Setelah Pengantar, buku Fullan, Michael G. dan Stiegelbauer, Suzanne (1991), 2nd, The New Meaning of Education Change, Teacher College Press, N.Y. membahas makna baru perubahan pendidikan dalam tiga bagian, yang masing-masing terdiri atas enam bab, kecuali bagian dua yang hanya terdiri dari empat bab. Judul ketiga bagian tersebut adalah (I) Memahami Perubahan Pendidikan, (II) Perubahan Pendidikan pada Tingkat Lokal dan (III) Perubahan Pendidikan pada Tingkat Regional dan Nasional. Adapun judu-judul keenambelas bab adalah sebagai berikut: (1) Tujuan dan Sistematika Buku, (2) Sumber-Sumber Perubahan Pendidikan, (3) Makna Perubahan Pendidikan, (4) Sebab dan Proses Inisiasi, (5) Sebab/Proses Implementasi dan Kontinuasi, (6) Merencanakan, Melaksanakan dan Menanganai Perubahan, (7) Guru, (8) Kepala Sekolah, (9) Siswa, (10) Administratur Distrik, (11) Konsultan, (12) Orang Tua dan Komunitas, (13) Pemerintah, (14) Persiapan peofesional Guru, (15) Pengembangan Profesional Pendidik dan (16) Masa Depan Perubahan Pendidikan. Berikut adalah substansi tiap bab dimaksud.
Bab 1 membahas tujuan dan sistematika buku. Bab 2 menyajikan tiga sumber perubahan pendidikan adalah: (a) bencana alam, (b) pengaruh faktor luar dan (c) kontradiksi internal. Tipologi perubahan pendidikan disajikan dalam gambar berikut.
Dikatakan bahwa perubahan pendidikan pada tahun 1960-an dan reformasi berbasis kompetensi 1980-an yang mencoba ‘to legislate learning’ adalah tipe IV. Selanjutnya, dicatat opportunisme dalam perubahan pendidikan ‘sebagai ”cara murah”untuk menyelesaikan tekanan birokratis atau politis…agar distrik nampak up-to-date dan progresif di mata masyarakat atau untuk “melakukan sesuatu” untuk suatu kelompok tertentu’ (Berman dan McLaughlin, 1978). Atau, inovasi masih dilihat sebagai alat sekelompok orang untuk mengontrol kehidupan orang lain dan anak-anaknya menurut konsepsinya sendiri (Whiteside, 1978). Inovasi gagal menyentuh hal pokok yang dituju perubahan pendidikan: ‘Buat apa pendidikan sebenarnya? Manusia dan masyarakat seperti apa yang diinginkan? Metode dan organisasi kelas serta bahan ajar apa yang diperlukan? Pengetahuan mana yang paling berharga? (Silberman, 1970). Perubahan pendidikan menyentuh hanya perubahan tingkat pertama, yaitu: perubahan untuk memperbaiki efisiensi dan efektivitas aktivitas yang dilakukan sekarang tanpa ‘mengubah fitur organisasional dasar, tanpa mengubah secara substantif cara siswa dan pendidikan menjalankan peran mereka’ (Cuban 1988). Perubahan tingkat kedua –di mana cara fundamental seperti tujuan,struktur dan peran baru diubah menjadi, misal, berorientasi pada kultur kerja kolaboratif- tidak tersentuh: menurut peribahasa Cina, ‘bahan berubah, tapi supnya tetap sama’ .
Bab 3 membahas makna perubahan secara umum, subjektif dan objektif serta implikasinya. Dalam makna secara umum ditemukan bahwa ‘tiap upaya untuk pre-emprif konflik, argumen atau protes dengan perencanaan rasional… seberapa rasionalnya pun … tetap harus memberi waktu untuk impuls penolakan. Reformer telah mengasimilasi perubahan …mungkin berbulan-bulan atau bertahun-tahun… Jika mereka mengingkari orang lain kesempatan waktu setara, mereka pada dasarnya memperlakukan orang lain seperti boneka yang dapat diatur sesuai kehendaknya (Marris, 1975). Dalam makna subjektif ditemukan, tekanan kelas bagi guru ‘tekanan segera dan kongkrit, sekitar 200.000 pertemuan per tahunnya; tekanan multidimensionalitas dan simultanitas; adaptasi kondisi selalu berubah atau unpredictability dan tekanan untuk terlibat dengan siswa’ (Huberman, 1983; Crandall et. al., 1982). Inovasi adalah acts of faith. Mereka harus percaya inovasi akan berhasil dan berguna, meski hasil segera tidak terlihat (House, 1974). Dalam makna objektif dinyatakan tiga komponen program atau kebijakan: (a) materi baru atau revisi, (b) pendekatan pembelajaran dan (c) kepercayaan (misal, asumsi dan teori yang melandasi suatu program atau kebijakan). Tentang implikasi perubahan pendidikan dikatakan ada enam aspek yang dapat diamati (a) the soundness dari perubahan yang diusulkan, (b) memahami kegagalan perubahan yang direncanakan dengan baik, (c) petunjuk untuk memahami hakekat dan feasibilitas suatu perubahan, (d) realitas status-quo, (e) kedalaman perubahan dan (e) pertanyaan tentang penilaian.
Bab 4 mencatat bahwa tekanan untuk perubahan menurun saat adopsi yang diikuti dengan implementasi (Berman dan mcLaughlin, 1979). Model perubahan mempunyai empat komponen (a) inisiasi, mobilisasi atau adopsi, (b) implementasi (biasanya 2-3 tahun pertama sejak adopsi), (c) kontinuasi, inkorporasi, rutinisasi atau institusionalisasi dan (d) outcome. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inisiasi adalah (a) keberadaan dan kualitas inovasi, (b) akses pada informasi, (c) advokasi dari atas(an), (d) advokasi guru, (e) agen perubah eksternal, (f) tekanan, dukungan atau apati masyarakat, (g) sumber dana: lokal, negara bagian atau federal, (h) orientasi birokratis dan pemecahan masalah. Akhirnya, konsiderasi dalam perencanaan untuk adopsi paling baik jika mengkombinasikan 3R: (a) Relevansi: dilihat dari praktikalitas dan kebutuhan, (b) Readiness: tergantung pada kapasitas dan kebutuhan dan (c) Resources/ ketersediaan dukungan.
Bab 5 menyajikan tiga kategori faktor dalam proses implementasi (1) karakteristik proyek inovasi atau perubahan: kebutuhan, kejelasan, kompleksitas dan kualitas/ praktikalitas, (2) Karakteristik atau peranan lokal: distrik, komunitas, kepala sekolah, guru, dan (3) faktor eksternal: pemerintah dan agensi lainnya.Tema-tema dalam proses implementasi adalah (a) membangun visi, (b) perencanaan evolusioner, (c) pengambilan inisiatif dan pemberdayaan, (d) pengembangan staf dan asistensi sumber daya, (e) monitoring/pemecahan masalah Peters (1987) dan (f) restrukturisasi. Selanjutnya, ada empat tilikan tidak predictable yang ternyata penting dalam proses implementasi: (a) inisiasi dan partisipasi aktif, starting small and thinking big, bias untuk tindakan dan belajar sambil bekerja, (b) tekanan dan dukungan, (c) perubahan perilaku dan kepercayaan dan (d) masalah kepemilikan perubahan pendidikan.
Dalam Bab 6 disajikan alasan mengapa perencanaan perubahan gagal: asumsi dan cara berpikir keliru tentang perubahan, diantaranya, ‘melompat’ dari rencana pribadi ke implementasi publik (Lighthall, 1973), kekuasaan legal atau organisasional diandalkan sebagai motor perubahan (Sarason, 1971) dan fallacy rasionalisme: dunia social ingin diubah dengan argumen rasional. Alasan lain mengapa perencanaan gagal ialah menangani masalah tidak terpecahkan, karena beda nilai yang dianut dan kesempurnaan teknis serta tidak memperhitungkan faktor yang berpengaruh. Untuk sukses menurut harry Truman dan Pierre Trudeau ‘we need more one armed economist…[when frustrated by the advice] on the one hand … on the other hand’. Niat baik dan gagasan baik adalah perlu tapi tidak cukup untuk tindakan yang konsisten (Sarason, 1990). Kiat lain ialah (a) ‘sedikit kekaburan mungkin esensial agar kebijakan dapat diterima…mungkin lebih efektif dalam waktu pendek untuk berkonsentrasi pada legislasi baru’, dan (b) menggunakan pendekatan developmental: mulai dari hal yang paling mungkin terus berkembang ke hal-hal lain (Sarason, 1971).
Bab 7 sampai dengan bab 12 -(7) Guru, (8) Kepala Sekolah, (9) Siswa, (10) Administratur Distrik, (11) Konsultan, (12) Orang Tua dan Komunitas- masuk ke dalam bagian II, yaitu bagian yang membahas perubahan pendidikan pada tingkat lokal. Bab 7 membahas kenyataan bahwa perubahan pendidikan tergantung pada yang dilakukan dan dipikirkan guru: persoalannya sesederhana dan sekompleks itu (Sarason, 1971) dan jika program berhasil, guru dilupakan; tapi jika gagal, guru disalahkan. Suatu faktor efektivitas kelas dan sekolah adalah kualitas guru. Sebagai indikator kualitas, dari sampel guru di Ontario, Kanada, Rees dkk. (1989) menemukan bahwa 71% guru wanita dan 64% guru laki-laki di SD menyatakan guru sebagai pilihan pertama untuk berkarir; sementara itu, 56% guru wanita dan 37% guru laki-laki di SL menyatakan guru sebagai pilihan pertama untuk berkarir. Dalam tiga dari empat kelompok guru tersebut, satu dari lima guru memikirkan untuk tidak jadi guru lagi dan satu dari lima guru laki-laki SL mempertimbangkan untuk tidak jadi guru lagi. Beberapa kesulitan guru adalah (a) beban kerja multi-dimensi (Sarason, 1982; h. 126), (b) lebih peduli pada identitas diri bukan pada kebersamaan dalam suatu komunitas… tidak dilibatkan dalam persoalan yang menyangkut sekolah umumnya (Goodlad, 1984; h. 123), (c) transfer informasi sesama guru cenderung personal, bukan profesional (House dan Lapan, 1978; h. 122); dan (d) perlu keluar dari ‘tugas’ tradisional untuk menyatakan kepemimpinannya (Barth, 1990; h 141). Model sekolah yang ‘ideal’ adalah sebagai berikut.
Bab 8 mencatat beberapa hal tentang kepala sekolah sebagai berikut:
- Jumlah tugas kepala sekolah lanjutan sebanyak rata-rata 149 tugas per hari. 59% diantaranya diinterupsi, 84% diantaranya berlangsung antara 1-4 menit, dan 17% berkaitan dengan pengajaran (Martin dan Willower, 1981). Studi pada periode 1910 sampai 1980-an menunjukkan ‘meskipun gaya kepemimpinan beda, peran manajerial, bukan kepemimpinan pembelajaran, mendominasi kepala sekolah (Cuban, 1988: 84).
- Smith dan Andrews (1989) mendukung temuan Louis dan Miles (1990): tidak ada dikotomi waktu untuk manajerial, operasi dan relasi distrik (34% vs 39%) dan perbaikan program instruksional (41% vs 27%).
- Studi Interaksi Kepala Sekolah-Guru (PTI) menunjukkan selama periode 3 tahun ada 1855 intervensi pada kepala sekolah yang berkenaan dengan masalah organisasi (36%), konsultasi dan penguatan (24%), monitoring dan evaluasi (22%), pelatihan dan informasi (7%) dan lain-lain (11%)…Kepala sekolah sebagai fasilitator perubahan berkorelasi 0.76 dengan kesuksesan seluruhnya; sekolah dengan gaya inisiator paling sukses, diikuti oleh kepala sekolah gaya manajerial dan kepala sekolah gaya perespon (Hall & Hord, 1987).
- Studi pada 137 kepala dan wakil kepala sekolah menunjukkan selama 5 tahun terakhir tuntutan tugas makin tinggi sementara keyakinan akan efektivitasnya makin menurun (Educon, 1984). Kurang dari 10% kepala sekolah yang termasuk ke dalam ‘pemecah-masalah sistematik’ (level tertinggi dari empat level efektivitas) (Leithwood dan Montgomery, 1986).
- Studi pada 2500 guru dan 1200 kepala sekolah, menunjukkan kepala sekolah terlibat dalam empat interaksi strategis dengan guru: (a) penyedia sumber daya, (b) sumber daya pembelajaran, (c) komunikator dan (d) ‘hanya untuk penampilan’. Rating positif dari guru terhadap pemimpin kuat, rata-rata dan lemah masing-masing sebanyak 90%, 52% dan 33% (Smith dan Andrews, 1989). Porporsi kepala sekolah wanita di SD maupun di SL cenderung rendah: 20-50% dan 5-20% (Marshall dkk., 1989; Mertz,dkk., 1989; Schneider, 1988); 5, 14, 23% dan 36, 42, 47 % (studi 44 sekolah besar tahun 1972,1982 dan 1986); 19% dan 4% (Wisconsin, 1986-87, Schneider, 1988); 25% dan 8% (statistik nasional, Marshall dkk., 1989);18% dan 11% (Ontario, 1990).
Bab 9 diawali dengan pertanyaan Bowles dan Gintis (1976), ‘ mengapa dalam suatu masyarakat demokratis, kontak riil pertama seorang individu dengan suatu lembaga formal bersifat sangat anti-demokratis’. Ketika orang memikirkan perubahan pendidikan mereka memikirkan dampak perubahan tersebut pada peserta didik dari sudut pandang keterampilan, sikap dan pekerjaannya di masa yang akan datang, mereka jarang berpikir tentang bagaimana melibatkan mereka dalam kehidupan organisasi (termasuk organisasi sekolah). Kalau pun program semacam itu ada, peserta didik cenderung mengalami resistensi, ‘selama ini mereka memperlakukan kita seperti bayi, sekarang mereka mencoba memperlakukan kita seperti seorang dewasa’. Dari sampel sebesar 3593 siswa, siswa SD, SMP dan SMA masing-masing 41%, 33% dan 25% berpikir gurunya tidak memahami mereka; masing-masing 19%, 16% dan 13% menyatakan mereka ditanya bagaimana atau materi yang harus diajarkan dan masing-masing 29%, 26% dan 50% menyatakan kelas membosankan . Firestone dan Rosenblum (1988) merinci lima faktor yang mempengaruhi komitmen guru dan siswa: (a) kebermaknaan program, (b) keterkaitan dengan lingkungan sekitarnya, (c) kejelasan aturan dan peran guru dan siswa, (d) ekspektasi guru dan siswa dan (e) rasa hormat dan perhatian guru dan siswa. Komitmen guru dan siswa juga dapat diperoleh dari inovasi baru-baru ini tentang pembelajaran kooperatif yang pada prakteknya adalah mengurangi metode ceramah sebanyak 20% (dari 48% menjadi 28% dari total waktu pembelajaran).
Bab 10 menyajikan karakteristik superintenden yang jumlahnya sekitar 95% laki-laki dan yang menangani sistem sekolah yang siswanya bervariasi dari 100 sampai 200.000 siswa dan masa kerja rata-rata 3 tahun (di Amerika) dan 6-7 tahun di Kanada. Review Goldhammer (1977) dari 1954 sampai 1974 menunjukkan pergeseran peran superintenden dari juru bicara dan manajer eksekutif sistem sekolah homogen ke situasi di mana negosiasi dan manajemen konflik berbagai kelompok kepentingan. Studi Duignan (1979) pada delapan superintenden di Alberta menemukan bahwa ‘tiap hari superinintenden terlibat dalam rata-rata 26 diskusi yang merupakan 70% waktu kerjanya; 70% dari diskusi tersebut dilakukan dengan trusti sekolah, pejabat pusat dan administratur sekolah, kurang dari 7% dengan guru dan kurang dari 1% dengan siswa. Studi Fullan dkk. (1987) tentang 200 pejabat supervisi di 26 distrik sekolah (seperempat jumlah di seluruh provinsi) menemukan mereka menekankan sistem (bukan sekolah), serta berpikir reflektif (bukan parsial) dan generalis (bukan spesialis). Studi LaRoque dan Coleman (1989a: 169) menyusun hipotesis etos distrik positif yang ditandai dengan enam fokus (a) pembelajaran, (b) akuntabiltas, (c) perubahan, (d) perhatian pada stakeholder, (e) komitmen bersama dan (f) dukungan komunitas. Atas studi pada lima sekolah (dua diantaranya dikategorikan berhasil), Louis (1989) menyusun diagram karaktersitik hubungan distrik dan sekolah sebagai berikut:
Bab 11 merangkum ke dalam istilah konsultan sejumlah pekerjaan/peran sebagai berikut: ahli materi, kurikulum, program, guru, pengembangan organisasi, agen perubahan, direktur proyek, agen penghubung,dst. Studi Ross dan Reagan (1990) tentang dua belas konsultan kurikulum distrikdi dua sekolah menyimpulkan bahwa ‘ perencanaan sistem, networking dengan tim konsultan dan mengkoordinasikan dukungan atasan adalah kunci konsultan berpengalaman’. Hall dan Hord (1984) menemukan bahwa CF (change facilitator, yang boleh jadi adalah konsuln rq56jasdtan distrik, guru hli dan kadang-kadang wakil kepala sekolah) terlibat dalam interaksi lebih kompleks, dibanding kepala sekolah yang berinterkasi dengan cepat, sederhana dan to the point. Miles dkk. (1988; 188) menyarankan seleksi konsultan didasarkan pada latar belakang pendidikan (broad based); mudah menjalin hubungan interpersonal; keahlian kependidikan, pengalaman kepelatihan, kependidikan dan organisasi sebelumnya, serta inisiatif dan energi.
Bab 12 diawali dengan pernyataan implisit bahwa sekolah itu sebenarnya milik orang tua siswa dan komunitasnya (cf. Gold dan Miles, 1981). Namun, jika guru dan administatur pendidikan yang terlibat masalah pendidikan 40-60 jam per minggunya sulit memahami perubahan pendidikan, maka orang tua dan komunitas lebih sulit lagi memahaminya, padahal secara umum, makin orang tua siswa terlibat makin baik pencapaian belajar siswa (cf. Mortimore dkk., 1988). Menurut Epstein dan Dauber (1988) peran yang mungkin diperankan orang tua siswa adalah (a) sukarelawan, asisten, dst, (b) tutor/ pembimbing di rumah, (c) komunikator dan (d) dewan penasihat. Evaluasi SDC (System Development Corporation) atas 869 sekolah di 369 distrik menetapkan 34 sekolah dengan orang tua siswa asisten bayaran dan 17 sekolah dengan orang tua sebagai tutor dirumah. Survey Becker (1981) terhadap 3700 guru SD dan 600 kepala sekolah menunjukkan sedikitnya keterlibatan orang tua siswa. Survey Kanada tahun 1979 pada 2000 orang tua siswa menunjukkan 63.4% diantaranya tidak bersedia menjadi anggota komite penasihat rumah-sekolah. Studi Lucas, dkk. (1978-79) tentang content analysis notulen komite dari sepuluh SD dan lima SL menunjukkan (a) isu pedagogi jarang dibicarakan, (b) diskusi sifatnya informasi, rekomendasi hanya 4%-nya dan (c) orang tua sebagai inisiator topik diskusi di SD dan SL masing-masing adalah 27.6% dan 17.9%, sementara guru/administrator sebagai inisiator masing-masing adalah 67.2% dan 78%. Studi Schaffarzick (Boyd, 1978: 613) tentang 34 distrik di San Fransisco menunjukkan 62% keputusan kurikulum tidak melibatkan komunitas.
Bab 13 sampai dengan bab 16 -(13) Pemerintah, (14) Persiapan Profesional Guru, (15) Pengembangan Profesional Pendidik dan (15) Masa Depan Perubahan Pendidikan - masuk ke dalam bagian III, yaitu bagian yang membahas tentang perubahan pendidikan pada tingkat regional dan nasional. Bab 13 membahas (a) peran pemerintah federal Amerika dalam dunia pendidikan yang makin menurun, tapi tetap masih signifikan misalnya lewat ‘semboyan’ A Nation at Risk dan (b) –seperti ditekankan Elmore dan McLaughlin (1988)- ketidak-selarasan waktu perumusan kebijakan yang tergantung pada ‘electoral time’ dan implementasi kebijakan yang tergantung pada ‘administrative or practice time’. Sementara itu, di Kanada keberadaan federal dalam dunia pendidikan diakui ‘sepanjang tidak ada seorang pun menamakannya kebijakan pendidikan dan sepanjang tidak ada tuntutan eksplisit sebagai imbalan atas uang dari Ottawa tersebut’. Keterlibatan pemerintah federal di Amerika ada dua jalur (a) Beberapa program yang disponsori pemerintah federal sejak 1965: Title I, Title IV, Basic Skills, Emergency School Aid Act, Follow Through, Title VII, Bureau of Education Handicapped dan Vocational Education dan (b) Riset, Development dan Diseminiasi (RDD) dilembagakan pada periode 1972-1985 dengan pendirian the National Institute of Education (NIE). Tahun 1985, NIE direorganisasi menjadi OERI (the Office of Educational Research and Improvement). Di Kanada, ketidakpuasan pada sistem pendidikan dan lambatnya perubahan pendidikan, pemerintah (bukan hanya menteri pendidikan) melaksanakan reformasi komprehensif dan fundamental. Sebagai contoh British Columbia merencanakan Year 2000: A Curriculum and Assessment Framework for the Future yang mengatur ulang sistem pendidikan dengan 3 prinsip pembelajar dan peserta didik, 12 prinsip kurikulum, 5 prinsip asesmen dan evaluasi serta 3 prinsip pelaporan. Akhirnya, pedoman untuk pemerintah dalam melaksanakan perubahan pendidikan adalah (a) agar memperbaiki kapasitas agensi untuk mengimplementasikan perubahan, (b) menjelaskan dan bekerja sama dengan agensi lokal tentang makna, ekspektasi dan kebutuhannya, (c) fleksibel dalam implementasi, (d) staf diberi kesempatan mengembangkan pengetahuan dan kompetensinya selain memfasilitasi implementasi, (e) menekankan pada perubahan mendasar profesi guru, praktek dan organisasi pembelajaran serta pola dan pengalaman belajar peserta didik dan (f) menerapkan strategi komprehensif, multifaceted, saling terkait, jangka pendekmenengah dan panjang secara persisten (serta tidak meminta perubahan segera dan total dalam waktu singkat).
Dalam bab 14 dicatat bahwa ‘membantu orang lain berubah tanpa kita menyadarinya sendiri sama halnya dengan penyajian produk atau pelayanan yang tidak atau sedikit signifikansinya untuk pertumbuhan intelektual kita’ (Sarason, 1972). Pengembangan guru adalah belajar berkelanjutan dan tidak terpisahkan dari perkembangan sekolah dan dengan demikian lebih baik dari sekedar inovasi-inovasi yang berkesan tidak berkelanjutan selain sama-sama memerlukan biaya,waktu dan tenaga besar. Terdapat 1400-an lembaga pendidikan guru di Amerika dan 50an fakultas pendidikan di Kanada yang didalamnya ditemukan banyak mata kuliah yang tujuannya ‘kompleks dan tidak jelas’. Menurut Hollingsworth (1989) setidaknya ada tiga basis pengetahuan yang diperlukan agar guru efektif (a) materi –isi dan cara pembelajarannya, (b) manajemen umum dan pedagogi instruksional dan (c) ekologi kelas –pengetahuan tentang bagaimana peserta didik belajar, bagaimana mendiagnosa dan mengevaluasi proses dan outcome belajar. Kenyataannya, calon guru yang umumnya menganggap transisi menjadi guru pengalaman besar –atau bahkan traumatik- lebih disibukkan oleh (a) pendidikan yang sifatnya individualistik padahal kenyataan di lapangan memerlukan bukan hanya pendidikan yang invidualistik dan (b) oleh ‘struktur hari sekolah; kurikulum, isi dan materi baku; serta tekanan pada ketertiban, kontrol dan kesibukan peserta didik… [bahwa] tidak ada justifikasi pada tilikan “pengalaman praktis itu perlu” …[maka harap diingat bahwa kata Dewey] keliru mengasumsikan tiap pengalaman mempunyai nilai instrinsik selain mampu untuk membangkitkan kualitas respon tertentu dari seseorang’ (Tabachnick, dkk., 1979-80). Akibatnya, fakultas pendidikan kehilangan baik respektabilitas universitas mau pun efektivitas di lapangan. Diantaranya untuk memberi bekal lebih dan menangani tingkat alih profesi guru ke pekerjaan lain (30% dalam dua tahun pertama, 40-50% dalam tujuh tahun pertama dibanding dengan 6% secara keseluruhan), sejak dua dekade lalu digulirkan program induksi, yaitu suatu program seksama untuk mendukung guru baru. Induksi pada gilirannya memunculkan kesempatan pengembangan profesionalisme baru, yaitu mentoring. Namun, program induksi dan mentoring menghadapi kendala biaya yang mahal. Akhirnya, alternatif pengembangan profesionalisme lainnya adalah sertifikasi alternatif,yaitu sertifikasi yang diberikan oleh praktisi dan mempunyai kecenderungan standarnya disesuaikan dengan kebutuhan employer (pihak yang memperkerjakan guru).
Sebagian besar pembahasan pada bab 15 masih tentang guru. Pertama disajikan beberapa alasan mengapa pengembangan profesional guru tidak berhasil. Selanjutnya, disajikan empat contoh kasus pengembangan profesional yang berhasil. Pengembangan profesional guru tergantung pada motivasi dan kesempatan (dalam arti ketersediaan program dan pengorganisasian secara struktural dan normatif yang memungkinkan berlangsungnya pengembangan profesional). Akhirnya setelah pengembangan profesionalisme administatur dan konsultan disinggung, disajikan saran pengembangan profesional: (a) fakultas pendidikan dan sekolah sebaiknya menggunakan tiga strategi saling terkait –penggantian staf, inovasi program dan produksi pengetahuan, (b) semua staf di lembaga dan pada level mana saja harus belajar, berkoordinasi dan terintegrasi pengembangannya dan (c) semua pengembangan profesional arus memenuhi dua syarat (c1) mengarah ke atribut pengembangan profesional yang berhasil pada sebanyak-banyak aktivitas yang dapat dilaksanakan dan (c2) tujuan akhir pengembangan profesional tidak semata pada mengimplementasikan inovasi tapi untuk menciptakan kebiasaan dan struktur individual dan organisasional yang membuat belajar berkelanjutan bagian berharga dan endemic dari kultur sekolah dan pembelajaran.
No comments:
Post a Comment