilitator dan regulator
Program dan keuangan tertutup
Terbuka
Penempatan orang berdasarkan kepangkatan (birokratik)
Penempatan orang berdasarkan kompetensi (profesional)
Mengontrol
Mempengaruhi
Mengarahkan
Memfasilitasi
Menghindari resiko
Mengelola resiko
Gunakan uang semuanya
Gunakan uang seefisien mungkin
Individual cerdas
Teamwork cerdas
Informasi terpribadi,dsimpan
Informasi terbagi, dijelaskan
Pendelegasian
Pemberdayaan
Organisasi hirarkis
Organisasi datar
Pendidikan lingkungan kurang diperhatikan
Pendidikan lingkungan diperhatikan dan masuk dalam UU Sisdiknas
Memperdayakan perempuan
(tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, jangan menjadi pemimpin atau pejabat)
Memberdayakan perempuan
(perlu sekolah setinggi-tingginya, boleh menjadi pemimpin atau pejabat agar sederajat dengan pria)
Anggaran pendidikan rata-rata di bawah 5% APBN dan APBD Minimal 20% APBN, minimal 20% APBD mulai 2009 nanti.

B. Konsep Dasar MPMBS
Secara konseptual, MPMBS difahami sebagai salah satu alternatif pilihan formal untuk mengelola struktur penyelenggaraan pendidikan yang terdesentralisasi dengan menempatkan sekolah sebagai unit utama peningkatan. Konsep ini memberikan redistribusi kewenangan para pembuat kebijakan sebagai unsur paling mendasar untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan. Di pihak lain, MPMBS merupakan cara untuk meningkatkan motivasi kepala sekolah agar lebih bertanggung jawab terhadap mutu peserta didik. Untuk itu, sudah selayaknya kepala sekolah mengembangkan program-program kependidikan secara menyeluruh dalam melayani segala kebutuhan peserta didik di sekolah. Seluruh warga sekolah seyogyanya menyambut hal ini dengan merumuskan program sekolah yang lebih prioritas dan operasional sebab merekalah yang paling mengetahui akan kebutuhan peserta didiknya dan yang terbaik bagi peserta didiknya. Inilah filosofis MPMBS paling mendasar.
MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibelitas lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah untuk meningkatkan partisipasi stakeholder untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah dan untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional (Depdiknas, 2002). Oleh sebab itu, esensi MPMBS = otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu pendidikan (Depdiknas,2002). .

C. Karakteristik MPMBS
MPMBS memiliki karakteristik yang harus dipahami oleh sekolah yang menerapkan. Jika sekolah ingin sukses, maka sekolah harus memiliki karakteristik MPMBS yang diharapkan. Berbicara karakteristik MPMBS tidak terlepas dari karakteristik sekolah yang efektif. Jika MPMBS merupakan wadahnya, maka karakteristik MPMBS merupakan isinya. Dengan memandang karakteristik MPMBS sebagai sistem, uraian karakteristik MPMBS didasarkan atas input, proses, dan output.

1. Output yang Diharapkan
Output pendidikan adalah kinerja (prestasi) sekolah. Kinerja sekolah dihasilkan dari proses.pendidikan. Output pendidikan dinyatakan tinggi jika prestasi sekolah tinggi dalam hal:
(1) prestasi akademik siswa berupa nilai ulangan umum, Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN), Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), lomba karya ilmiah remaja, lomba Bahasa Inggris, Lomba Fisika, Lomba Matematika;
(2) prestasi nonakademik siswa seperti imtaq, kejujuran, kerjasama, rasa kasih sayang, keingintahuan, solidaritas, toleransi, kedisiplinan, kerajinan, prestasi olahraga, kesopanan, olahraga, kesenian, kepramukaan, keterampilan, harga diri, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh tahapan kegiatan yang saling mempengaruhi (proses) yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan; dan
(3) prestasi lainnya seperti kinerja sekolah dan guru meningkat, kepuasan, kepemimpinan kepala sekolah handal, jumlah peserta didik yang berminat masuk ke sekolah meningkat, jumlah putus sekolah menurun, guru dan tenaga tata usaha yang pindah dan berhenti berkurang, peserta didik dan guru serta tenaga tata usaha yang tidak hadir berkurang, hubungan sekolah-masyarakat meningkat, dan kepuasan stakeholder meningkat.

2. Proses Pendidikan
Proses ialah berubahnya sesuatu (input) menjadi sesuatu yang lain (output). Di tingkat sekolah, proses meliputi pelaksanaan administrasi dalam arti proses (fungsi) dan administrasi dalam arti sempit.
Sekolah yang efektif memiliki:
a. PBM yang efektivitasnya tinggi;
b. kepemimpinan sekolah yang kuat;
c. lingkungan sekolah yang aman dan tertib;
d. penggelolaan tenaga pendidik dan kependidikan yang efektif;
e. memiliki budaya mutu;
f. memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis;
g. memiliki kewenangan (kemandirian);
h. partisipasi stakeholder tinggi;
i. memiliki keterbukaan manajemen;
j. memiliki kemauan dan kemampuan untuk berubah (psikologis dan fisik);
k. melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan;
l. responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan;
m. komunikasi yang baik;
n. memiliki akuntabilitas; dan
o.sekolah memiliki sustainabilitas (Depdiknas,2002).
Uraiannya adalah sebagai berikut.
a. PBM yang Efektivitasnya Tinggi
PBM yang efektivitasnya tinggi antara lain ditunjukkan oleh suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan (pakem) dan bermakna bagi semua pihak baik peserta didik maupun pendidik dan tenaga kependidikan. Semua pihak merasa betah di sekolah karena pelajarannya menarik, lingkungan kelas nyaman dan aman, peserta didik aktif dan guru hanya sebagai fasilitator, pelajaran tidak mengutamakan hafalan tetapi menginspirasi peserta didik untuk berpikir kreatif-inovatif. Guru yang baik (good teacher) baru mampu mendongeng, guru yang lebih baik (better teacher) baru mampu menerangkan, guru terbaik (best teacher) baru mampu mendemonstrasikan, guru termasyhur (excellent teacher) mengispirasikan peserta didiknya. Tujuan belajar mampu membuat peserta didik: belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk bertindak atau bekerja (learning to do), belajar untuk mampu hidup bersama secara tenteram dan damai (learnig to live together), dan belajar untuk menjadi diri sendiri (memiliki identitas diri dan mandiri) (learning to be).
PBM yang efektifnya tinggi adalah PBM yang mampu menghasilkan lulusan atau droup-out yang dapat menciptakan lapangan kerja bukan mencari lapangan kerja sehingga lulusan terdidik yang menjadi penganggur terdidik dapat dikurangi jika mungkin dicegah. Karena mereka memiliki kompetensi yang diharapkan dunia kerja. Untuk maksud itu, pelajaran yang diberikan hendaknya berbasis kompetensi dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
PBM yang efektifnya tinggi mampu menjadikan belajar sebagai ibadah baik dalam arti sebenarnya maupun arti singkatan. IBADAH singkatan dari mendapatkan Ilmu, Bais (memilah dan memilih yang bermanfaat dengan hati nurani), Amal (harus diterapkan), Diskusi (untuk mendapatkan masukan perbaikan), Aset (bekal atau modal hidup di dunia), dan Harapan (bahagia di dunia dan akhirat.
PBM yang efektifnya tinggi juga tercermin dari perubahan perilaku peserta didik seperti tabel berikut ini.
Tabel 3
Perubahan Perilaku Pesera Didik yang Diharapkan
Dari bodoh menjadi pandai Berpikir cerdas Cipta Head
Logos Ilmu Pengenalan Kognitf
Dari nakal menjadi baik, dari malas menjadi rajin Bekerja dengan hati ikhlas Rasa Heart Ethos Iman Penghayatan Afektif
Dari tidak terampil menjadi terampil dalam bekerja Bekerja keras Karsa Hand Pathos Amal Pengamalan Psikomo-
tor


b. Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Kepemimpinan yang kuat dalam arti harfiah ialah kepemimpinan kepala sekolah yang tangguh. Sedangkan dalam arti singkatan KUAT yaitu kepemimpinan yang Kridibel (dapat dipercaya karena kejujuran dan komitmennya terhadap diri sendiri dan lembaga sekolah), Usaha keras untuk mewujudkan visi dan misinya. Akseptabel dan akuntabel (diterima bawahannya dan dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinannya), Terampil secara konseptual (memiliki ipteks), sosial (mampu bergaul dan miliki jaringan kerja yang luas atau networking), dan teknikal (agar lebih berwibawa dan tidak mudah dikelabui bawahannya).
Kepemimpinan yang kuat juga berarti kepemimpinan yang mampu menyejahterakan bukan menyengsarakan bawahannya, mampu memberdayakan bukan memperdayakan bawahannya, pandai merasakan bukan merasa pandai (selalu menggurui) bawahannya. Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan yang memiliki vision (visi) yang jelas baik dalam arti sebenarnya maupun dalam arti singkatan. VISION dalam arti singkatan adalah setiap pemimpin harus memiliki Vision (visi), Inspiration (memberi ilham), Strategy orientation (orientasi jangka panjang), Organizational sophisticated (memahami dan berorganisasi dengan canggih), dan Nurturing (memelihara keseimbangan, keharmonisan antara tujuan sekolah dengan tujuan individu warga sekolah atau peka terhadap tujuan individu bawahannya) (Gutrie & Reed,1991).
Kepemimpinan yang kuat seperti yang diungkapkan di atas adalah kepemimpinan yang mampu memberdayakan stafnya. Baik dalam arti sesungguhnya maupun dalam arti singkatan. Kepemimpinan yang memiliki STAF adalah kepemimpinan yang Sidiq (jujur, dapat dipercaya). Tabliq (mengajak pada kebaikan menjauhi kejahatan. Amanah (titipan Allah dan harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat). Fathonah (memiliki kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan spiritual).
Kepemimpinan yang kuat juga bermakna kepemimpinan yang menjadi bintang (star) di organisasinya baik dalam arti kiasan maupun singkatan. Menjadi bintang dalam arti kiasan ialah kepemimpinannya mampu mengarahkan bawahannya dengan jelas ke mana sekolah hendak dibawa atau dituju. STAR dalam arti singkatan adalah Share goal (tujuan bersama yang jelas dan ingin dicapai), Teamwok (tim kerja yang solid), Autonomy (otonomi berpikir dan otonomi dalam mengambil keputusan), Reward (memberi hadiah bagi yang berprestasi dan memberi sanksi bagi yang tidak berprestasi) (Alberct,1983).
Kepemimpinan yang kuat juga berarti kepemimpinan yang mampu memimpin (lead) baik dalam arti sesbenarnya maupun dalam arti singkatan.
LEAD dalam arti singkatan adalah Listen to your team and client (Jadilah pendengar yang baik bagi tim dan pelanggan), Encourage motivate (membangkitkan motivasi). Deliver (menyampaikan untuk berbuat yang terbaik) (Verma,1996). Membangkitkan motivate baik dalam arti sesungguhnya maupun singkatan. MOTIVATE adalah singkatan dari Manifest confidence when delegating (mengungkapkan kepercayaan ketika mendelegasikan wewenang), Open communication (komunikasi terbuka), Tolerance of failure (toleran terhadap kesalahan karena pengalaman adalah guru yang terbaik), Involve participate (terikat dalam keikutsertaan), Value what gets rewarded (mengetahui nilai ganjaran apa yang akan didapat), Align objective (tujuan yang akan dicapai jelas batasannya), Trust your team (kejujuran dalam tim), dan Empower (pemberdayaan sesuai dengan tugas pokok dan kewenangan masing-masing). (Verma,1996).
Kepemimpinan yang kuat adalah baik ada boss (atasan) maupun tidak ada boss di tempat, semua pekerjaan selesai dengan baik. Kepemimpinan sekolah kejuruan yang kuat harus memiliki keahlian teknik baik dalam arti sebenarnya maupun singkatan. TEKNIK singkatan dari Terampil secara konseptual, sosial, teknikal, spiritual, dan finansial.. Etos kerja yang tinggi. Keberanian mengambil resiko dengan penuh perhitungan. Negosiasi saling menguntungkan. Intuisi bisnis.Kewiraswastaan. Akhirnya, kepemimpinan kepala sekolah yang tangguh adalah kepemimpinan yang mampu menerapkan manajemen pendidikan baik sebagai proses atau fungsi maupun manajemen pendidikan sebagai tugas (manajemen sekolah).
Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpin yang efektif. Kepemimpinan yang efektif menurut Curtis & manning (2003) adalah kepemimpinan yang mampu: (1) menggunakan fakta, (2) menciptakan visi, (3) memotivasi orang, dan (4) memberdayakan orang.
(1) Menggunakan fakta:
(a) Mencari fakta melalui berbagai sumber
(b) Menggunakan analisis SWOT untuk menentukan strategi sekolah
(c) Memahami motivasi staf
(d) Menganalisis bagaimana agar staf bekerja efektif dalam kelompoknya
(e) Mengetahui kemampuan dan motivasi saya
(2) Menciptakan visi
(a) Memahami nilai-nilai
(b) Melibatkan staf dalam membuat visi
(c) Menjelaskan gambaran masa depan sekolah
(d) Mengembangkan strategi untuk kesuksesan kerja tim
(e) Mengatur dan membuat action plan
(3) Memotivasi orang
(a) Mendorong staf untuk memncapai tujuan
(b) Mengkomunikasikan standar mutu dan kinerja yang harus dicapai
(c) Menunjukkan prhatian kepada staf
(d) Menumbuhkan rasa percaya diri staf
(e) Mengajak staf mencapai tujuan kelompok sesuai dengan target
(4) Memberdayakan orang .
(a) Menghargai staf yang berprestasi
(b) Mengembangkan kemampuan staf misalnya mengirim ikut pelatihan
(c) Memungkinkan staf berperasaan dan bertindak seperti pemimpin
(d) Merangsang staf berpikir kreatif dalam memacahkan masalah
(e) Membangun semangat meneyelesaikan tugas dengan baik
dengan melibatkan staf.
c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib adalah lingkungan yang dapat memberikan susana PBM yang efektivitasnya tinggi seperti yang disebutkan di atas. Oleh sebab itu, peranan kepemimpinan kepala sekolah yang kuat sangat diperlukan. Sekolah yang mana adalah sekolah yang mampu memberikan rasa aman bagi warga sekolah. Untuk menciptakan rasa aman tersebut, maka konstruksinya harus kuat, sesuai standar yang berlaku; bentuknya indah, sirkulasi udara dan cahaya aman terhadap kesehatan, ukuran perabot dan perletakannya aman terhadap kesehatan. Sekolah memiliki alat pemadam kebakaran, penjaga sekolah, pagar keliling, jauh dari tempat maksiat dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan rasa tidak aman. Sekolah yang tertib adalah sekolah yang menerapkan peraturan tanpa pandang bulu, mampu menciptakan disiplin warga sekolah dengan baik.
d. Pengelolaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan yang Efektif
Tenaga pendidik dan kependidikan harus dikelolola secara efektif. Artinya mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan pengadaannya, penempatan secara profesional dan proporsional (pada orang dan tempat yang tepat atau the right man in the right place), pengembangan (diklat, studi lanjut, job description, job enlargement, job enrichment, job rotation), penilaian kinerja, penggajian, sampai pensiun merupakan garapan penting kepala sekolah. Sebagai tenaga pendidik ia harus dikelola sebagai guru baik dalam arti sebenarnya maupun dalam arti singkatan.
Guru merupakan singkatan Gagasan, Usaha, Rasa, dan Uang. Setiap guru harus mempunyai gagasan (ipteks) yang cemerlang sehingga mampu mengembangkan tujuan pengajaran, materi pelajaran, motede dan media mengajar, penilaian belajar dengan baik. Gagasan itu tidak hanya dalam tataran teori atau khayalan tetapi harus diwujudkan melalui doa dan usaha keras. Guru juga harus memiliki rasa asah, asuh, dan asih agar kehadirannya diharapkan peserta didik, kepergiannya dikenang dan ditangisi peserta didik. Kemudian yang terakhir tetapi tidak kalah pentingnya adalah guru harus punya uang (sejahtera lahir batin). Sulit dibayangkan guru mengajar di depan kelas sementara pikirannya sedang bingung untuk mencari uang guna keperluan dirinya dan keluarganya. Sangat ironis, guru kerja keras mengajar anak orang lain, sementara anaknya sendiri tidak dapat sekolah karena ketiadaan biaya. Sungguh sangat ironis ada guru yang menjadi tukang ojek sementara penumpangnya adalah siswanya atau orang-tua siswanya sendiri. Pertanyaannya, di mana kewibawaan guru tersebut?. Waktu guru bukan habis untuk menyiapkan pelajaran tetapi habis mencari uang ke sana ke mari. Terlebih-lebih di jaman materialistis sekarang ini, seseorang dinilai, dihormati, disegani, ditakuti karena kekayaannya. Tantangan sekaligus peluang yang dihadapi sekolah ialah bagaimana memberdayakan sekaligus menyejahterakan tenaga pendidik dan kependidikan dalam manajemen berbasis sekolah?
e. Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu ialah semua pikiran, perasaan, dan tindakan diarahkan untuk meningkatkan mutu. Salah satu ciri manusia Indonesia menurut Koentjaraningkat (1992) ialah meremehkan mutu. Hal ini terjadi karena kemiskinan dan kebodohan bangsa kita akibat penjajah. Penjajah sengaja membuat miskin dan bodoh bangsa kita agar mudah dijajah, mudah dikendalikan, dan mudah diperintah. Orang kaya biasanya susah diperintah dan mau bekerja kalau bayarannya sesuai. Sebaliknya, orang miskin mudah diperintah dan mau bekerja dengan bayaran terserah yang memerintah. Orang bodoh juga biasanya lebih mudah diperintah dibandingkan orang pandai. Orang pandai biasanya memprotes jika perintah tidak masuk akal, boros, dan tidak efektif. Orang pandai sulit diperintah karena rasa keakuannya (egois) tinggi. Orang miskin dan bodoh cenderung sesuatu yang banyak, murah sekaligus kurang bermutu, makanpun ingin banyak dan murah dengan konsekuensi kurang bergizi. Karena baru sampai di sinilah kemampuannya. Hal ini terbawa-bawa ke dunia pendidikan dengan sistem target lulusan sebanyak-banyaknya. Dengan sistem target kuantitas sebanyak-banyaknya, maka mutu agak diremehkan. Sulit bagi dunia pendidikan mengahsilkan lulusan sebanyak-banyaknya dengan mutu setinggi-tingginya. Biasanya hukum alam berlaku, yang bermutu itu sedikit.
Target lulusan di sekolah-sekolah dan dinas-dinas pendidikan telah diseragamkan dengan target-target benda mati yang tidak berpikiran dan berperasaan misalnya disamakan dengan target panen padi sekian ton di Dinas Pertanian, target kopi, karet, kelapa sawit di Dinas Perkebunan, target penangkapan ikan di Dinas Perikanan dan Kelauatan, dan sebagainya.
Dalam menerapkan MPMBS budaya mutu harus dimiliki. Peningkatan mutu dapat diupayakan dengan berbagai teknik manajemen seperti: Total Quality Management (TQM), Total Quality Control (TQC), Quality Cyrcle Control (QCC), Malcorn Baldrige Quality Award, Deming Prize, International Standard Organization (ISO) 9000 dan sebagainya. Penyebabnya rendahnya mutu pendidikan disebabkan mutu input, dan prosesnya yang rendah.
f. Memiliki teamwork yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Sekolah harus memiliki teamwork yang kompak (solid), cerdas, dan dinamis baik dalam arti sebenarnya maupun singkatan. TEAMWORK dalam arti singkatan adalah Together (bersama-sama, gotong royong), Empathy (saling merasakan), Assist (saling menolong), Maturity (saling dewasa), Willingness (saling memberi dan mengerti), Organization (saling tertata dengan baik), Respect (saling menghormati), dan Kindness (saling berbuat kebaikan(Jalal & Supriadi, 2001). Yang perlu ditanamkan dalam setiap anggota teamwork adalah kebersamaan, filsafat sapu lidi, bercerai kita runtuh bersatu kita teguh. Keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan bukanlah hasil kerja kepala sekolah atau guru atau peserta didik sendiri-sendiri tetapi berkat kerjasama seluruh warga sekolah karena sekolah sebagai sistem yang terdiri atas input, proses, dan output harus bersinerji dalam mencapai tujuannya.
Ciri-ciri kelompok yang efektif menurut Curtis & Manning (2003) adalah: (1) memiliki misi yang jelas, (2) suasana informal, (3) banyak diskusi, (4) menjadi pendengar yang baik, (5) kepercayaan dan keterbukaan, (6) menerima perbedaan untuk diambil hikmahnya, (7) kritis terhadap isu-isu, (8) sepakat dan taat terhadap norma-norma, (9) memiliki kepemimpinan yang efektif, (10) penilaian objektif, (11) berbagi nilai dan perilaku, dan (12) memiliki komitemen yang kuat.
g. Memiliki Kewenangan (Kemandirian)
Sekolah harus memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan terbaik bagi sekolahnya karena sekolahlah yang paling tahu yang terbaik bagi dirinya. Agar sekolah memiliki kemandirian maka sekolah harus memiliki sumberdaya yang memadai. Sekolah yang mandiri adalah sekolah yang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, mampu berdiri sendiri, mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, mampu memerintah dan mengatur diri sendiri, berpandangan terbuka, adil, dan netral.
h. Partisipasi Stakeholder Tinggi
Sekolah harus memiliki partispasi stakeholder yang tinggi karena partisipasi stakeholder yang tinggi dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan adalah dalam hal program dan keuangan. Kerjasama ialah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar stakeholder yang erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kelektif kerja tim yang kuat dan cerdas (Depdiknas,2002). Demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembaga melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak aasasi manusia serta kewajibannya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan (Depdiknas,2002). Partisipasi stakeholder dapat pula dilakukan dalam mendisain PBM yang disebut dengan model IMPACT (Intructional Management, Parent, Cummunity, and Teachers).
i. Memiliki Keterbukaan Manajemen
Keterbukaan manajemen terutama dalam hal penggunaan dan laporan keuangan sekolah. Adanya keterbukaan dapat mengurangi bahkan menghilangkan rasa saling curiga antara pengelola keuangan dengan stakeholder. Sekolah yang dicurigai akan ditinggalkan stakeholder-nya. Akhirnya, sekolah tersebut akan tutup atau bubar.
j. Memiliki Kemauan dan Kemampuan untuk Berubah
Berubah di sini adalah ada peningkatan dari tidak baik menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik lagi atau berubah menuju kepada kesempurnaan. Kemapanan atau status quo adalah musuh sekolah karena itu sekolah yang tidak berubah akan ketinggalan jaman dan ditinggalkan stakeholder-nya. Akhirnya sekolah tersebut akan tutup.
k. Melakukan Evaluasi dan Perbaikan secara Berkelanjutan

Sekolah harus melakukan evaluasi untuk meningkatkan proses PBM dan hasil belajar (output sekolah). Sekolah juga harus melakukan perbaikan secara berkelanjutan (terus-menerus) yang disebut Kaizen. Jika perlu tiada hari tanpa perbaikan. Perbaikan dimulai dari diri sendiri, dari yang mudah-mudah, dan dari yang kecil-kecil. Bila sekolah tidak melakukan evaluasi dan perbaikan terus-menerus, maka lama-kelamaan sekolah itu akan merosot mutunya dan ditinggalkan stakeholder-nya. Akhirnya sekolah tersebut akan tutup.
l. Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah harus tanggap (responsif) terhadap kebutuhan stakeholder. Bila sekolah tidak tanggap akan kebutuhan stakeholder, maka lama-kelamaan sekolah itu akan ditinggalkan stakeholder. Akhirnya sekolah tersebut akan tutup. Sekolah juga harus antisipatif terhadap kebutuhan stakeholder. Untuk mengetahui kebutuhan stakeholder, sekolah harus melakukan jemput bola menanyakan apa sebenarnya dibutuhkan mereka. Bila sekolah tidak antisipatif akan kebutuhan stakeholder, maka lama-kelamaan sekolah itu akan ditinggalkan stakeholder-nya. Akhirnya sekolah tersebut akan tutup.
m. Komunikasi yang Baik
Komunikasi yang baik ialah kemampuan menyampaikan pendapat baik secara tertulis, lisan, maupun bahasa isyarat. Di samping itu, mampu pula menerima pesan atau pertanyaan baik secara tertulis, lisan, maupun bahasa isyarat. Banyak kegagalan sekolah terjadi karena kegagalan warganya berkomunikasi dengan baik. Sekolah yang tidak komunikatif akan ditinggalkan stakeholder-nya dan akhirnya sekolah itu akan tutup.
n. Memiliki Akuntabilitas
Sekolah harus memiliki akuntabilitas berupa laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan program dan keuangannya melalui Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Sekolah (LAKIS). LAKIS ini disampaikan kepada stakeholder atau komite sekolah dalam suatu rapat sekolah. Selanjutnya, komite sekolah diberi kesempatan secukupnya untuk mempelajari LAKIS tersebut untuk diterima atau ditolak. Bila LAKIS ditolak, Kepala Sekolah harus merevisinya atau diadakan tindakan hukum. Sekolah yang tidak akuntabel akan ditinggalkan stakeholder-nya dan akhirnya sekolah tersebut tutup.
o. Sekolah Memiliki Sustainabilitas
Sekolah harus memiliki sustainabilitas atau keberlangsungan hidupnya agar tetap hidup (buka). Kebanyakan sekolah tutup karena tidak sanggup mempertahankan sustainabilitasnya. Sekolah yang tidak sustainabilitas karena ketiadaan sumberdaya yang memadai untuk hidup terus. Contohnya: sekolah akan tutup kalau proyek yang membiayainya habis. Sekolah yang tidak sustainabilitas lama-kelamaan akan ditinggalkan stakeholder-nya. Akhirnya sekolah tersebut akan tutup.
3. Input Pendidikan
Input adalah sesuatu yang harus tersedia untuk berlangsungnya proses. Input juga disebut sesuatu yang berpengaruh terhadap proses. Input merupakan prasyarat proses. Input terbagi empat yaitu input SDM, input sumberdaya, input manajemen, dan input harapan.
Input SDM meliputi: kepala sekolah, guru, pengawas, staf TU, dan siswa. Input sumberdaya lainnya meliputi: peralatan, perlengkapan, uang, dan bahan). Input perangkat (manajemen) meliputi: struktur organisasi, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, kurikulum, rencana, dan program. Input harapan meliputi: visi, misi, strategi, tujuan, dan sasaran sekolah.
Input pendidikan meliputi: (1) memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas; (2) sumberdaya tersedia dan siap, (3) staf yang kompeten dan berdekasi tinggi; (4) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (5) fokus pada pelanggan (khususnya siswa), dan (6) manajemen (Depdiknas, 2002).
Tinggi rendahnya mutu input tergantung kesiapan input. Makin tinggi kesiapan input, makin tinggi pula mutu input. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses berjalan dengan baik. Proses bermutu tinggi bila pengkoordinasian, penyerasian input harmonis sehingga mampu menciptakan situasi belajar yang menyenangkan, mampu mendorong motivasi belajar, dan benar-benar memberdayakan siswa. Memberdayakaan siswa mengandung makna siswa menguasai ipteks yang diajarkan, menghayati, mengamalkan, dan mampu belajar cara belajar (mampu mengembangkan dirinya). Output bermutu tinggi bila sekolah menghasilkan prestasi akademik dan nonakademik siswa, dan prestasi lainnya seperti yang telah diungkapkan di atas.

D. Fungsi-fungsi yang Didesentralisasikan ke
Sekolah
Fungsi-fungsi yang didesentralisasikan oleh pemerintah pusat ke sekolah-sekolah antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Pengelolaaan PBM.
(2) Perencanaan dan evaluasi.
(3) Pengelolaan kurikulum.
(4) Pengelolaan ketenagaan.
(5) Pengelolaan fasilitas (peralatan dan perlengkapan).
(6) Pengelolaan keuangan.
(7) Pengelolaan siswa.
(8) Hubungan sekolah-masyarakat.
(9) Pengelolaan iklim sekolah (Depdiknas,2002).
Agar desentralisasi pendidikan di sekolah berjalan lebih efektif dan efisien maka sekolah harus memenuhi tiga syarat minimal, yaitu: (a) diserahkannya tugas, wewewnang dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan di sekoloah, yang berakibat juga diserahkannya tanggung jawab atas segala risiko terhadap keputusan itu, termasuk dalam mengurus seluruh manajemen perubahan, manajemen risiko dan pengelolaan sumber daya potensial dan real yang ada di dalamnya, (b) didukung dengan sistem teknologi informasi berikut pembiayaannya, dan (c) didukung dengan kemampuan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab (BSNP, 2006).

E. Syarat Manajemen Efektif
Pengawas sekolah bertugas membina pengelolaan (manajemen) sekolah secara efektif dan efisien. Minimal terdapat tiga syarat manajemen efektif yaitu:
(1) keputusan secara proporsional didelegasikan dan diserahkan tingkat sekolah,
(2) didukung oleh input sekolah yang sesuai dengan tuntutan mutu sekolah, dan
(3) didukung oleh kemampuan profesional tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah yang mumpuni melaksanakan tugas pokok dan fungsi, wewenang, dan tanggung jawabnya (BSNP, 2006).

F. Prinsip Penatakelolaan yang Baik dan Benar
Dalam melakukan pembinaan atau pembimbingan pengelolaan, pengawas sekolah hendaknya menguasai dan mampu menerapkan 12 prinsip penatakelolaan yang baik dan benar yaitu:
(1) akuntabilitas (adanya rasa tanggung jawab);
(2) keterbukaan (transparan);
(3) membuka peran semua pihak (partisipasi);
(4) kesedarajatan/kesetaraan (equality);
(5) kepekaan/kesegeraan merespons (responsiveness) terhadap semua
tuntutan perkembangan yang wajib dan rasional;
(6) penataan hukum (rule of law);
(7) efisiensi dan keefektivan dalam melakukan setiap pekerjaan;
(8) visi strategik/memandang jauh ke depan dalam hal-hal yang paling
strategik dan menentukan;
(9) profesionalisme dalam menyandang semua pekerjaan ;
(10) enterpreneurship dalam setiap melakukan pekerjaan secara kreatif,
berani memikul resiko, siap menghadapi perubahan dan memandang
jauh ke depan;
(11) budaya organisasi terdiri dari prinsip menjunjung tinggi nilai-nilai organisasi sekolah dan seluruh aparatur penyelenggaranya sebagai wadah pengembangan nilai kebersamaan, kordinasi, dan keterpaduan kerja ;dan
(12) kepedulian pada visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, dan program sekolah yang sudah menjadi keputusan bersama (BSNP,2006).

G. Kemampuan Dasar Pengawas Sekolah

Kemampuan dasar yang harus dimiliki pengawas sekolah dalam membina kepala sekolah minimal ada tujuh yaitu:
(1) penyusunan rencana pengembangan sekolah (termasuk menetapkan visi, misi, tujuan, sasaran, indikator keberhasilan, arah dan strategi, kebijakan internal, dan program kerjanya);
(2) pengelolaan sistem kode etik dan tata laku semua subjek pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dan siswa/peserta didik;
(3) pengambilan keputusan kolegial, demokratik, partisipatif, dan kolektif;
(4) pengembangan kurikulum dan silabus secara dinamik, berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan pencapaian peningkatan mutu pendidikan;
(5) pelaksanaan program pendidikan berorientasi kepada peningkatan mutu pendidikan di mana sangat diperhatikan unsur masukan, proses, dan hasil/output pendidikan;
(6) pendelegasian dan pendistribusian tugas, wewenang, dan tanggung jawab secara proporsional dan konsisten; dan
(7) pengelolaan seluruh sumber daya pendidikan termasuk dana) (BSNP, 2006)


H. Ringkasan
1. Terdapat 27 perubahan paradigma manajemen lama menuju paradigma manajemen baru.
2. Esensi MPMBS = otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu pendidikan.
3. Karakteristik MPMBS didasarkan atas output, proses, dan input.
4. Output pendidikan adalah kinerja (prestasi) sekolah. Kinerja sekolah dihasilkan dari proses.pendidikan. Output pendidikan dinyatakan tinggi jika prestasi sekolah tinggi dalam hal prestasi akademik, nonakademik, dan lainnya.
5. Proses ialah berubahnya sesuatu (input) menjadi sesuatu yang lain (output).
6. Sekolah yang efektif memiliki 15 indikator.
7. Input adalah sesuatu yang harus tersedia untuk berlangsungnya proses. Input juga disebut sesuatu yang berpengaruh terhadap proses. Input merupakan prasyarat proses. Input terbagi empat yaitu input SDM, input sumberdaya, input manajemen, dan input harapan.
8. Fungsi-fungsi yang didesentralisasikan oleh pemerintah pusat ke sekolah-sekolah ada 9 fungsi.
9. Ada tiga syarat agar disentralisasi pendidikan di sekolah efektif dan efisien.
10. Minimal terdapat tiga syarat manajemen efektif.
11. Dalam melakukan pembinaan atau pembimbingan pengelolaan, pengawas sekolah hendaknya menguasai dan mampu menerapkan 12 prinsip penatakelolaan yang baik dan benar.
12. Kemampuan dasar yang harus dimiliki pengawas sekolah dalam membina kepala sekolah minimal ada 7.
13. Bidang yang menjadi ruang lingkup pembinaan MPMBS adalah tugas-tugas yang dilakukan sekolah dalam pelaksanaan MPMBS ada 7.

BAB II LANDASAN KONSEPTUAL MPMBS

A. Pengertian MPMBS
Depdiknas (2002) merumuskan MPMBS sebagai model manajemen pendidikan yang otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas (keluwesan) kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung stakeholder untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Otonomi (swa) ialah kewenangan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri secara merdeka (tidak tergantung pihak lain). Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah akan mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya sehingga sekolah lebih mandiri. Melalui kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program sekolah sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. yang ada. Kemandirian harus didukung antara lain oleh kemampuan: merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, kepemimpinan transformasional, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, berkomunikasi, berkoordinasi secara sinerji, dan melakukan perubahan organisasi organisasi (jujur, adil, demokratis, transparan, adaptif, antisipatif, memberdayakan sumberdaya yang ada, dan memenuhi kebutuhan sendiri). Kemandirian dalam program dan pendanaan adalah indikator utama kemandirian sekolah. Kemandirian sekolah yang terus menerus akan menjamin keberlangsung dan pengembangan sekolah (sustainabilitas). Sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif, antisipatif, proaktif sekaligus memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya; bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya (Depdiknas,2002).
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan stakeholder adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara kerja tim, variasi tugas dan hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerja sendiri, tantangan dan kepercayaan serta pujian didengar, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tinggi (Depdiknas,2002).
Fleksibelitas ialah keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Dengan fleksibelitas, sekolah lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal, tidak lagi harus menunggu petunjuk dari atasan dalam mengelola dan memberdayakan sumberdaya sekolah yang ada. Akibatnya, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam merespons kekuatan-kekuatan, kelemahan-kelemahan, peluang-peluang, dan ancamana-ancaman yang dihadapi. Meskipun sekolah sudah memiliki keluwesan-keluwesan, ia harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Partisipasi ialah keterlibatan langsung dan aktif stakeholders dalam manajemen pendidikan baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Hal ini dilandasi keyakinan bila stakeholder berpartisipasi, maka mereka akan merasa dihargai. Manusia pada hakekatnya ingin memenuhi kebutuhannya dengan penghargaan (esteem need) (Maslow,1954). Jika manusia dihargai, maka dia akan merasa dilibatkan. Jadi, penghargaan dan partisipasi merupakan hubungan sebab akibat (timbal balik). Jika manusia dilibatkan, maka ia merasa bertanggung jawab dan berdedikasi (juga mempunyai hubungan timbal balik).
Jika manusia merasa bertanggung jawab dan berdedikasi, maka ia merasa memiliki (mempunyai hubungan timbal balik). Singkatnya, makin besar partisipasi, makin besar pula penghargaan. Makin besar penghargaan, makin besar pula tanggung jawab. Makin besar tanggung jawab, makin besar pula rasa memiliki. Dalam melakukan partisipasi harus mempertimbangkan keahlian (kompetensi), tenaga, dana, waktu stakeholder sesuai dengan relevansinya. Stakeholder harus bekerja bahu membahu secara profesional sebagai tim kerja yang sinergis dan solid.
Untuk membuat stakeholder yang terlibat dan merasa memiliki terhadap sekolah diperlukan suasana masyarakat yang demokratis, dan stakeholder terlibat dalam proses pengambilan keputusan
MPMBS menuntut partisipasi lebih besar dari stakeholder dalam setiap kebijakan dan sepanjang proses pembuatan keputusan sekolah berlangsung, semua keputusan harus dibuat secara kolektif dan sinergis bersama stakeholder. Dalam konteks MPMBS, segala kesempatan harus ada dan dimaknai untuk meningkatkan profesionalisme para staf dan kerjasama staf dengan orang-tua yang lebih kondusif dalam melayani pendidikan peserta didik. Konsep ini menuntut para orang-tua dan guru mengerti segala kebutuhan yang terbaik untuk peserta didiknya, dan melalui satu usaha yang kooperatif, mereka dapat bahu membahu meningkatkan program-program yang tepat sesuai kebutuhan peserta didik (Duhou, 2002).
Peningkatan peran kelompok yang membuat kebijakan barbasis sekolah dan proses perencanaan pembangunan adalah sebagai contoh gerakan menuju ke arah desentralisasi yang lebih besar. Dalam bentuknya yang sederhana, MPMBS mendeskripsikan satu rangkaian praktik yang di dalamnya semakin banyak melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam membuat keputusan-keputusan berkaitan dengan program sekolah (Duhou, 2002).
Peningkatan partisipasi stakeholder dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan adalah dalam hal program dan keuangan. Kerjasama ialah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar stakeholder yang erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif kerja tim yang kuat dan cerdas (Depdiknas,2002). Demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembaga melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan (Depdiknas,2002).
Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi yang optimal dalam manajemen sekolah dan alokasi sumberdaya yang mempresentasikan MPMBS, sekolah perlu merumuskan akuntabillitas sekolah. Konsep-konsep sekolah selama ini harus ditata ulang, dan langkah ini menuntut keahlian dari semua pihak terutama komite dan dewan sekolah, pengawas sekolah, para pemimpin lokal, dan masyarakat umum. Keahlian dapat diberikan melalui sistem in service training secara khusus dan profesional (Duhou,2002). Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada stakeholder melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka.


B. Alasan Diterapkannya MPMBS
Alasan perlu diterapkannya MPMBS antara lain adalah untuk:
(1) menerapkan UU Sisdiknas Pasal 51 ayat 1 secara murni dan konsekuen;
(2) memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian otonomi, fleksibilitas, dan partisipasi;
(3) meningkatkan mutu sekolah melalui kemandirian dan inisiatif sekolah;
(4) mempercepat transformasi proses belajar mengajar secara optimal;
(5) meningkatkan motivasi kepala sekolah agar lebih bertanggung jawab terhadap mutu peserta didik;
(6) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada stakeholders sehingga selalu berusaha seoptimal mungkin melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan;
(7) memberikan tanggung jawab baru bagi pelaku MPMBS;
(8) meningkatkan kepedulian stakeholder dalam penyelenggaraan pendidikan;
(9) meningkatkan usaha desentralisasi manajemen pendidikan;
(10) memberdayakan sumberdaya manusia lokal serta sarana dan prasarana sekolah yang ada sesuai kebutuhan peserta didik;
(11) memacu inissiatif dan kreativitas dalam meningkatkan mutu sekolah;
(12) memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah, sekolah akan lebih lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah;
(13) mengetahui SWOT (Strength, Weaknesess, Opportunities, Threats) bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya;
(14) mengambil keputusan yang cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;
(15) menggunakan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat;
(16) melibatkan stakeholder dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat;
(17) melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan stakeholder; dan
(18) merespons aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.

C. Prinsip-prinsip MPMBS
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MPMBS adalah sebagai berikut.
(1) Pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak
(2) Sekolah adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
(3) Segala keputusan sekolah dibuat oleh oleh pihak-pihak yang benar-benar mengerti tentang sekolah termasuk seluruh warganya.
(4) Guru-guru harus membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum.
(5) Sekolah mandiri membuat keputusan pengalokasian dana, dan
(6) Perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholder (Dorseif,1996).











Berikut adalah contoh instrumen observasi supervisi MPMBS.
Tabel 1
Instrumen Observasi Supervisi MPMBS
Nama Pengawas : Sugiharto
Nama Sekolah : .........
No. Aspek yang diobservasi Pelaksanaan Masalah
Pemecahan
Baik Belum Baik
1 2 3 4 5 6
1. Menyusun rencana dan program pelaksanaan MPMBS dengan melibatkan stakeholder.
2. Mengoordinasikan dan menyerasikan segala sumberdaya di sekolah dan di luar sekolah untuk mencapai sasaran MPMBS
3. Melaksanakan program MPMBS secara efektif dan efisien dengan menerapkan prinsip Total
Quality Management (TQM) dan pendekatan sistem.

4. Melaksanakan pengawasan dan pembimbingan pelaksanaan MPMBS sehingga kejituan implementasi dapat dijamin untuk mencapai sasaran MPMBS
5. Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi pencapaian sasaran MPMBS yang telah ditetapkan. Hasilnya untuk menentukan sasaran baru MPMBS tahun berikutnya.

6. Menyusun laporan pelaksanaan MPMBS beserta hasilnya secara lengkap dan benar untuk disampaikan kepada Dinas Pendidikan kabupaten/kota, komite sekolah dan yayasan (bagi sekolah swasta).
7. Mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan MPMBS kepada stakeholder.

D. Rangkuman
1. Ada tiga hal pokok yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yaitu:
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan memusatkan pada output,
penyelenggaraan birokratik-senralistik, dan peran serta masyarakat sangat
minim.
2. MPMBS ialah model manajemen pendidikan yang otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas (keluwesan) kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung stakeholder untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Tujuan umum MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan
sekolah.
4. Tujuan khusus MPMBS ada 10.
5. Alasan perlu diterapkannya MPMBS ada 18.
6. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan MPMBS ada 6.

PENGELOLAAN MUTU PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui pendekatan pemberdayaan sekolah dalam mengelola sekolahnya telah dilakukan Depdiknas sejak lama. Sebelum diberlakukannya otanomi daerah, sekolah dikenalkan program pemberdayaan sekolah melalui Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS) atau School Integrated Development (SID). Namun, pada era otonomi daerah muncul program baru yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). PSS dan MPMBS nama berbeda tetapi jiwanya sama yaitu mengedepankan pemberdayaan sekolah dalam mengelola sekolahnya. PSS idenya, sedangkan MPMBS cara melaksanakan ide tersebut. Untuk maksud tersebut dalam modul ini diuraikan apa, mengapa, untuk apa, dan bagaimana melaksanakan MPMBS dengan sebaik-baiknya.
Paradigma baru era otonomi daerah versi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 25 Tahun 2000, telah dimulai sejak 1 Januari 2001. Sejalan dengan reformasi dan demokratisasi pendidikan yang sedang bergulir, pemerintah telah bertekad bulat untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan yang bertumpu pada pemberdayaan sekolah di semua jenjang pendidikan.
Berbagai kenyataan rendahnya mutu sekolah dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya adalah manajemen pendidikan. Dalam kenyataannya, manajemen pendidikan termasuk manajemen dalam arti sempit atau manajemen sekolah yang selama ini bersifat sentralistik yang telah menempatkan sekolah pada posisi marginal, kurang diberdayakan tetapi malah diperdayakan, kurang mandiri, pasif atau selalu menunggu instruksi dari pusat, bahkan terpasungnya inisiatif dan kreativitas pengawas dan kepala sekolah serta guru untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Untuk itu, dengan diberlakukannya otonomi daerah sejak 1 Januari 2001, Depdiknas terdorong melakukan reorientasi manajemen pendidikan dari manajemen pendidikan berbasis pusat menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) (School-Based Management) atau site-based-management atau di sekolah-sekolah dikenal dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Pergeseran pendekatan manajemen ini memerlukan penyesuaian baik teknis maupun nonteknis misalnya budaya. Penyesuaian teknis melalui penataran, workshop, seminar, dan diskusi, dan rapat sekolah tentang MPMBS, sedangkan penyesuaian budaya melalui penanaman pemikiran, kebiasaan, tindakan sampai terbentuknya karakter MPMBS kepada semua warga sekolah (peserta didik, tenaga pendidikan, dan tenaga kependidikan) dan masyarakat (orang-tua, tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha, alumni, dan pemerintah) atau selanjutnya disebut stakeholder.
Konsep MPMBS ini telah berhasil di negara-negara maju, tetapi masih merupakan konsep baru bagi manajemen pendidikan di negara kita. Oleh sebab itu, penerapan MPMBS di negara kita tidak secara otomatis langsung sempurna. Untuk penyempurnaannya, praktisi pendidikan terutama pengawas sekolah bersama warga sekolah dapat merevisinya sesuai kebutuhan dan potensi sumber daya yang tersedia di sekolah masing-masing.
MPMBS merupakan salah satu jawaban pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan dan telah diundang-undangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 51 ayat 1 yang berbunyi, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Oleh sebab itu, MBS atau yang lebih terkenal MPMBS wajib diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh setiap warga negara Indonesia terutama mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
MPMBS hanya akan terlaksana apabila didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang memilki kemampuan, integritas, dan kemauan yang tinggi karena kalau tidak, MPMBS hanya akan menjadi eforia semata. Salah satu unsur SDM dimaksud adalah pengawas sekolah. Pengawas sekolah sebagai faktor strategis dalam keberhasilan meningkatkan mutu sekolah.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional khususnya pendidikan dasar dan menengah pada setiap jenjang satuan pendidikan, antara lain melalui pemenuhan kebutuhan dan pelatihan serta peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan/perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Tetapi berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan belum meningkat secara signifikan.Sebagian kecil sekolah menunjukkan peningkatan mutu pendidikan secara menggembirakan, namun besar lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan ternyata ada tiga hal pokok yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yaitu:
(1) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional hanya memusatkan
pada output pendidikan, pada hal proses pendidikan sangat menentukan
output pendidikan;
(2) penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-senralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi pusat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat; sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, inisiatif, dan kreativitas untuk meningkatkan mutu sekolahnya;
(3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.

B. Tujuan dan Sasaran Materi Perkuliahan
Setelah perkuliahan ini, mahasiswa pasca sarjana diharapkan memiliki konsep serta menguasainya juga mengaflikasikannya dalam lapangan keilmuan bidang manejemen pendidikan.

C. Indikator Keberhasilan
Peserta diklat dapat
1. Menjelaskan pengertian MPMBS secara singkat.
2. Menyebutkan tujuan MPMBS
3. Menjelaskan perlunya MPMBS diterapkan di sekolah
4. Menyebutkan perubahan dari paradigma lama manajemen pendidikan menjadi paradigma baru manajemen pendidikan
5. Menjelaskan konsep dasar MPMBS
6. Menjelaskan karakteristik MPMBS sebagai suatu sistem
7. Menjelaskan fungsi-fungsi yang didesentralisasikan ke sekolah
8. Menjelaskan prinsip-prinsip MPMBS
9. Menjelaskan tahap-tahap melaksanakan MPMBS
10. Menjelaskan komponen-komponen yang dimonitor dan dievaluasi
11.Menjelaskan mengapa MPMBS perlu dimonitor dan dievaluasi

C. Tujuan
Tujuan umum MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Tujuan khusus MPMBS: untuk meningkatkan:
(1) kinerja sekolah (mutu, relevansi, pemerataan, efisiensi, efektivitas,
inovasi, produktivitas sekolah) melalui kemandirian dan inisiatif sekolah,
(2) transformasi proses belajar mengajar secara optimal,
(3) meningkatkan motivasi kepala
sekolah untuk lebih bertanggung jawab terhadap mutu peserta didik,
(4) tanggung jawab sekolah kepada stakeholders,
(5) tanggung jawab baru bagi pelaku MPMBS,
(6) kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan,
(7) kompetensi sehat antar sekolah,
(8) efisiensi dan efektivitas sekolah,
(9) usaha mendesentralisasi manajemen pendidikan, dan
(10) pemberdayaan sarana dan prasarana sekolah yang ada sesuai kebutuhan
peserta didik.

D. Ruang Lingkup MPMBS
Ruang lingkup pembinaan MPMBS yang menjadi pembinaan dan pengawasan pengawas sekolah adalah tugas-tugas yang dilakukan sekolah dalam pelaksanaan MPMBS yaitu:
1) menyusun rencana dan program pelaksanaan MPMBS dengan melibatkan stakeholder.
2) mengoordinasikan dan menyerasikan segala sumber daya di sekolah dan di luar sekolah untuk mencapai sasaran MPMBS.
3) melaksanakan program MPMBS secara efektif dan efisien dengan menerapkan prinsip Total Quality Management (TQM) dan pendekatan sistem.
4) melaksanakan pengawasan dan pembimbingan pelaksanaan MPMBS sehingga kejituan implementasi dapat dijamin untuk mencapai sasaran MPMBS.
5) Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi pencapaian sasaran MPMBS yang telah ditetapkan. Hasilnya untuk menentukan sasaran baru MPMBS tahun berikutnya.
6) Menyusun laporan pelaksanaan MPMBS beserta hasilnya secara lengkap dan benar untuk disampaikan kepada Dinas Pendidikan kabupaten/kota, komite sekolah dan yayasan (bagi sekolah swasta).
7) Mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan MPMBS kepada stakeholder.

E. Metode Penyampaian
Diklat ini menggunakan metode:
1. Ceramah untuk menyampaiakan konsep dan pemahaman terhadap pengelolaan sekolah;
2. Tanya jawab untuk menggali pengalaman peserta tentang pengelolaan sekolah dan untuk mengukur tingkat pemahaman peserta diklat tentang materi administrasi sekolah;
3. Pemberian tugas untuk mengukur tingkat pemahaman peserta diklat secara praktik tentang pengelolaan sekolah.
4. Diskusi untuk memecahkan masalah-masalah tugas yang diberikan tentang pengelolaan sekolah

F. Waktu Perkuliahan
Waktu yang digunakan untuk materi ini adalah satu semester.


G. Prosedur Pembelajaran
Untuk masing-masing pemberian materi diawali dengan pre-tes (10 menit), dilanjutkan deskripsi materi (15 menit) , tanya jawab 20 menit, diskusi 45 menit, pembahasan hasil diskusi (45 menit), dan diakhiri dengan post- tes (10 menit).

Saturday, October 17, 2009

Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa

Pendahuluan
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).
Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.
Pada saat ini, PMR mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti guru dan siswa, orangtua, dosen LPTK (teacher educators), dan pemerintah. Beberapa sekolah dasar di Yogyakarta, Bandung dan Surabaya telah melakukan ujicoba dan implementasi PMR dalam skala terbatas. Sebelum PMR diimplementasikan secara luas di Indonesia, perlu pemahaman yang memadai tentang teori ‘baru’ tersebut. Seringkali kegagalan dalam inovasi pendidikan bukan disebabkan karena inovasi itu jelek, tapi karena kita tidak memahaminya secara benar. Makalah ini akan menguraikan secara garis besar tentang sejarah PMR, mengapa kita perlu mengembangkan PMR di Indonesia, konsepsi tentang siswa, peran guru, konsepsi tentang pengajaran, dan ditutup dengan harapan terhadap implementasi PMR di Indonesia.

Sejarah PMR
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya, yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan
alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.
Mengapa kita perlu mengembangkan PMR?
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri (Zamroni, 2000):
• cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek;
• guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner;
• materi bersifat subject-oriented; dan
• manajemen bersifat sentralistis.

Orientasi pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian (Zamroni, 2000).

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):
1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);
2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan
4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika.

Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999).

Konsepsi tentang Siswa
PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
• Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
• Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
• Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
• Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;
• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

Peran Guru
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
• Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
• Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
• Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
• Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial.

Konsepsi tentang Pengajaran
Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):
• Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;
• Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;
• Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
• Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Harapan
Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya.

Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni, (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:
• di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
• mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
• bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;
• memiliki kepercayaan diri yang tinggi.